Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 01 Agustus 2011

Kami Sayang Adri

Oleh: Rahmi Afzhi Wefielananda
Twitter : @Afzhi_

Bel masuk telah berbunyi. Namun, guru belum datang. Kelas ini sunyi.
Tidak ada keributan seperti sedia kala. Keributan yang selalu
dikatakan bak pasar sayur oleh para majelis guru. Kelas terheboh yang
tidak jera akan hukuman. Kelas yang terkenal akan seorang murid yang
dikenal dengan sebutan ‘aktor nakal’, yang menjadi pelopor dalam
keributan kelas. Dia hampir tidak pernah mendengarkan nasehat guru.
Hampir setiap hari. Kalau dihitung-hitung, 97% guru sering dibuat
kesal akan ulahnya.
Meski pun begitu, kami menyayanginya. Kami sering meminta kepada
Tuhan, memohon kepada-Nya agar mengubah sikapnya. Agar dia sadar
dengan kesalah-kesalahannya. Agar dia berubah menjadi anak yang baik,
sopan dan santun meski pun membutuhkan waktu yang tidak singkat. Semua
itu kami lakukan karena kami sayang kepadanya. Tepai, hari ini Adri
sang aktor nakal tak tampak lagi. Tak tampak batang hidungnya yang
mancung, matanya yang bulat, mukanya yang panjang, dan sepatunya yang
kebesaran. Tidak ada lagi sang pemimpin kehebohan. Semua dirundung
duka.
* * *
“Apa lo butuh bantuan? Jangan ragu-ragu giru dong. Bilang aja. Kita
kan saudara. Kita satu kelas sebagai keluarga,” ujar Adri aktor nakal
yang juga dikenal sebagai anak yang peduli dan memegang arti
kekeluargaan di dalam kelas. Aku kaget. Tidak menyangka. Ternyata,
semua perkataan teman-teman di kelas terbukti, bahwa Adri juga
memiliki sisi baik. Adri memang sering tidak menghiraukan perkataan
guru. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tetapi, itu hanya dalam
masalah-masalah kecil. Seperti dia yang paling sering permisi dan
bermain-main kalau guru mengajar, meribut di dalam kelas, dan hampir
setiap hari meminjam PR kepada teman. Menurutku hanya nasehat-nasehat
tentang itu yang selalu di peringatkan guru kepadanya. Hanya itu.
Itulah sebabnya, teman-temanku selalu mendoakannya agar mendengarkan
semua perkataan mulia yang disampaikan orang tua-orang tua kami di
sekolah. Dan bagiku, inilah pertama kalinya Adri menunjukkan sisi
baiknya padaku. Disaat semua teman sekelas sudah pulang, tinggal aku
yang sibuk memikirkan tentang persiapan kelas menghadapi pentas seni
sekolah karena aku adalah seorang ketua kelas dan juga Adri yang
sedang mengerjakan hukuman menulis kalimat ‘Saya akan berusaha menjadi
anak baik’ sebanyak 500 kali. Berdua saja. Biasanya, Adri selalu
kutegur jika meribut. Tetapi, nampaknya dia tidak marah. Buktinya,
sekarang dia menawarkan bantuan kepadaku yang sedang kewalahan.
“Bahan-bahan untuk pentas lusa belum lengkap, Ri. Baju adat yang akan
dipakai penari piring belum sempat kusewa. Padahal hari ini, aku harus
pulang kampung bersama keluarga untuk menjenguk nenek yang sedang
sakit.”
“Lo gak usah pusing gitu kali Sarah. Kan ada gue. Biar gue yang
beliin. Mana uangnya? Terus nyewanya dimana? Gue siap sedia kok.”
“Tapi, kamu kan lagi ngerjain hukuman kamu? Lagian tempat nyewanya
jauh. Di salon X di pasar H. 5 km dari sini. Jalan rayanya ramai.
Rawan kecelakaan. Kamu kan kalau bawa motor sering ngebut-ngebutan.”
“Tugasnya udah selesai kok. Gak papa. Gue janji deh buat gak ngebut,”
jawabnya serius.
“Serius?”
“Seratus rius!!”
“Oke deh ini uangnya dan ini gambar model bajunya. Makasih ya, Ri.
Kamu mau bantuin aku,” aku menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan
kepadanya.
“Kita kan keluarga. Jadi harus saling membantu.”
Terharunya aku mendengar kata-kata itu.
* * *
‘Sar, kamu udah tau belum? Kalau Adri kecelakaan. Dia ditabrak oleh
mobil yang sopirnya nyetir ugal-ugalan di jalan raya deket pasar H.
Sekarang dia kritis di Rumah Sakit ABCD’ Itu isi pesan yang aku terima
dari Nora di perjalananku saat pulang dari rumah nenek. Aku kaget
bukan kepalang. Ini semua salahku. Kenapa aku membiarkan Adri pergi ke
pasar itu? Aku menyalahkan diriku sendiri. Aku tak mau tahu. Aku harus
bertanggung jawab kepada Adri. Harus. Lalu kuminta ayahku untuk
mengantarku ke rumah sakit tempat Adri di rawat. Ayahku setuju. Segera
mobil berbalik arah. Setelah itu melaju kencang. Namun…
Malang bagiku. Setiba di rumah sakit, aku sudah kehilangan Adri.
Banyak teman-temanku yang berada di sana. Semuanya menangis. Adri
telah menghadap yang Maha Kuasa. Aku menangis sejadi-jadinya.
Menyalahkan diri. Tiba-tiba, seorang ibu menghampiri. “Kamukah teman
Adri yang menjadi ketua kelas?” tanyanya kepadaku.
“Iya,bu,” jawabku tersedu.
“Tabahkan hatimu, nak. Semua ini bukan salahmu. Ini sudah takdir
Tuhan. Saya ibunya Adri. Adri sempat menyampaikan pesannya untuk semua
teman-temannya. Dan ini rekamannya,” ibu yang matanya sembab karena
menangis itu memberikan sebuah radio kecil.
“Teman-teman maafkan semua kesalahan yang aku lakukan selama ini. Aku
selalu merepotkan kalian. Aku tidak peduli dengan kalian yang
memintaku untuk sopan kepada guru. Dan aku juga ingin memberi tahu,
kecelakaan ini bukan karena salah siapa-siapa. Ini adalah takdir
Tuhan. Dan tolong sampaikan permintaan maafku untuk guru-guru kita
yang tercinta,” itulah isi perkataan Adri. Aku memberikan radio itu
kembali kepada Ibu Adri. Setelah itu, beliau memberikan 7 stel baju
kepadaku. Baju adat. Adri masih sempat membelinya sebelum peristiwa
itu terjadi. Kami semua terharu. Sampai akhir hidupnya pun Adri masih
membantu kami. Serempak kami semua menengadahkan tangan. Berdoa
dipimpin Fahrul meminta kepada Tuhan agar memberikan tempat yang baik
di sisi-Nya untuk Adri. Selamat jalan Adri. Kami sayang kepadamu■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!