Oleh: Rizka Hany (@hotarukika)
Api semangat penuh harapan berkobar ketika aku melangkah pasti ke arah tujuan hidup bahagiaku. Bahagia bersamamu.
Begitulah aku jika dideskripsikan. Melakukan banyak hal, belajar banyak hal, menjadi aku yang lebih baik.
Kamu, sosok sederhana yang mampu mengobarkan api semangat dan harapanku untuk memiliki hidup lebih bahagia. Menjalani sulitnya hidup pun tetap membuatku bersemangat dan penuh senyuman. Aku menitipkan harapanku agar aman padamu, begitu pun dengan kamu. Berbekal kepercayaan, aku dan kamu menjalani hidup di dunia yang berbeda. Namun dengan tujuan satu. Bersatu.
Indahnya…
Perlahan kamu mengirimkan awan dan tetiba hujan mematikan kobaran harapan milikku. Kobaran semangat dan harapanku tampak masih berjuang untuk menyala, hingga akhirnya kelelahan dan perlahan meredup dengan sendu.
Kamu, meminta harapan yang sempat dititipkan padaku kembali. Namun kamu mungkin lupa mengembalikan harapan milikku, hingga aku tidak memiliki satu. Dan masih selalu berharap bahwa harapan itu tetap kamu.
Aku yang penuh semangat dengan tujuan hidup sebagai kamu, kini hilang arah. Sebutlah aku bodoh. Yang sulit untuk bangkit ketika api semangat berbalik membakar hatiku. Hingga membiru. Sebutlah aku dungu. Yang berjalan ke depan dengan cara mundur masih ingin menatapmu.
Tapi, aku yakin akan waktu. Yang mampu mengobarkan kembali api harapanku yang sempat redup. Harapan padamu atau bukan padamu. Apapun itu, pasti aku dan waktu mampu. Walau membutuhkan lama untuk mewujud bahagia. Walau kuhabiskan seluruh hidupku yang berharga.
Kamu…
Lihatlah aku. Dari sisi lain yang bisa kamu tatap. Perhatikan aku tidak hanya dengan pikiran milikmu, tapi juga hatimu. Aku adalah sosok kuat yang pernah berjuang untukmu. Aku adalah sosok sabar yang pernah begitu lama menunggumu dengan setia. Aku yang tidak pernah mengeluh pada siapapun tapi berani tampak rapuh di hadapmu. Karena hanya kamu yang aku percaya untuk melihat lemahnya aku.
Aku bukan baja yang tahan api. Aku hanya kayu yang bisa terbakar. Tapi aku adalah kayu yang kokoh untuk menyanggamu jika kamu bersedia menjadi atap, memayungiku, melindungiku. Saling membantu.
Aku tidak butuh kamu dengan sosok sempurna tak tergapai. Aku hanya mau kamu yang sederhana seperti dulu yang menitipkan harapannya padaku untuk berjalan bersama. Pelan-pelan.
Sebutlah aku bermimpi. Bermimpi api harapan bisa berkobar lagi pada sosok yang sama.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label api. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label api. Tampilkan semua postingan
Senin, 26 September 2011
Ramalan Api
Oleh: @TengkuAR
“Baiklah, saya akan membacakan karakter anda sesuai dengan tanggal dan tahun lahir yang sudah anda tuliskan.”, kata seorang peramal dengan perawakan muka yang ayu, kulit sawo matang, tangan dan lehernya berhiaskan gelang dan kalung serta memakai penutup di kepalanya.
Awalnya Ardi tidak ingin di ramal, namun teman-temannya memaksa untuk di ramal dengan alasan seru-seruan saja.
“Seandainya waktu bisa gw putar, harusnya tadi gw nolak ajakan mereka ke Bandung ini.”, sesalnya dalam hati.
Di ruangan yang berukuran 3 x 4 meter ini, hanya ada Ardi dan Si Peramal saja, sedangkan teman-temannya menunggu di luar dan yakin mereka sedang menebak-nebak apa yang dikatakan peramal dengan gaya guyonan mereka masing-masing.
Nasi sudah menjadi bubur. Lalu kemudian…
“Anda ini adalah seorang yang cepat mengambil keputusan dan percaya pada diri sendiri, dapat bersikap sembrono dan menyebabkan kerusakan yang besar bila gagal mengontrol dan mengarahkan energi dengan tepat.”, dengan suaranya yang datar dan tanpa ekspresi Si Peramal itu tiba-tiba menyadarkan lamunannya.
“Saran saya, bila Anda jika selalu ingin menjadi pemenang utama, cobalah menghargai pandangan dan mendengarkan pendapat orang lain sebelum melakukan suatu tindakan, kembangkan sifat sebagai pendengar yang baik karena hal ini dapat mengendalikan kecenderungan untuk bersikap impulsif. Banyak dari orang-orang berunsur api seperti Anda juga cenderung untuk terlalu berani dalam mengemukakan pendapatnya. Maka, Anda harus mampu mengendalikan emosi, karena ambisi dan niat yang menggebu-gebu dapat memperbesar sifat egois Anda sehingga bersikap sembrono dan tidak sabaran bila keinginan tidak terwujud”, lanjut Si Peramal menjelaskan tentang pribadinya.
“Terus, kira-kira jodoh saya bagaimana?”, Ardi penasaran karena sifat yang dijelaskan menurut ramalan tersebut tidak terlalu baik.
“Cari yang berunsur Air. Dia akan mengimabangi kehidupan dan kepribadian Anda.”, Si Peramal pun menutup pembicaraan.
“Ah! Dasar peramal sok tau. Mana mungkin unsur pribadi gw Api.”, cacinya dalam hati dan sambil berlalu menuju tempat teman-temannya berkumpul.
Sesuai dengan prediksinya di dalam ruangan peramal tadi, kini Ardi menjadi bahan olok-olokan teman-temannya bahkan sampai perjalanan menuju rumahnya.
***
“Unsur Api dengan Unsur Air? Api dengan Air? Api-Air?”, kata-kata peramal waktu itu berputar-putar terus di otaknya.
“Kenapa gw jadi bego mikirin hal yang nggak penting kayak gitu ya?”, lawan kata hatinya.
“Udah lah pasrahin aja, gak baik juga mikirin hal-hal kayak gitu. Lagian itu kan cuma ramalan. Dan ramalan ini udah seminggu lalu.”, Ardi coba untuk menguatkan bahwa pikirannya adalah salah dan kata hati selalu benar.
***
Sebulan berlalu, namun Ardi tetap tidak bisa mengenyahkan kata-kata Si Peramal waktu itu. Ardi malah makin penasaran dengan yang di maksud unsur Air oleh Si Peramal.
Akhirnya dia sore ini meniatkan diri untuk pergi ke toko buku setelah pulang kerja nanti.
***
“Mba, dari tadi saya cari buku tentang ramalan kepribadian dengan unsur-unsur api atau air, pokoknya semacam itulah, tapi nggak nemu. Bisa tolong bantu saya, kalau Mba nggak keberatan?”, Ardi bertanya kepada seorang wanita seumurannya yang sedang berdiri di dekatnya sambil melempar senyum terhangat yang dia punya.
“Suka baca tentang ramalan kepribadian juga, Mas?”, dengan ramah wanita itu bertanya kepada Ardi dan tangannya tetap mencari-cari buku yang dimaksudkan.
“Nah! Ini dia, Mas. Silahkan di baca ya!”, belum sempat Ardi bertanya, ternyata wanita itu sudah menemukan buku yang Ardi cari.
“Oh, iya. Terima kasih, Mba! Tapi ngomong-ngomong, Mba juga suka baca buku sejenis ini?”, Ardi mencoba untuk membuka pembicaraan dan kali ini dia tertarik dengan kecepatan wanita itu saat mencari buku.
“Banyak lagian pengetahuan yang bisa diambil dari buku jenis ramalan ini. Bukan maksud untuk jadi dukun ya. Tapi kadang buku-buku jenis ini bisa bikin saya untuk cepat tahu kepribadian seseorang. Kayak Mas ini, saya bisa prediksi kalau unsur Mas adalah Api. Iya bukan? Semoga saya nggak salah ya. Dan saya di stand buku ini memang juga sedang mencari buku-buku tentang ramalan.”, wanita itu menjelaskan dengan panjang lebar dan menebak dengan benar unsur kepribadiannya disertai dengan tawanya yang renyah saat menjelaskan.
“Saya… Ardi, panggil saja seperti itu. Pantes Mba hafal letak buku yang saya cari. Dan mengenai tebakan Mba tadi, how come u know that? Satu lagi, boleh tau nama Mba?”, Ardi menjawab sambil terbata-bata karena kaget dengan tebakan wanita itu.
“Saya, Ira. Saya hanya tau begitu saja mungkin berkat buku-buku yang saya baca atau yang sedang Mas Ardi mau baca sekarang ini.”, balasnya dengan wajah yang terlihat sumringah karena telah menjawab benar.
“Dan Mba Ira sendiri unsurnya apa kalau boleh tau?”
“Saya, Air.”
Dan pembicaraan pun berlanjut makin hangat dan di warnai canda-tawa.
***
Hari ini, sejak pertemuan di toko buku empat tahun lalu. Ardi dan Ira pun mengikat janji sehidup semati. Pikiran dan kata hati Ardi pun tidak lagi bertentangan dengan ramalan apa yang dikatakan Si Peramal dan semua karena Ardi telah menemukan jawabannya, dia adalah Ira.
***
“Baiklah, saya akan membacakan karakter anda sesuai dengan tanggal dan tahun lahir yang sudah anda tuliskan.”, kata seorang peramal dengan perawakan muka yang ayu, kulit sawo matang, tangan dan lehernya berhiaskan gelang dan kalung serta memakai penutup di kepalanya.
Awalnya Ardi tidak ingin di ramal, namun teman-temannya memaksa untuk di ramal dengan alasan seru-seruan saja.
“Seandainya waktu bisa gw putar, harusnya tadi gw nolak ajakan mereka ke Bandung ini.”, sesalnya dalam hati.
Di ruangan yang berukuran 3 x 4 meter ini, hanya ada Ardi dan Si Peramal saja, sedangkan teman-temannya menunggu di luar dan yakin mereka sedang menebak-nebak apa yang dikatakan peramal dengan gaya guyonan mereka masing-masing.
Nasi sudah menjadi bubur. Lalu kemudian…
“Anda ini adalah seorang yang cepat mengambil keputusan dan percaya pada diri sendiri, dapat bersikap sembrono dan menyebabkan kerusakan yang besar bila gagal mengontrol dan mengarahkan energi dengan tepat.”, dengan suaranya yang datar dan tanpa ekspresi Si Peramal itu tiba-tiba menyadarkan lamunannya.
“Saran saya, bila Anda jika selalu ingin menjadi pemenang utama, cobalah menghargai pandangan dan mendengarkan pendapat orang lain sebelum melakukan suatu tindakan, kembangkan sifat sebagai pendengar yang baik karena hal ini dapat mengendalikan kecenderungan untuk bersikap impulsif. Banyak dari orang-orang berunsur api seperti Anda juga cenderung untuk terlalu berani dalam mengemukakan pendapatnya. Maka, Anda harus mampu mengendalikan emosi, karena ambisi dan niat yang menggebu-gebu dapat memperbesar sifat egois Anda sehingga bersikap sembrono dan tidak sabaran bila keinginan tidak terwujud”, lanjut Si Peramal menjelaskan tentang pribadinya.
“Terus, kira-kira jodoh saya bagaimana?”, Ardi penasaran karena sifat yang dijelaskan menurut ramalan tersebut tidak terlalu baik.
“Cari yang berunsur Air. Dia akan mengimabangi kehidupan dan kepribadian Anda.”, Si Peramal pun menutup pembicaraan.
“Ah! Dasar peramal sok tau. Mana mungkin unsur pribadi gw Api.”, cacinya dalam hati dan sambil berlalu menuju tempat teman-temannya berkumpul.
Sesuai dengan prediksinya di dalam ruangan peramal tadi, kini Ardi menjadi bahan olok-olokan teman-temannya bahkan sampai perjalanan menuju rumahnya.
***
“Unsur Api dengan Unsur Air? Api dengan Air? Api-Air?”, kata-kata peramal waktu itu berputar-putar terus di otaknya.
“Kenapa gw jadi bego mikirin hal yang nggak penting kayak gitu ya?”, lawan kata hatinya.
“Udah lah pasrahin aja, gak baik juga mikirin hal-hal kayak gitu. Lagian itu kan cuma ramalan. Dan ramalan ini udah seminggu lalu.”, Ardi coba untuk menguatkan bahwa pikirannya adalah salah dan kata hati selalu benar.
***
Sebulan berlalu, namun Ardi tetap tidak bisa mengenyahkan kata-kata Si Peramal waktu itu. Ardi malah makin penasaran dengan yang di maksud unsur Air oleh Si Peramal.
Akhirnya dia sore ini meniatkan diri untuk pergi ke toko buku setelah pulang kerja nanti.
***
“Mba, dari tadi saya cari buku tentang ramalan kepribadian dengan unsur-unsur api atau air, pokoknya semacam itulah, tapi nggak nemu. Bisa tolong bantu saya, kalau Mba nggak keberatan?”, Ardi bertanya kepada seorang wanita seumurannya yang sedang berdiri di dekatnya sambil melempar senyum terhangat yang dia punya.
“Suka baca tentang ramalan kepribadian juga, Mas?”, dengan ramah wanita itu bertanya kepada Ardi dan tangannya tetap mencari-cari buku yang dimaksudkan.
“Nah! Ini dia, Mas. Silahkan di baca ya!”, belum sempat Ardi bertanya, ternyata wanita itu sudah menemukan buku yang Ardi cari.
“Oh, iya. Terima kasih, Mba! Tapi ngomong-ngomong, Mba juga suka baca buku sejenis ini?”, Ardi mencoba untuk membuka pembicaraan dan kali ini dia tertarik dengan kecepatan wanita itu saat mencari buku.
“Banyak lagian pengetahuan yang bisa diambil dari buku jenis ramalan ini. Bukan maksud untuk jadi dukun ya. Tapi kadang buku-buku jenis ini bisa bikin saya untuk cepat tahu kepribadian seseorang. Kayak Mas ini, saya bisa prediksi kalau unsur Mas adalah Api. Iya bukan? Semoga saya nggak salah ya. Dan saya di stand buku ini memang juga sedang mencari buku-buku tentang ramalan.”, wanita itu menjelaskan dengan panjang lebar dan menebak dengan benar unsur kepribadiannya disertai dengan tawanya yang renyah saat menjelaskan.
“Saya… Ardi, panggil saja seperti itu. Pantes Mba hafal letak buku yang saya cari. Dan mengenai tebakan Mba tadi, how come u know that? Satu lagi, boleh tau nama Mba?”, Ardi menjawab sambil terbata-bata karena kaget dengan tebakan wanita itu.
“Saya, Ira. Saya hanya tau begitu saja mungkin berkat buku-buku yang saya baca atau yang sedang Mas Ardi mau baca sekarang ini.”, balasnya dengan wajah yang terlihat sumringah karena telah menjawab benar.
“Dan Mba Ira sendiri unsurnya apa kalau boleh tau?”
“Saya, Air.”
Dan pembicaraan pun berlanjut makin hangat dan di warnai canda-tawa.
***
Hari ini, sejak pertemuan di toko buku empat tahun lalu. Ardi dan Ira pun mengikat janji sehidup semati. Pikiran dan kata hati Ardi pun tidak lagi bertentangan dengan ramalan apa yang dikatakan Si Peramal dan semua karena Ardi telah menemukan jawabannya, dia adalah Ira.
***
Bocah Penggembala Api
Oleh: @meiizt
Aku mengenang api,
pada senja yang menggeliat di pelupuk matamu.
Menghujam selapis demi selapis jingga,
ingatku betapa panasnya.
Merona semburat demi burat merah, ingatku begitu nyalanya.
Terpanggang benih-benih khianat dalam hembusmu.
Kau bocah penggembala api, menjual jiwa kesana kemari.
Aku mengenang api, pada sajak kematian yang kau cermati.
Lalu berduri, apimu menumbuh onak jemari.
Perih, kugenggam saja dendam sudah bersemi.
Kupu-kupu kertas mengabu dalam jalannya ke akhirat.
Apa kau juga yang mengobral nyawa kekasihku pada iblis api?
Kau lumat rumahku lamat-lamat dalam asap yang menyengat.
Mataku terburai pandangan tulang-tulang berderak serak.
Menganga pada jiwa-jiwa menyerpih mengurai bara sepi.
Kekasihku terbakar sembilu dan aku tergugu.
Kau!
Kau bocah penggembala api, menjual jiwa kesana kemari!
Aku mengenang api,
pada senja yang menggeliat di pelupuk matamu.
Menghujam selapis demi selapis jingga,
ingatku betapa panasnya.
Merona semburat demi burat merah, ingatku begitu nyalanya.
Terpanggang benih-benih khianat dalam hembusmu.
Kau bocah penggembala api, menjual jiwa kesana kemari.
Aku mengenang api, pada sajak kematian yang kau cermati.
Lalu berduri, apimu menumbuh onak jemari.
Perih, kugenggam saja dendam sudah bersemi.
Kupu-kupu kertas mengabu dalam jalannya ke akhirat.
Apa kau juga yang mengobral nyawa kekasihku pada iblis api?
Kau lumat rumahku lamat-lamat dalam asap yang menyengat.
Mataku terburai pandangan tulang-tulang berderak serak.
Menganga pada jiwa-jiwa menyerpih mengurai bara sepi.
Kekasihku terbakar sembilu dan aku tergugu.
Kau!
Kau bocah penggembala api, menjual jiwa kesana kemari!
Keharmonisan Dalam Piciknya Perapian
Oleh: @anojumisa
Pagi ini dunia terasa indah ketika mentari seolah datang tersenyum menyambut awal kehidupan di akhir pekan. Ya, hari ini adalah hari terakhir dalam minggu ini sebelum memulai kembali hari penuh rutinitas keesokan harinya. Genangan air dengan segarnya mengguyur muka ini. Alhasil, imajinasi penjelajahan benua kehidupan hari ini seolah tergambarkan dengan penuh warna kesegaran.
Ditemani dengan sebuah laptop, hari ini pun dimulai. Klik demi klik-an tersentuh dengan sendirinya menemani penjelajahan di dunia maya. Situs jejaring sosial menjadi tujuan pertama untuk melihat perkembangan terkini orang-orang di lingkungan sekitar.
Setelah beberapa saat, kemudian terpikir sejenak untuk melihat keadaan di luar gubuk ini. Sambil menghirup udara segar di pagi hari terlihat di jalanan banyak orang-orang menikmati hari bebasnya dengan berolahraga seperti bersepeda, lari pagi, atau hanya sekedar berbelanja di sebuah pusat keramaian. Namun rasanya udara segar yang menjadi tujuan awal tadi sepertinya hanyalah sebuah angan-angan dikarenakan kondisi alam yang sudah tidak perawan lagi, dicumbui oleh asap-asap knalpot, tak bergairah karena alamnya yang sudah gersang ibarat mesin yang karatan. Tinggal menunggu malaikat israil menjemput jiwanya.
Setelah puas bercinta dengan keindahan pagi yang tak alami lagi, akupun kembali ke gubuk untuk mengistirahatkan sejenak tubuh setelah berjalan cukup jauh. Pikirku pun tak jauh dari laptop tua nan setia menemani hariku. Kunyalakan kembali seperangkat alat elektronik itu, kemudian ku jelajahi dunia hanya dengan meng-klik tombol mouse yang berkedip-kedip.
Tiba-tiba aku terkejut membaca seuntai kalimat. Kalimat-kalimat berikutnya pun muncul dengan maksud yang sama. Huh??? Ada bom bunuh diri di solo! Tak pikir panjang langsung aku cari berita selengkapnya mengenai hal itu. Ternyata memang benar. Ada sebuah bom bunuh diri yang meledak di kota solo, tepatnya di sebuah gereja. Sesaat setelah jemaah gereja tersebut menunakan ibadahnya.
Terpikir olehku sejenak, “Ada apa lagi sebenarnya dengan negeri ini?. Apa tidak cukup melihat penderitaan saudara-saudaraku yang sudah lelah meratapi nasibnya di tengah kesederhanaan hidup?.”
Ditengah kedamaian negeri ini masih saja ada orang-orang yang memiliki niat buruk dengan membawa tetesan darah saudaranya demi kepentingan yang tidak tahu maksud dan tujuannya. Mereka saudara kita kawan, lahir dari leluhur yang sama. Walau kita berbeda satu sama lain, tapi hal itu hanyalah masalah keyakinan dan prinsip hidup yang dimiliki manusia sebagai kaum yang diberi akal oleh sang Kuasa.
Lantas, apakah dengan berbeda kita harus selalu memaksakan kehendak kita agar semua yang ada di dunia ini selaras dengan apa yang menurut akal kita paling benar? Ingat, Tuhan saja menciptakan hamba-hambanya saling berpasangan, berbeda satu sama lainnya. Jadi, jika hal itu terjadi bukankah kita telah mendahului apa yang telah tuhan kita tetapkan sebelumnya?
Damai itu indah, kawan! Seuntai kata-kata yang sering kali terdengar namun susah untuk diaplikasikan. Sebenarnya inti permasalahannya bukan pada kesulitannya melainkan pada hati dari setiap kita yang saling berbeda. Banyak orang yang menjadi kayak arena hatinya juga kaya, tapi juga
banyak yang hatinya miskin namun kaya harta. Begitu juga sebaliknya, banyak orang yang miskin hartanya tapi kaya hatinya, juga ada yang miskin harta tapi juga miskin hatinya. Tuhan menciptakan kaumnya selalu pada titik kehidupan yang ia ciptakan sendiri. Ia hanya akan mendampingimu menjalani hidup ini di jalan yang telah engkau pilih.
Kembali api itu membakar hati seluruh negeri. Berkali-kali api itu jugalah yang menjadi sumber perpecahan negeri. Spekulasi negatif yang muncul tak luput dari serpihan-serpihan tangisan yang menderai seolah mencari akar dari asap kelam yang membumbung tinggi menghalangi terangnya cahaya nurani. Ia kembali membuat negeri ini dirundung masalah. Apa kata dunia, kawan? Ketika saya, anda, dan mereka tak mampu lagi menjadi serdadu pertahanan benteng negeri ini, yang ada adalah peperangan di dalam benteng sendiri. Miris melihatnya.
Akhir cerita ini akan selalu ditutup dengan untaian kalimat bijak yang nantinya diharap mampu meredakan kecamuk api perpecahan dalam lubuk kebohongan. Kita ini hidup di tanah yang sama, di bawah lindungan langit yang sama, di lembar siang dan malam yang sama, bahkan didalam satu naungan kemunafikan jiwa yang sama. Bukankah kesamaan itu pantasnya menjadi sebuah alunan keharmonisan lagu kehidupan di negeri yang diberkahi jutaan intan dan berlian di setiap pelosok lembah surgawi ini? Memang terkadang terasa terlalu memaksakan ketika harus menyamaratakan kehidupan jutaan makhluk itu dalam sebuah gardu nyawa yang selaras, tapi bukankah hal itu memang harus dilakukan agar tercipta keindahan alami dari sebuah kata yang dinamakan HIDUP?
Ano Jumisa
Jatinangor, 25 September 2011
23.03 WIB
Pagi ini dunia terasa indah ketika mentari seolah datang tersenyum menyambut awal kehidupan di akhir pekan. Ya, hari ini adalah hari terakhir dalam minggu ini sebelum memulai kembali hari penuh rutinitas keesokan harinya. Genangan air dengan segarnya mengguyur muka ini. Alhasil, imajinasi penjelajahan benua kehidupan hari ini seolah tergambarkan dengan penuh warna kesegaran.
Ditemani dengan sebuah laptop, hari ini pun dimulai. Klik demi klik-an tersentuh dengan sendirinya menemani penjelajahan di dunia maya. Situs jejaring sosial menjadi tujuan pertama untuk melihat perkembangan terkini orang-orang di lingkungan sekitar.
Setelah beberapa saat, kemudian terpikir sejenak untuk melihat keadaan di luar gubuk ini. Sambil menghirup udara segar di pagi hari terlihat di jalanan banyak orang-orang menikmati hari bebasnya dengan berolahraga seperti bersepeda, lari pagi, atau hanya sekedar berbelanja di sebuah pusat keramaian. Namun rasanya udara segar yang menjadi tujuan awal tadi sepertinya hanyalah sebuah angan-angan dikarenakan kondisi alam yang sudah tidak perawan lagi, dicumbui oleh asap-asap knalpot, tak bergairah karena alamnya yang sudah gersang ibarat mesin yang karatan. Tinggal menunggu malaikat israil menjemput jiwanya.
Setelah puas bercinta dengan keindahan pagi yang tak alami lagi, akupun kembali ke gubuk untuk mengistirahatkan sejenak tubuh setelah berjalan cukup jauh. Pikirku pun tak jauh dari laptop tua nan setia menemani hariku. Kunyalakan kembali seperangkat alat elektronik itu, kemudian ku jelajahi dunia hanya dengan meng-klik tombol mouse yang berkedip-kedip.
Tiba-tiba aku terkejut membaca seuntai kalimat. Kalimat-kalimat berikutnya pun muncul dengan maksud yang sama. Huh??? Ada bom bunuh diri di solo! Tak pikir panjang langsung aku cari berita selengkapnya mengenai hal itu. Ternyata memang benar. Ada sebuah bom bunuh diri yang meledak di kota solo, tepatnya di sebuah gereja. Sesaat setelah jemaah gereja tersebut menunakan ibadahnya.
Terpikir olehku sejenak, “Ada apa lagi sebenarnya dengan negeri ini?. Apa tidak cukup melihat penderitaan saudara-saudaraku yang sudah lelah meratapi nasibnya di tengah kesederhanaan hidup?.”
Ditengah kedamaian negeri ini masih saja ada orang-orang yang memiliki niat buruk dengan membawa tetesan darah saudaranya demi kepentingan yang tidak tahu maksud dan tujuannya. Mereka saudara kita kawan, lahir dari leluhur yang sama. Walau kita berbeda satu sama lain, tapi hal itu hanyalah masalah keyakinan dan prinsip hidup yang dimiliki manusia sebagai kaum yang diberi akal oleh sang Kuasa.
Lantas, apakah dengan berbeda kita harus selalu memaksakan kehendak kita agar semua yang ada di dunia ini selaras dengan apa yang menurut akal kita paling benar? Ingat, Tuhan saja menciptakan hamba-hambanya saling berpasangan, berbeda satu sama lainnya. Jadi, jika hal itu terjadi bukankah kita telah mendahului apa yang telah tuhan kita tetapkan sebelumnya?
Damai itu indah, kawan! Seuntai kata-kata yang sering kali terdengar namun susah untuk diaplikasikan. Sebenarnya inti permasalahannya bukan pada kesulitannya melainkan pada hati dari setiap kita yang saling berbeda. Banyak orang yang menjadi kayak arena hatinya juga kaya, tapi juga
banyak yang hatinya miskin namun kaya harta. Begitu juga sebaliknya, banyak orang yang miskin hartanya tapi kaya hatinya, juga ada yang miskin harta tapi juga miskin hatinya. Tuhan menciptakan kaumnya selalu pada titik kehidupan yang ia ciptakan sendiri. Ia hanya akan mendampingimu menjalani hidup ini di jalan yang telah engkau pilih.
Kembali api itu membakar hati seluruh negeri. Berkali-kali api itu jugalah yang menjadi sumber perpecahan negeri. Spekulasi negatif yang muncul tak luput dari serpihan-serpihan tangisan yang menderai seolah mencari akar dari asap kelam yang membumbung tinggi menghalangi terangnya cahaya nurani. Ia kembali membuat negeri ini dirundung masalah. Apa kata dunia, kawan? Ketika saya, anda, dan mereka tak mampu lagi menjadi serdadu pertahanan benteng negeri ini, yang ada adalah peperangan di dalam benteng sendiri. Miris melihatnya.
Akhir cerita ini akan selalu ditutup dengan untaian kalimat bijak yang nantinya diharap mampu meredakan kecamuk api perpecahan dalam lubuk kebohongan. Kita ini hidup di tanah yang sama, di bawah lindungan langit yang sama, di lembar siang dan malam yang sama, bahkan didalam satu naungan kemunafikan jiwa yang sama. Bukankah kesamaan itu pantasnya menjadi sebuah alunan keharmonisan lagu kehidupan di negeri yang diberkahi jutaan intan dan berlian di setiap pelosok lembah surgawi ini? Memang terkadang terasa terlalu memaksakan ketika harus menyamaratakan kehidupan jutaan makhluk itu dalam sebuah gardu nyawa yang selaras, tapi bukankah hal itu memang harus dilakukan agar tercipta keindahan alami dari sebuah kata yang dinamakan HIDUP?
Ano Jumisa
Jatinangor, 25 September 2011
23.03 WIB
Api
Oleh: Aditia Yudis (@adit_adit)
Setengah kota sudah lenyap dimakan kabut. Gelapnya malam tampak makin kelam dan sunyi. Namun langit memerah, membara penuh amarah.
Aku terpaku beku di tengah terpaan angin yang ditunggangi hawa dingin. Seharusnya tiupan udara bergerak itu bergelung menggigilkan tubuh, tapi tidak untuk malam ini. Tidak untukku yang berdiri di depan jilatan si jago merah sedang mengamuk.
Kupeluk diriku sendiri, sengatan rasa panas tak terhindarkan. Satu-satu peluh meleleh di pelipis dan punggungku, tapi aku tak berniat beranjak dari situ. Diam dan menikmati sosok kemerahan itu melahap rakus bagian diriku—hartaku yang kukumpulkan bertahun-tahun, kenangan, dan kamu.
Kepulan asap mengular liar, mencabik-cabik kabut yang ada di sekitar. Napasku terasa sesak, sesak oleh jelaga dan rasa kehilangan yang begitu dalam.
Kamu, masih di sana. Di dalam sana. Aku tak bisa sejengkal pun bergerak, cuma diam dan ketakutan.
Paru-paruku kupenuhi dengan udara panas bercampur debu kebakaran, kukeluarkan sisa napasku itu pelan-pelan. Berharap bisa melegakan sedikit saja benakku yang terasa sempit sekarang. Kobaran api itu mengirim semuanya ke udara kosong, begitu saja, tanpa bisa kucegah. Tanpa perasaan dan dalam waktu sekejap semua musnah. Nanti, setelah si api lelah tinggalah abu dan arang kehitaman. Tak akan ada yang bersisa, tak terkecuali kamu.
Dan kubiarkan bulir-bulir air menjatuhkan dirinya ke pipiku. Bisa kurasakan geraknya di tengah jalaran hawa menyengat. Rasa kehilangan dan penyesalan mendorong aliran air dari sudut mataku itu untuk terus beranak pinak di wajahku. Segalanya masih terasa seperti bunga tidur. Sore tadi, aku masih membereskan foto-foto kenangan kita—mengumpulkannya dalam satu album, melabelinya, dan menyusun rapi di rak. Aku pun baru saja menyiapkan malam malam istimewa dengan masakan favoritmu, opor ayam. Selain itu, aku juga sudah mengisi bak mandi dengan air hangat agar kamu langsung bisa membersihkan diri seusai kerja. Dalam hitungan jam, tak ada lagi yang tersisa dari semua itu.
Hari ini kan hari ulang tahun pernikahan kita. Api ini terlalu besar dari pada api lilin yang kusiapkan di atas strawberry shortcake. Api ini terlalu kencang untuk kutiup sendirian.
Kutundukkan kepalaku, gelanyut perasaan memberatiku. Dalam ingatanku, masih jelas bentuk rupamu. Pesta pernikahan kita yang meriah dan penuh suka cita dengan warna putih tergelar di penjuru ruangan. Tak bisa kulupakan bulan madu kita di pantai berpasir merah muda di Komodo dan tanganmu yang terus menaut jari-jemariku. Lalu perayaan-perayaan pesta ulang tahun pernikahan kita, pertama, kedua... dan sekarang tahun kelima.
Perayaan besar.
Tak ada lagi yang kumiliki, aku sendirian, pun dirimu di sana. Kubalikkan tubuhku dan memaksakan diri menggerakkan kakiku dengan berat. Aku harus mengikhlaskan semuanya, mau tak mau. Padahal aku masih ingin di situ, melihat akhirnya kamu ditemukan dan diselamatkan. Akan tetapi jelaga mempermainkan paru-paruku dan asap seakan menonjok mataku hingga aku tak henti menangis. Aku harus segera pergi dari tempat ini jika tidak ingin jatuh pingsan.
Berat hatiku meninggalkamu, tapi aku tak punya pilihan lain. Kamu juga tak memiliki pilihan lain, karena aku tidak meninggalkan pilihan apa-apa ketika mulai membakar rumah kita saat kamu menikmati air hangatmu. Itu lebih baik dari pada kamu memilih bersama selingkuhanmu. Tahukah kamu jika dia tidak lebih baik dari pada aku?
Ah, sekali lagi, selamat perayaan ulang tahun pernikahan kelima kita. Kuhadiahkan api sebagai hadiah terindah untukmu.
Sukanagara, 16 Juli 2011
Sebelumnya pernah dimuat di http://aditiayudis.wordpress.com/2011/07/16/api/
Setengah kota sudah lenyap dimakan kabut. Gelapnya malam tampak makin kelam dan sunyi. Namun langit memerah, membara penuh amarah.
Aku terpaku beku di tengah terpaan angin yang ditunggangi hawa dingin. Seharusnya tiupan udara bergerak itu bergelung menggigilkan tubuh, tapi tidak untuk malam ini. Tidak untukku yang berdiri di depan jilatan si jago merah sedang mengamuk.
Kupeluk diriku sendiri, sengatan rasa panas tak terhindarkan. Satu-satu peluh meleleh di pelipis dan punggungku, tapi aku tak berniat beranjak dari situ. Diam dan menikmati sosok kemerahan itu melahap rakus bagian diriku—hartaku yang kukumpulkan bertahun-tahun, kenangan, dan kamu.
Kepulan asap mengular liar, mencabik-cabik kabut yang ada di sekitar. Napasku terasa sesak, sesak oleh jelaga dan rasa kehilangan yang begitu dalam.
Kamu, masih di sana. Di dalam sana. Aku tak bisa sejengkal pun bergerak, cuma diam dan ketakutan.
Paru-paruku kupenuhi dengan udara panas bercampur debu kebakaran, kukeluarkan sisa napasku itu pelan-pelan. Berharap bisa melegakan sedikit saja benakku yang terasa sempit sekarang. Kobaran api itu mengirim semuanya ke udara kosong, begitu saja, tanpa bisa kucegah. Tanpa perasaan dan dalam waktu sekejap semua musnah. Nanti, setelah si api lelah tinggalah abu dan arang kehitaman. Tak akan ada yang bersisa, tak terkecuali kamu.
Dan kubiarkan bulir-bulir air menjatuhkan dirinya ke pipiku. Bisa kurasakan geraknya di tengah jalaran hawa menyengat. Rasa kehilangan dan penyesalan mendorong aliran air dari sudut mataku itu untuk terus beranak pinak di wajahku. Segalanya masih terasa seperti bunga tidur. Sore tadi, aku masih membereskan foto-foto kenangan kita—mengumpulkannya dalam satu album, melabelinya, dan menyusun rapi di rak. Aku pun baru saja menyiapkan malam malam istimewa dengan masakan favoritmu, opor ayam. Selain itu, aku juga sudah mengisi bak mandi dengan air hangat agar kamu langsung bisa membersihkan diri seusai kerja. Dalam hitungan jam, tak ada lagi yang tersisa dari semua itu.
Hari ini kan hari ulang tahun pernikahan kita. Api ini terlalu besar dari pada api lilin yang kusiapkan di atas strawberry shortcake. Api ini terlalu kencang untuk kutiup sendirian.
Kutundukkan kepalaku, gelanyut perasaan memberatiku. Dalam ingatanku, masih jelas bentuk rupamu. Pesta pernikahan kita yang meriah dan penuh suka cita dengan warna putih tergelar di penjuru ruangan. Tak bisa kulupakan bulan madu kita di pantai berpasir merah muda di Komodo dan tanganmu yang terus menaut jari-jemariku. Lalu perayaan-perayaan pesta ulang tahun pernikahan kita, pertama, kedua... dan sekarang tahun kelima.
Perayaan besar.
Tak ada lagi yang kumiliki, aku sendirian, pun dirimu di sana. Kubalikkan tubuhku dan memaksakan diri menggerakkan kakiku dengan berat. Aku harus mengikhlaskan semuanya, mau tak mau. Padahal aku masih ingin di situ, melihat akhirnya kamu ditemukan dan diselamatkan. Akan tetapi jelaga mempermainkan paru-paruku dan asap seakan menonjok mataku hingga aku tak henti menangis. Aku harus segera pergi dari tempat ini jika tidak ingin jatuh pingsan.
Berat hatiku meninggalkamu, tapi aku tak punya pilihan lain. Kamu juga tak memiliki pilihan lain, karena aku tidak meninggalkan pilihan apa-apa ketika mulai membakar rumah kita saat kamu menikmati air hangatmu. Itu lebih baik dari pada kamu memilih bersama selingkuhanmu. Tahukah kamu jika dia tidak lebih baik dari pada aku?
Ah, sekali lagi, selamat perayaan ulang tahun pernikahan kelima kita. Kuhadiahkan api sebagai hadiah terindah untukmu.
Sukanagara, 16 Juli 2011
Sebelumnya pernah dimuat di http://aditiayudis.wordpress.com/2011/07/16/api/
Langganan:
Postingan (Atom)