Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label cokelat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cokelat. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Februari 2011

Ups

Oleh: Rheza Aditya
twitter: @gravelfrobisher


Aku bukan orang yang bisa langsung nyaman berada di dekat orang asing.
Melihat tatapan orang tersebut, aku hanya bisa sesekali menelan ludah sembari mencoba merapikan penampilanku. Bukannya aku risih dan ingin tampil lebih cantik di hadapannya, namun kau bisa bilang bahwa ini merupakan mekanisme otomatis yang kudapatkan dari lahir: gugup diperhatikan.
Bahkan hanya dengan melirik menggunakan ujung mataku, aku langsung terpesona dengan sosok tersebut. Senyumnya begitu tulus dan menawan, dan tatapan matanya yang memesona…sungguh. Mungkin ini adalah pertama kalinya aku bisa berubah jadi kepiting rebus karena diperhatikan oleh laki-laki.
Oke, mungkin kau bisa katakan ini merupakan cinta pada pandangan pertama.
Atau lirikan pertama, aku tidak perduli.
Namun aku tetap tidak bisa merasa nyaman kalau sudah berurusan dengan orang asing. Kenyataannya adalah, aku tidak mengenal dia, dan dia juga tidak pernah bertemu denganku sebelumnya. Aku meremas jemariku, membuat kantung kertas yang tergantung darinya mengkerut karena terlalu kencang kugenggam.
Ya, harusnya ini merupakan hari yang membahagiakan bagiku. Siapa juga wanita yang sudah memiliki pacar yang tidak akan bahagia di hari Valentine? Terutama ketika pacarnya merupakan lelaki idaman satu sekolah yang bisa membuat semua murid berpaling padanya ketika dia tertawa?
Aku harusnya bangga memiliki pacar beken. Yang begitu prince-like. Begitu sempurna.
Tapi nyatanya, kalimat yang berputar-putar—atau lebih tepatnya, kuputar berulang kali—di dalam kepalaku itu sekarang jadi terdengar datar. Hambar, tiada rasa. Bagaikan kalimat yang kudengar dari radio rusak yang mengumandangkan suara panggilan-panggilan rekursif tak berarti.
Semua kalimat romantis yang sudah kususun untuk pacarku. Semua skenario yang harus kupelajari untuk menyerahkan cokelatku. Semua perasaan bangga terhadap lelaki yang sudah kukencani selama setengah tahun, semuanya lenyap.
Lenyap ketika diriku dibakar oleh gelora ingin tahu, gelora cinta ‘baru’ku kepada si orang asing ini.
Aku menoleh ke arahnya, dan menampilkan senyuman termanisku. Biarpun terlihat seperti anak SMA ingusan, sebenarnya aku sudah beberapa kali mendapat nilai tertinggi satu angkatan setiap kali ada tugas seni teater. Dan aku bangga akan kemampuanku bersandiwara. Terutama pada senyum mautku.
“Sendirian?” tanyaku kepadanya.
Dia mengangguk, dan melirik penuh tanda tanya ke arah kantung yang kujinjing.
“Cokelat ya?” tanyanya, masih tersenyum ramah.
Aku mengangguk, lalu mengambil satu langkah pasti untuk mendekat ke arahnya. Diam-diam kuperhatikan busana yang dia kenakan, kemeja putih berlengan yang dibalut jas rapi, juga celana bahan. Apa yang dilakukan oleh orang ini di halte busway?
“Pasti buat pacarnya situ ya?” lalu dia tertawa singkat. “Enaknya yang masih muda…masih bisa menikmati indahnya Valentine…”
“Loh, situ emangnya udah umur berapa? Aku kira kita seumuran loh,” kali ini aku tidak bohong. Dibalut pakaian resmi sama sekali tidak membuatnya tampak tua. Sebaliknya, dia tampak begitu fresh dan…menggoda.
Lagi-lagi dia tertawa. “Saya sudah hampir tiga puluh,”
Mulutku menganga lebar. “Se…seriusan?”
Dia kembali tertawa, dan mengangguk. “Dan, asal kau tahu, aku baru saja diputusin pacarku.”
Hah?? Bohong banget! Batinku berterus terang. Pemuda semenarik dirinya bisa ditolak oleh perempuan? Cewek goblok macam apa yang sebegitu teganya sampai mencampakkan nih cowok? Dan..untuk apa juga dia ceritakan padaku?
“Makanya, begitu saya melihat bingkisan cokelat itu, saya jadi keingetan sama mantan saya..” pandangannya berubah sendu. “Kalau kita tidak putus kemarin, pasti hari ini saya juga sudah dapat cokelat.”
Tak lama, bus pun datang. Aku begitu kehabisan kata-kata sehingga aku tidak menjawab. Namun aku tersenyum tipis begitu menyadari bahwa kami berdua masuk ke dalam bus yang sama.
Sarana angkutan umum ini sangat sepi, mungkin karena kami masuk bukan pada jam sibuk, dan daerah yang kami tuju juga tidak ramai. Namun aku begitu kegirangan ketika dia mengambil tempat duduk tepat di sampingku.
Perbincangan kami selanjutnya terasa begitu menyenangkan, begitu lancar mengalir dan tidak terpaksakan. Aku harus mengakui bahwa lelaki yang duduk di sampingku memang memiliki aura bijak orang usia tiga puluh, namun penampilan dan gayanya berbicara sungguh hampir membuatku terkecoh antara pria usia kepala dua dengan remaja yang baru hampir dua puluh.
Dan, ya. Kuakui aku lebih nyaman bersama dirinya daripada bersama pacarku yang sekarang.
“Jadi, sekarang kamu mau ke rumah pacarmu?” tanya dirinya, melirik ke jam yang dikenakan di pergelangan tangannya.
Aku mengangguk. “Tadi pagi aku ambil cokelat yang ada di lemari. Maklum, aku nggak bisa bikin cokelat, hehehe..”
Dia tertawa lagi, “Nggak kenapa-kenapa toh, udah bagus ada niat ngasih…”
Aku jadi ikut-ikutan tertawa. Baru kali ini aku merasa begitu dekat dengan orang asing, seolah kami sudah berkenalan dari dulu. Aku belum menanyakan namanya, dan belum tahu alamat rumahnya. Namun aku merasa begitu bahagia, dan begitu lepas ketika bersama dengan dirinya.
Bagaikan sedang jatuh cinta.
Atau mungkin aku sudah jatuh cinta? Siapa yang tahu.
Oke. Aku yang tahu. Kuakui sekali lagi, sepertinya aku jatuh cinta dengan pemuda ini. Perasaan yang berbeda dari yang kurasakan untuk pacarku yang sekarang. Perasaan untuknya lebih dewasa dan terkontrol, juga lebih leluasa dan bebas untuk kukendalikan.
Makanya ketika dia akhirnya mendengar nama halte tempat tujuannya disebut dan bangkit berdiri dari tempat duduknya,  dengan sebelah tangan aku menarik jasnya. Ya, aku menahan dirinya untuk pergi.
“Ini,” kataku, menyodorkan bingkisan cokelat yang sedari tadi kugenggam.
Dia tercengang. “Lho? Bukannya itu untuk pacarmu?”
Aku tertawa singkat, “Aku bisa membeli cokelat untuknya di minimarket terdekat. Ayo terimalah, anggap saja tanda terima kasih karena sudah membuatku tidak bosan menunggu di busway.”
Sekali lagi, dia menampilkan senyumannya. Sebuah senyuman yang sangat menawan dan memikatku untuk segera jatuh ke dalam lubang yang kita namakan ‘cinta’.
Tanpa mengetahui namanya, dan tanpa mengetahui alamatnya.
Aku hanya mengetahui wajahnya, usianya, dan halte tempatnya turun.
Begitulah orang asing tersebut datang dan pergi dari kehidupanku.
Aku menghela nafas, memikirkan cokelat macam apa yang harus kubeli untuk pacarku. Sebenarnya aku malas membeli cokelat, namun nanti dia pasti akan ngambek dan memulai aksi tengiknya yang sangat kubenci. Aku jelas tidak mau mendengar celotehannya, apalagi di hari Valentine.
Apalagi di hari ketika aku menemukan cinta baruku.
Ketika bus berhenti di halte berikutnya, aku melangkah turun dengan sebuah helaan nafas terhembus dari sela-sela bibirku. Aku mengutuk pacarku yang meminta bertemu di mall, bukannya di rumah atau taman dekat sekolah yang jelas tidak menghabiskan ongkos.
Tapi kali ini aku memaafkannya, berkat kekonyolan dirinya aku bisa bertemu dengan cinta baruku.
Akhirnya kuputuskan untuk tidak membeli cokelat. Kupikir, mungkin ini merupakan saat yang tepat untuk mengakhiri hubunganku dengan pacar konyolku itu. Aku akan membuangnya, dan mencari kembali cinta baruku tersebut dengan segala cara.
Bukankah romantis? Dicampakkan di hari kasih sayang?
Hahaha. Aku memang jenius.
Rrrr….Rrrr…
Aku mendengus dan mengangkat telepon genggamku. Siapa yang beraninya meneleponku ketika aku sedang berjalan di jembatan busway? Merepotkan saja.
“Kak..kak! Tadi kakak ambil cokelat punyaku yang ada di lemari ya?”
Suara adikku yang menyebalkan.
“Iya, emangnya kenapa? Berisik aja, ganggu tau. Cih.”
“Kak, harusnya kakak tanya dulu dong ke aku kalo mau—“
“Iya, iya berisik! Ntar kakak ganti! Nggak usah ngadu-ngadu ke ibu ya!”
“Bukan itu kak!”
Aku mulai merasa kesal. “Jadi apa, adikku tercintahhhh?”
“Cokelatnya yang itu udah kadaluarsa kak.”

Karenanya Kusebut Saja Katefin


By: Ellena Ekarahendy | @yellohelle | the-possibellety.blogspot.com

“Kamu lebih suka pada ‘Apa’ atau ‘Siapa’?”
Pertanyaannya memaksa aku berhenti menggigit-gigiti sedotan.
“Maaf?”
Ia tertawa. “Tentang aku. Kamu lebih suka pada ‘Apa’ atau pada ‘Siapa’?”

“Tetap aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu,” jawabku disela gigitan-gigitan yang kumulai lagi karena kebingungan.
Ia hanya menangkat alis dan melalui matanya ia memaksa aku untuk menjawab. Kupaksa diri sendiri untuk menerka, tapi berakhir dengan tanpa hasil apa-apa. Ia mendekatkan cangkir kopinya, meneguk pelan. Yang kulakukan hanya menikmati detil gerakannya yang membawa aku pada keinginan untuk merengkuh, bersandar di pelukannya. Bau kafein bercampur tembakau dari balik kemeja kotak-kotak berdominasi warna biru. Hal ternyaman yang bisa kulakukan, sekedar meyakinkan kalau aku dan dia tidak terpisah. Untuk saat ini, pelukan ini sudah lebih dari cukup.

Tapi kukira kemanjaanku terlalu menyebalkan, ketika kusadari ia berusaha memindahkan tanganku, memaksa aku tetap berada di jarak sofa yang sewajarnya. Atau mungkin pertanyaannya yang belum aku jawab, maka ia menolak kupeluk? Mengapa begitu ketus? Apalagi maksud pertanyaannya? Mengapa kita harus berakhir dengan kegundahan ketika seharusnya kita merayakan kecintaan, sebagaimana yang lainnya lakukan? Mengapa ia mendadak jadi menyebalkan, dan nampak ingin menjebak aku dalam pembuktian akan cinta yang menjebak? Menyebalkan. Apa sebaiknya tidak kujawab saja sekalian, daripada terjebak dalam kata-kataku sendiri? Toh aku tidak kunjung mengerti maksud pertanyaannya.

‘Apa’ atau ‘Siapa’? Dia adalah dia, jika itu yang dia maksudkan. Berarti aku akan memilih ‘Siapa’. Tapi apa itu ‘Apa’? identitasnya yang membangun siapa dia?
“Jelaskan padaku, apa itu ‘Apa’ dan apa itu ‘Siapa’?” kataku.

Ia memutar bola matanya. Kupikir ia akan marah, namun ia hanya tersenyum, lalu menggenggam tanganku. Seribu kali? Dua ribu kali? Empat ratus dua puluh delapan ribu kalikah tangan kita bersentuhan?  Selalu ada empat ratus dua puluh delapan ribu momen gemetar dari dalam diri yang muncul bukan karena tidak terbiasa, tapi karena rasa yang terlalu dalam. kugenggam balik. Jangan, jangan kamu lepas.
”Aku pernah dengar Derrida menjawabi sebuah pertanyaan tentang apa itu cinta, dan yang kutangkap adalah ketika kita berbicara tentang cinta, kita akan terjebak dalam pembedaan antara ‘Apa’ dan ‘Siapa’. “The Who’ and ‘The What’; apakah kita mencintai karena seseorang adalah seseorang itu, atau karena seseorang begini dan begitu.”

“Lalu kenapa menanyaiku demikian? Apa penting mengetahui kita mencintai pada ‘Apa’ atau pada ‘Siapa’? Apa mampu mendeterminasi berapa dalam aku mencinta? Teorinya melelahkan.”
Ia mengangkat bahu, sambil melepas genggaman tangan kanannya yang kemudian merogoh saku celana.

“Ini, Sayang. Ciciplah dulu, satu atau dua gigit. Orang bilang, bisa memperbaiki suasana hati. Dalam tenang, siapa tahu banyak membantumu untuk menjawab. Happy Valentine.” Sebatang coklat. Tak perlu bersusah membayangkan lilitan pita yang manis. Hanya sebatang coklat berbungkus packaging aslinya yang nyaris rusak karena dipaksa masuk ke saku celana. Memang khas dirinya. Kesederhanaan yang membuat aku jatuh cinta.

Apakah karena aku telah lama terbiasa dengan kesederhanaanya, maka hanya ada gusar ketika ia bertanya? Atau hanya pikiranku saja yang meracau kemana-mana, ketika kusadari pengunjung di meja-meja seberang ikut bergabung dalam percakapan kami lewat bidikan mata yang sarat makna?

Apa tatapan mata yang seolah melempat praduga itu juga yang membuat ia enggan menyandangkan kecupan untuk sepersekian detik, mengikuti ucapan selamat hari kasih saying yang kosong? Kulihat sekilas, pasangan di sisi jendela sana baru saja bersentuhan bibir. Kenapa kita memaksa diri untuk merasa enggan?

“Apa itu cinta? Kita merayakannya hari ini, kan?” tanyaku disela kunyahan.
“Kenapa jadi balik bertanya? Kali ini, jawab pertanyaan bukan dengan pertanyaan, Dear.”

Aku tak peduli. “Jawab saja, apa itu cinta menurutmu? Mengapa harus kita rayakan juga hari ini? Mengapa atas namanya kita bisa menjadi satu? Dan mengapa juga harus kamu sanksikan dengan pertanyaan anehmu itu? Jawab apa menurutmu. Bukan menurut Derrida atau siapa pun yang tak ingin kukenal. Ingin kudengar. Bantu aku untuk menjawab pertanyaanmu.”
Ia mengangkat bahu sambil menggeleng dengan cepat. Tidak, ia tidak memaksa dirinya untuk memikirkan jawabannya.

“Kalau kamu sendiri enggan menjawab, kenapa aku harus memeras otak untuk pertanyaan penuh jebakanmu?” protesku.

“Menurutmu, aku mencintaimu?” tanyanya.
Apa lagi? “Iya.”

“Bagaimana bisa? Yang barusan ‘kan ditangkap inderamu lewat mulutku. Apa kita mencinta dengan mulut dan lidah yang mengungkap kata indah? Atau lewat mata yang mencitrakan imaji yang mempesona? Atau lewat kulit kita yang bersentuhan dalam keheningan? Atau lewat pikiran kita yang memproyeksikan keinginan yang semakin hari semakin tereksagerasi?”
“Mungkin cinta hanya tentang merasa, sisanya dikerjakan oleh indera. Contohnya ini.” Aku mengacung-ngacungkan batang cokelat pemberiannya. “Dengan ini saja, kuyakini kamu memang cinta, meski hanya jadi satu dari banyak alasan yang bisa kupaparkan.”
Ia terkekeh, sambil sesekali mengoyak rambutku gemas. Lagi, seisi kafe menjawabi dengan tanda tanya di balik setiap mata. Kugapai tangannya, membiarkannya terangkul di pundak. Peduli apa dengan mereka? Ah. Apa tidak bisa kita menjadi seperti yang lainnya? Kita ‘kan sama. Aku, dia, mereka, dan kalian adalah sama; dan kupikir, untuk merayakan kasih sayang juga makanya kita datang dengan orang yang kita cinta ke sini.

“Omong-omong, seharusnya tadi kita sama-sama jawab saja kalau cinta adalah kerumitan yang tidak perlu didefinisikan. Kerumitan yang kita benci sekaligus sukai. Kerumitan yang padanya selalu kita rindukan; yang tanpa alfabet yang berentet untuk memberikan arti. Apa yang kita nikmati sudah bisa menjawabi.” Ia masih terkekeh-kekeh. Lucu juga melihat dia geli begitu. Kubiarkan saja ia tetap tertawa, dan melupakan pertanyaan konyolnya yang tak ingin kutanyai lagi maksudnya. Mungkin hanya sekedar ekstensi keraguan semu yang sejenak menyisipi kepalanya, yang kuyakini hanya terjadi ketika bersama aku. Because it happens to me tooevery single minute.

“Cokelat, kamu tahu,” lanjutnya, “mengandung Phenylethylamine yang karenanya memunculkan perasaan senang karena Dopamine yang dihasilkannya. Ia juga menciptakan perasaan yang baik. Ya… Seperti orang yang jatuh cinta. Jadi ketika kamu memakan coklat itu tadi, entah kamu dalam suasana hati karena mencintaiku, atau karena efekPhenylethylamine saja. Tapi siapa peduli apa itu Phenylethylamine? Siapa peduli apa bentuknya? Apa formulanya? Kamu hanya peduli pada yang sedang kamu nikmati dan membawa balik kesenangan hati. Kamu juga tidak peduli, kan, dengan Katekin dalam cokelat yang bikin awet muda? Yang penting kamu suka dan kamu menikmatinya, maka kamu terus saja dengan gigitan-gigitan tiada henti.”
Mulutku penuh cokelat. Hanya bisa mengangguk. Membiarkan ia melanjutkan.

“Kalau aku harus menjawab, pada ‘Apa’ atau pada ‘Siapa’ aku jatuh cinta,” ujarnya lagi, “Aku akan menjawab bahwa aku jatuh cinta pada ke-siapa-an dan ke-apa-anmu yang tak terpisahkan, yang terjalin dalam kompleksitas yang tak ingin kudefinisikan, tapi membuat aku rindu menyusurinya. Kupikir, kamu adalah Katekin. Dalam kebahagiaan selagi memiliki kamu, kurasa demikian hidup bisa dinikmati kemudaannya.”

Ah. Mengapa pada kata-kata kita harus terkesima? Bukankah Venus yang lemah pada rima?
Cokelat potongan yang terakhir tak jadi kudaratkan ke lidah, kuletakkan dengan manis di atas piring kosong di meja ketika ia mendekatkan diri ke telingaku, mengucap kata klise. Ya. “I love you, for who-you-are and what-you-are.”

Tangan kita masih saling menggenggam. Mata kita masing-masing menyuarakan cinta yang tak terbaca serta tak dimengerti. Ah, bukan tak bisa dimengerti, hanya tak sudi saja dimengerti. Ada letupan-letupan manis ketika hati kita, dalam diam, menyuarakan keinginan untuk melepas. Bau kafein dari dirinya masih tercium, kunikmati sebagai materi yang bisa kupaparkan ketika nanti rindu menganggu. Entah dari kopinya atau cokelat yang tadi kunikmati, kafein membuat kita sama-sama terjaga, semakin dalam menyusuri gelapnya iris mata kita masing-masing. Tak suka dia menyebutku Katekin. Kulihat dia adalah pencampuran Katekin dan Kafein, dalam candunya yang tak terelakkan, dan gema-gema sensasi yang tak tertampikkan.

Ya, kupikir aku tahu jawabnya sekarang. Kuejakan dalam hati, tak apa, kan?
Mana aku peduli pada apa atau pada siapa aku jatuh cinta? Kudengar mereka takut akan perbedaan ketika menjatuhkan cinta, maka kenapa harus sanksi dan member label hina ketika pada kesamaan yang kebetulan aku jatuh cinta? Pada dia, yang tak bisa kujabarkan. Biar mereka terjebak saja dalam definisi kolot mereka tentang cinta, yang mempersenjatai komentar-komentar mereka yang sebenarnya sampai ke telinga kita, sejak kita duduk berdua di kafe ini, menikmati potongan-potongan lembut kue cokelat yang manis, yang kita santap berdua.

“Masih ada cokelat lagi.” Katanya sambil merogoh saku celananya yang lain.
Aku tertawa. “Sudah, tidak usah. Nanti aku gendut.”
“Tidak apa-apa kalau gendut. Toh, cokelat membuatmu nampak awet muda, paling-paling kamu akan nampak seperti Santa Claus, si Kakek tua berlemak. Hahaha, dasar kakek-kakek,” ledeknya.
“Enak saja. Aku mana cocok jadi kakek-kakek tua? Usia segini, menjadi Bapak pun belum pantas, tahu!”
Ia tertawa, membukakan bungkusan cokelat untuk kunikmati. “Kakek ya kakek saja,” timpalnya lagi.
“Ah, ada juga kamu tuh yang kakek-kakek. Pulang dari sini bercukur ya, janggutmu bikin seram, tahu. Aku tidak suka laki-laki berjanggut.”

Kita tenggelam dalam canda kita; membuang muka pada pengunjung kafe yang baru masuk; karena kita terbiasa pada ketidakwajaran, juga pada kekurangajaran yang kami dengar, seperti yang barusan ia lontarkan pada teman wanitanya. “Homo, Sayang, Homo. Di meja yang di sebelah situ.”

Kujawab dengan kecupan yang tiba-tiba di pipinya. Tidak peduli.

Cinta Sepekat Cokelat

Oleh : Tenni Purwanti @rosepr1ncess


Teruntuk Lelakiku,

Putus. Hanya satu kata itu yang terus aku pikirkan selama satu bulan terakhir bersamamu. Kita sudah berpacaran selama dua tahun. Dan selama dua tahun itu, tak pernah aku dengar dari bibirmu bahwa kau mencintai aku. Bahkan mengatakan bahwa aku cantik pun tak pernah. Aku memaklumi bahwa kau orang yang memang tidak romantis. Tapi mengungkapkan rasa sayang meski hanya satu kali, begitu beratkah? Aku ingat lagi saat-saat dulu kita mulai dekat dan akhirnya resmi jadi kekasih. Kamu memintaku menjadi kekasihmu hanya dengan satu kalimat pendek : “Jadian, yuk!”
Aku menerimamu saat itu karena memang sedang merasa kosong. Aku memang baru mengenalmu satu minggu, itupun dari dunia maya. Entah mengapa meski baru pertama kali bertemu langsung, aku merasa kta sudah lama kenal. Aku merasa cocok denganmu. Maka, ketika kau mengajakku kepada hubungan yang lebih dari teman, aku terima saja. Jalani saja, itu prinsipku kala itu!
Ya, akhirnya dua tahun berlalu tanpa terasa. Aku bisa bertahan dengan orang yang sama sekali tak romantis hanya karena kamu bisa menunjukkan kasih sayangmu dengan sikap dan perbuatan nyata, bukan kata-kata. Tapi tahukah kamu, kadang aku juga butuh ungkapan. Aku butuh pengakuan dari bibirmu yang mungil dan menggemaskan itu. Aku ingin kekasihku mengatakan aku cantik. Aku ingin merasakan hal-hal romantis seperti yang dirasakan pasangan lain. Candle Light Dinner, liburan ke pantai berdua, atau apapun, bukan hanya rajin sms dan telepon menanyakan kabar dan aktifitasku. Aku bosan, sayang …
Dan, satu bulan lalu, saat aku mengutarakan hal ini padamu, kamu malah balik marah padaku karena menganggap aku terlalu mendramatisir keadaan. Kita pun bertengkar hebat, dan hingga hari ini, setelah satu bulan berlalu, tak ada satu pun diantara kita yang mau mengalah untuk menyapa duluan. Jadi sebenarnya siapa yang mendramatisir?

Surat itu terhenti. Aku masih bingung mau melanjutkan seperti apa. Aku malas menjelaskan lebih panjang lagi. Intinya aku mau putus. Itu saja. Satu bulan berlalu tanpa komunikasi, siapa bisa tahan?
Ponselku berbunyi. Nomormu tertera disana. Aku enggan menerimanya. Lebih dari 5 kali tak diangkat, kau mengirim pesan pendek.

***
Café di daerah Dago Pakar. City Lights Bandung menjadi pemandangan yang terhampar di depan meja kami. Meja yang hanya diterangi cahaya lilin itu sudah penuh dengan hidangan makan malam. Aku masih takjub dengan segala keajaiban malam ini. Untung aku mengenakan dress sehingga tidak terlalu malu berada di tempat ini. Aku tak tahu akan dibawa ke tempat se-romantis ini. Aku hanya memenuhi keinginannya yang ingin bertemu denganku malam ini, karena ada hal yang ingin dibicarakan. Lewat pesan pendek ponsel, ia katakan akan menjemputku. Aku tak tahu tempat ini yang disiapkannya.
“Ini yang kamu mau kan?”
“Maksud kamu?”
“Ini. Candle Light Dinner, tempat makan romantis, apa perlu ditambah cincin dan aku melamarmu hingga kau menangis terharu?”
Aku benci melihat wajahmu. Kau memang menyuguhkan semua hal romantis malam ini. Tapi bukan begini caranya. Mengapa harus kau rusak suasana malam ini dengan kata-katamu?
“Kenapa kamu lakukan ini sama aku? Mau kamu apa?”
“Aku hanya mau memberikan apa yang kamu inginkan. Ini kan yang kamu inginkan? Sudah aku penuhi. Lalu sekarang apa?”
“Tapi bukan seperti ini. Bisa ga sih kamu ngertiin aku, dikit aja?”
“Ngertiin gimana? Aku udah nyiapin candle light dinner seromantis ini? Apa masih kurang?”
“Bukan ini yang aku mau,”
“Aku ga ngerti apa maunya kamu. Aneh!”
“Kamu emang ga akan pernah ngerti! Kita putus!”
Aku langsung pergi. Percuma! Kamu memang tidak punya niat untuk memperbaiki semuanya.

***
“Dira, ada Nicko,” Bunda mengetuk pintu kamarku.
“Ngapain dia kesini lagi?” aku bertanya dari dalam kamar tanpa membuka pintu.
“Ga tau tuh,” Bunda langsung pergi lagi.
Beberapa menit kemudian Bunda kembali mengetuk pintu. “Dira, buka pintunya sayang, ini ada titipan dari Nicko,”
Aku membuka pintu kamar.
“Nicko-nya mana, Bunda?”
“Pulang. Dia pamitan sama Bunda. Katanya mau ke bandara,”
“Bandara? Emang dia mau kemana?”
“Ga cerita tuh. Dia cuma nitip ini,”
Surat dan cokelat. Aku langsung membacanya.

Teruntuk perempuanku,
Maafkan aku yang tak pernah bisa mengerti akanmu. Aku sudah berusaha memberikan apapun yang terbaik, tapi jika menurutku masih belum memenuhi apa yang kau harap, maafkan. Aku hanya seorang pencinta yang mungkin tak pernah tahu bagaimana cara membahagiakan perempuan.
Bersama surat ini, aku memberikan sebatang dark cokelat. Itu simbol pekatnya cintaku padamu. Aku tahu kau tak pernah suka cokelat karena takut gemuk dan rasanya terlalu manis, bahkan cenderung jadi pahit kalau terlalu pekat.
Cintaku padamu seperti cokelat itu. Tak kau sukai, tapi sesungguhnya menyehatkan bagimu. Sering-seringlah makan cokelat untuk menenangkan hatimu sekaligus menyehatkan tubuhmu. Tak banyak yang tahu kalau cokelat banyak mengandung enzim plavanoids yang sangat baik untuk kesehatan. Cokelat bisa menurunkan resiko serangan jantung, dapat menurunkan tekanan darah dan dapat resistensi insulin, serta dapat memperbaiki sirkulasi darah arteri.
Itulah cintaku, sesungguhnya baik bagi hidupmu, andai engkau tahu …
Aku tak bisa berkata lebih banyak karena memang tak biasa. Tapi semoga kau mengerti maksud suratku ini. Aku ingin mencintaimu dengan caraku. Maaf jika caraku salah…
Hari ini aku pergi ke Australia, melanjutkan pendidikanku. Kalau memang kisah cinta kita harus berakhir hari ini, aku terima. Tapi aku harap kamu mau mencoba makan cokelat dariku ini.
Aku pergi …

Aku mencoba menggigit cokelat itu. Manis. Aku menghabiskannya dengan tenang. Tak terasa cairan bening keluar membasahi dinding pipiku.
Aku berjanji pada diriku akan rajin mengkonsumsi cokelat, demi kesehatanku. Ia mungkin akan pergi, dan entah kapan kembali. Aku juga tak tahu apakah hubungan kami masih bisa dipertahankan setelah ini. Aku sungguh merasa bersalah tapi aku tak tahu harus bagaimana.
Aku mencari surat yang pernah aku tulis untuknya. Aku buang ke tempat sampah setelah ku sobek-sobek kasar. Aku tak pantas menuliskan surat seburuk itu untuknya.
Ia pergi dengan meninggalkan cinta sepekat dan sesehat dark cokelat … aku akan sangat merindukannya … 

Love, Hate and Valentine


Oleh: Nathania Ganda
Twitter : @nainiania
“Kenapa sih harus ada yang namanya Valentine’s Day??!”

Aku mengomel ketika melihat kalender meja yang telah kutandai dengan spidol merah pada satu tanggal. 14 Februari 2011. Semua orang tentu tahu bahwa tanggal empat belas Februari adalah hari Valentine atau hari kasih sayang. Meskipun disebut demikian, aku merasa bahwa lama-kelamaan hari Valentine juga bisa disebut sebagai hari cokelat. Tentu aku mengetahui semua fakta tentang hari Valentine, dan aku membencinya.

Oh, aku bukannya membenci hari Valentine. Aku juga bukannya membenci cokelat atau apa. Selama tujuh belas tahun kehidupanku, aku oke-oke saja dengan adanya hari Valentine, kok! Aku ikut merayakannya dengan bertukar cokelat dengan teman-temanku di sekolah. Bahkan, biasanya aku sangat menyukai hari Valentine, mengingat aku adalah pecinta cokelat sejati. Mulai dari Dark chocolate yang agak pahit namun amat kaya dengan rasa kokoa, milk chocolate yang terasa manis dan umum disukai, sampai white chocolate yang rasa susunya mendominasi rasa kokoa, aku suka semua.

Nah, kalau begitu kenapa aku bilang benci? Khusus Valentine tahun ini, aku membuat pengecualian. Hari Valentine tahun ini benar-benar bencana untukku!

Oh, pertama-tama, sebelum aku bercerita, kurasa aku harus memperkenalkan diriku lebih dahulu. Namaku adalah Vincentia Helena Wulandari, biasa dipanggil Helen. Aku kelas 3 SMA Yudhistira, dan aku masih single.

Meskipun aku bilang aku single, bukan berarti aku available. Saat ini, aku menyukai teman sekelasku, Favian Sugiharto. Sejak kelas 1 SMA, aku memendam rasa sukaku pada Favian, namun tak pernah berani untuk mengungkapkannya, sekalipun aku dan Favian selalu satu kelas selama tiga tahun berturut-turut di SMA.

Mungkin kamu bingung, kenapa aku tidak berani? Jawabannya sebenarnya cukup simpel. Aku dan Favian selalu bersaing. Kami tidak pernah akur, sedikitpun. Tiada hari tanpa pertengkaranku dengan Favian. Kami selalu bersaing dalam segala hal, baik dalam hal pelajaran, olahraga, maupun kesenian. Bahkan, bisa dibilang kami juga bersaing dalam hal kepopuleran di SMA Yudhistira.

Seringkali aku mendengar istilah bertengkar tanda sayang. Mungkin hal itu memang benar. Aku merasakannya sendiri. Tiga tahun bertengkar dengan Favian, tiga tahun aku menyayanginya. Selalu.

Nah, apa hubungan Favian dengan kebencianku terhadap hari Valentine tahun ini? Sederhana. Aku kalah darinya. Kami bertaruh untuk siapa yang nilai rapor semester satunya lebih baik, dengan taruhan yang kalah akan mengabulkan satu permintaan dari yang menang. Aku kalah, dan Favian menyuruhku untuk membuatkannya cokelat terenak di hari Valentine.

Seharusnya hal ini bukanlah hal yang terlalu sulit, mengingat aku adalah seorang pecinta cokelat. Seharusnya, aku tidak kesulitan untuk membuat cokelat, kan? Namun pada kenyataannya, aku sungguh kesulitan memenuhi permintaan Favian kali ini. Alasannya adalah karena aku sama sekali tidak becus memasak! Favian tahu hal ini, dan mungkin ia sengaja menyuruhku membuat cokelat karena ia tahu aku tidak akan bisa memenuhi permintaannya itu. Kalau aku tidak bisa memenuhi permintaannya, bukankah artinya aku kalah dua kali darinya? Harga diriku sama sekali tak bisa menerima hal itu.

Untung bagiku, aku sudah menemukan sebuah solusi untuk permasalahanku dengan pembuatan cokelatnya. Aku sudah mencari informasi tentang jenius memasak di sekolahku, dan aku akan meminta bantuan darinya.

Lihat saja nanti. Akan kubuat Favian tidak berkutik dengan cokelat yang kubuat untuknya!

***
“Permisi!”

Aku mengetuk pintu dapur sekolahku, mencoba menarik perhatian siapapun yang ada di dalamnya. Ya, hari ini, Minggu 13 Februari 2011, aku akan membuat cokelat untuk Favian, dibantu oleh seorang jenius memasak dari sekolahku. Ia bersedia membantuku, dengan syarat kami membuat cokelat di dapur sekolah.

“Ya?” Seorang gadis bercelemek membuka pintu dapur, mengerutkan dahi begitu melihatku. “Siapa, ya?”

Gantian aku yang mengerutkan dahi. Siapa gadis ini? Aku kan membuat janji dengan juru masak sekolahku, dan dia adalah seorang wanita paruh baya. Jelas bukan gadis ini.

“Erm.. Saya Helen. Saya sudah membuat janji dengan Ibu Ratna mau membuat cokelat hari ini, apa beliau ada?”

“Oh, Bu Ratna? Hari ini beliau nggak masuk, sakit katanya. Dia titip pesan, kalau kamu mencari dia, dia minta maaf karena nggak bisa datang. Tapi jangan khawatir, saya akan menggantikan Bu Ratna membantu kamu membuat cokelat. Nggak apa-apa, kan?”

“Oh, iya nggak apa-apa. Malah saya yang harus minta maaf karena udah merepotkanmu dan Bu Ratna.” Aku tersenyum dan mengulurkan tangan, “Kenalkan, saya Helen.”

Gadis itu menyambut uluran tanganku dan menjawab, “Saya Rita. Asisten Bu Ratna. Kalau kamu nggak keberatan, bagaimana kalau kita mulai saja sekarang?”

Aku mengangguk, tersenyum gembira. Kemudian, hal berikutnya yang kulakukan adalah mengikuti Rita masuk ke dapur sekolah.

***

Aku baru menyadari bahwa memasak tidak terlalu sulit, terutama karena Rita membantuku. Dia mahir sekali memasak!

Tadi, sebelum mulai memasak, dia bertanya cokelat apa yang ingin kubuat. Aku bilang padanya, aku ingin membuat cokelat praline, alias cokelat yang ada isinya. Aku sudah siap dengan semua bahan yang diperlukan, hanya saja aku tak tahu cara membuatnya.

Setelah mengetahui cokelat apa yang ingin kubuat, Rita segera menyiapkan semua alat dan bahan di meja. Sambil mengajariku ini-itu, ia memperagakan cara membuat cokelat yang kuinginkan. Setelah itu, ia menyuruhku membuat sendiri.

Pertama-tama, aku membuat isi cokelatnya dulu. Aku tahu Favian menyukai kopi, maka aku membuat cokelat isi kopi. Aku memanaskan fresh cream dan kopi instan di panci sambil terus mengaduknya sampai adonan menyatu. Kemudian, setelah selesai, aku mulai membuat cokelatnya.

Kuiris cooking chocolate tipis-tipis, kemudian kulelehkan cokelat itu di panci yang kuletakkan di atas panci lain yang berisi air mendidih. Setelah meleleh, kutambahkan mentega tawar ke dalam adonan cokelatnya.

Setelah adonan cokelat jadi, Rita menuangkan cokelat itu ke dalam cetakan, kemudian setelah beberapa saat ia menuangkannya kembali ke panci. Rita berkata, ini dilakukan untuk membuat cangkang cokelatnya. Setelah itu, kami menunggu sampai cokelat dalam cetakan itu agak beku sebelum mengisinya dengan adonan kopi. Terakhir, aku menuangkan adonan cokelat lagi untuk menutupi isi cokelatnya.

Setelah selesai, kamipun menunggu hingga cokelat itu mengeras sebelum dimasukkan ke dalam kulkas.

Aku baru tahu, ternyata memasak itu begitu menyenangkan!

***

“Nah, gimana cokelat buatan gue? Enak kan?”

Aku menanyakan pendapat Favian terhadap cokelat buatanku segera setelah ia memakannya. Ia tampak tertegun, mungkin tidak menyangka bahwa aku bisa membuat cokelat yang enak.

“Iya, Len. Cokelatnya enak! Isi kopi, ya?” Favian menjawab seraya mencomot satu buah cokelat lagi dari wadah di tangannya. “Elo hebat bisa bikin cokelat seenak ini. Gue salut. Gue kira elo nggak bisa masak, Len.”

Aku tersenyum, menyombongkan diri, “Gue gitu! Apa sih yang gue nggak bisa?”

Favian tertawa, kemudian menatapku serius, “Iya, Len. Gue percaya. Nggak ada yang elo nggak bisa. Kalau begitu, bisa juga kan jadi pacar gue?”

Aku membelalak tak percaya. Favian baru saja memintaku menjadi pacarnya!

Dan hal pertama yang kulakukan adalah berlari menuju dapur sekolah.

***
“Rita! Rita! Favian nembak gue!”

Aku memasuki dapur sekolah dengan girang, mencari Rita untuk berbagi cerita. Namun, Rita tak ada di sana. Yang ada adalah Bu Ratna yang menatapku dengan pandangan bingung.

“Lho, Helen? Cari siapa ke sini?”

Aku berusaha menetralkan ekspresi wajahku sebelum menjawab dengan sopan, “Maaf Bu, Rita ada? Saya mau ketemu sama dia.”

Bu Ratna mengerutkan kening mendengar pertanyaanku, kemudian menjawab lambat-lambat, “Rita? Siapa ya? Nggak ada yang namanya Rita di sini.”

Aku terkejut kemudian berkata, “Masa sih, Bu? Bukannya Rita itu asisten Ibu?”

Bu Ratna menatapku dengan pandangan kosong. “Asisten Ibu? Kamu yakin?”

“Iya, saya yakin! Kemarin saya membuat cokelat bersama dia!”

“Saya memang pernah punya asisten yang bernama Rita, tapi dia itu sudah meninggal karena kecelakaan tepat sebulan yang lalu, Helen..” Bu Ratna menjawab dengan suara pelan.

Seketika itu juga, aku merasa semuanya gelap.

***

Negri Cokelat

Oleh: @abi_ardianda


Dia bilang, "aku ingin mengunjungi negri cokelat."

Pangeran mewujudkan impian puteri itu biasa. Seperti dogma Peter Pan yang tak'kan tumbuh dewasa dan sepatu Cinderella yang terbuat dari kaca.

Hal itu membuat sang putri merasa terhutangi budi.

Entah, darimana datangnya perasaan ini, perasaan ingin mewujudkan mimpinya. Perasaan ingin menebus hutang budinya. Perasaan ingin membahagiakannya. Setelah semua yang telah dilakukannya.

"Aku ingin mengunjungi negri cokelat, princess," ia mengulangi impiannya padaku.

Dan ketahuilah, anak-anak perempuan membawa dongengnya sampai mereka tumbuh dewasa.

Kedengarannya gila. Negri cokelat? Mana ada?

"Tentu. Akan kubuatkan untukmu. Satu."

Lihat? Tak bisa kulihat ia kecewa. Setelah tak sekalipun kudibuatnya kecewa.

"Janji ya, Princess?"

"Janji."

***

Prince dan Princess, begitu panggilan sayang kami. Dia memang bukan betulan Prince, tapi aku menyukai caranya berlagak sebagai Prince. Itu membuatku memantaskan diri untuk menjadi seorang Princess untuknya.

"Prince, valentine nanti aku akan menepati janjiku. Aku akan membuatkanmu negri cokelat. Satu."

"Tapi bagaimana caranya?"

"Perihal itu kau tak perlu tahu."

Ia menggaruk kepalanya kemudian menopang dagu.

"Jangan berpikiran aku akan berubah menjadi Jhonny Deep yang mampu mengajakmu ke sebuah pabrik cokelat dalam film Charlie And Cokelat Factory."

Ia tertawa. Kami berciuman.

***

Banyak hal yang kupersiapkan untuk membuat negri cokelat.

***

"Happy valentine," bisiknya di telingaku. "Apa kabar negri cokelatmu, Princess?"

"Sudah kubuat. Hasilnya sempurna."

Kubawa ia duduk di sebuah cafe. Kututup matanya. Kupasang earphone di telinganya.

Ia baru saja sampai di negri cokelat ciptaanku.

Sekian.

Chokoreeto


Oleh: Nadya Nabila | @winterfireworks

Aku sudah siap.

Bagian belakang kerah seragam bergaya sailor warna hitam – putih khas sekolahku sedikit melambai akibat gerakku yang terburu – buru. Begitu juga rok sekolahku yang berusaha kujaga agar tidak naik terlalu tinggi saat aku bergerak. Tungkai mengayun cepat, aku melangkah panjang – panjang menyusuri koridor sekolah yang ramai.

Waktu makan siang memang waktu yang paling ramai di sekolah ini. Duduk berkelompok bersama kawan akrab masing – masing, membuka obentou1 yang sudah disiapkan oleh okaa-san2 di rumah. Kecuali hari ini—ada sesuatu yang berbeda. Tentu, koridor masih saja ramai dengan senpai3 – kouhai4 lalu lalang mengunjungi kelas lain dalam rangka menjemput kawannya untuk makan siang bersama. Masih saja ramai dengan dengung percakapan dan lengkingan suara sopran gadis – gadis yang bercengkrama.

Jika kau menyempatkan diri untuk melirik kalender hari ini, maka kau akan tahu mengapa hari ini berbeda.

Empat belas Februari, Valentine’s Day.

Sebuah bingkisan telah ada di tanganku. Kubus berukuran sedang berbungkus kado warna biru muda khas valentine dengan pita cantik yang tidak terlalu besar di atasnya sebagai penghias. Berisikan cokelat, bertuliskan namanya dengan white chocolate di atas dark chocolate yang sengaja kucetak dalam bentuk hati. Sedikit remah – remah kacang almond kutambahkan dalam adonannya untuk memberi rasa renyah yang pasti akan terasa enak dipadukan dengan melelehnya cokelat yang rasanya agak pahit itu. Ia tidak suka makanan manis, katanya, maka kupilih dark chocolate untuk membuat cokelat valentine untuknya.

Doki doki.

Begitu suara jantungku. Detaknya aneh tapi menyenangkan.

Langkahku terhenti. Aku tiba di tujuanku. Aku mengangkat wajahku, sekadar untuk memindai sekitarku, memastikan aku tidak salah tempat. Ini tempat yang benar, tempat dimana aku memintanya untuk menemuiku. Di tangga samping perpustakaan.

Aku sempat ke kelasnya tadi, pagi – pagi sekali. Meletakkan surat berisi permintaanku untuk menemuinya pada waktu makan siang di mejanya, saat belum ada orang yang datang.

Aku terdiam, berdiri di tempat. Sambil mencengkram kubus cantikku erat – erat sambil tetap menjaga agar isinya tidak remuk karena tenagaku.

Kami-sama5, apa suratnya sampai? Apa ia sudah membacanya? Apa ia sudi datang kesini, menemui kouhainya yang hanya ia kenal sambil lewat saja?

Aku menghela napas, pasrah. Ia populer. Teman wanitanya banyak. Guru – guru menyukainya, dan prestasinya tidak perlu diragukan lagi. Kabarnya ia baru saja menerima beasiswa ke luar negeri hadiah dari lomba penelitian yang ia menangkan beberapa waktu lalu. Dan kabarnya pula, ia akan berangkat secepatnya—

—yaitu besok.

Kami-sama, biarkan aku menemuinya sekali saja. Onegai6?

“Reika-chan?”

Sebuah suara. Jantungku serasa terhenti. Itu dia. Itu pasti dia. Dia mau datang. Dia mau menemuiku. Dia tidak menolakku. Dia—mungkin juga menyukaiku.

Kami-sama, aku harus bagaimana?
Aku berbalik cepat, hingga rambut hitamku yang tergerai hingga pinggang mengibas seperti di iklan shampoo. Kedua tanganku terjulur ke depan, mengulurkan bingkisanku yang sudah kusiapkan dari tadi. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan rona wajahku yang pasti sudah semerah tomat ranum.
“K... Kazu-senpai!” Aku memulai dengan terbata. Sial. Kenapa bicaraku jadi begini sih? “I... ini untuk senpai!” Masih dengan menundukkan kepala, aku makin menjulurkan tanganku. Mataku terpejam sekarang, tidak berani mengangkat wajah dan menatap ekspresinya. “S-senpai. Suki da yo.7

Dark chocolate, kesukaan senpai. Biru muda, warna kesukaan senpai.

Kami-sama. Diterima, atau dibuang ke tempat sampah, aku sudah tidak peduli lagi.

“Ah, arigatou. Tapi aku bukan Kazu.” Sebuah tawa ganjil mengiringi suara yang terdengar canggung. Refleks aku mengangkat wajahku, mencari tahu wujud rupa orang yang mengajakku bicara. Seseorang. Senpai yang sering kulihat bersama Kazu-senpai.

Tapi bukan dia.

Aku mematung. Terdiam. Aku menatapnya. Memintanya lanjut berbicara.

“Errr... Maaf.” Maaf? “Aku tahu tidak seharusnya aku membaca suratmu. Tapi—” D-dia membaca suratku? Kami-sama... “Kazu sudah pergi. Keberangkatannya dimajukan. Ia sudah naik pesawat tadi pagi.”

...Apa?

Peganganku pada cokelatku terlepas, dan pasti sudah jatuh berkeping – keping jika saja dia tak menahannya. Seperti aku. Seperti hatiku.

“H-hei, kau tidak apa – apa?”

Kami-sama, dia sudah pergi. Sudah terlambat. Sudah—

Semua sia – sia.

Kan?

Aku berbalik, berlari cepat – cepat meninggalkannya di belakangku.

“Hei, cokelatmu!”

Aku tidak menghiraukannya.



Translation:
1)Bekal makanan | 2) Ibu | 3) Senior | 4) Junior | 5) Tuhan | 6) Please | 7) Aku menyukaimu