Oleh: (@tweet_tie)
“Yah, gimana sih caranya supaya bisa cepat bisa naik sepeda?”
Ayah yang sedang memompa ban sepeda kecilku itu bahkan tidak menoleh ketika mendengar pertanyaanku. “Caranya ya kamu harus rajin berlatih setiap hari. Semangat lah. Jangan sedikit-sedikit mengeluh. Jatuh sekali sudah malas belajar.”
Aku mencibir. Luka di lututku masih terasa perih, mana mungkin bisa langsung belajar lagi, berjalan saja aku sulit. Huh, apanya yang semangat?
“Sampai sekarang juga aku belum pernah merasa benar-benar semangat”
Sama seperti bertahun-tahun yang lalu, orang yang yang aku ajak bicara bahkan tidak menoleh mendengar perkataanku. Bedanya dulu yang ku ajak bicara adalah ayah, sementara hari ini yang ada di hadapanku adalah kamu. Ya, kamu lebih tertarik menatap huruf-huruf kecil yang tertata di novel tebalmu itu.
“Aku bahkan tidak tahu semangat itu apa..” Aku melanjutkan kalimatku sambil sedikit merajuk. Mana mungkin buku yang sebagian sampulnya sudah rusak itu lebih menarik dari aku.
“Kamu terlalu menginginkan banyak penjelasan Rana... “
Berhasil, akhirnya kamu menaruh perhatian padaku. Aku diam, menunggu lanjutan kata-katamu, sementara kamu meletakkan buku di pangkuanmu, setelah tidak lupa memberi pembatas.
“Kamu sendiri kan tahu kalo tidak semua hal itu punya penjelasan.. “ Lanjutmu.
“Tapi setidaknya beri aku penjelasan sedikit...”
“Jangan terlalu membayangkan bahwa semangat itu adalah hal yang muluk. Bahkan ketika kamu akhirnya tetap belajar sepeda waktu itu pun sudah merupakan semangat Ra... Atau seperti sekarang. padahal kamu tahu aku kalau aku tidak suka diganggu saat membaca, tapi tetap saja kamu merajuk seperti ini, itu saja sudah bisa jadi contoh nyata semangatmu untuk mendapatkan jawaban.”
Sambil berkata begitu kamu menatap tepat di kedua bola mataku. Aku selalu suka ditatap seperti itu. Rasanya seperti kamu mentransfer sedikit energimu padaku.
“Aku tetap belajar sepeda waktu itu bukan karena semangat, tapi karena kesal diejek oleh kakakku. Beri aku satu contoh lagi!” Aku tetap merajuk sambil meraih buku di pangkuanmu. Aku tak mau perhatianmu kembali teralih pada buku jelek itu.
“Coba kamu baca buku itu sampai selesai.”
Aku melirik buku di tanganku. Huh, apa-apaan. “Aku tidak mau. Dan jangan coba untuk mengalihkan topik.”
“Rana, aku tidak mengalihkan topik. Aku yakin, kalau kamu mau membaca buku ini sampai selesai, kamu pasti akan merasakan semangat yang aku rasakan sekarang...”
Sambil berkata begitu kamu menyambar buku di tanganku, lalu kembali tenggelam dalam dunia yang tidak aku tahu. Dan aku tetap menatap wajahmu. Wajah tampanmu, hidung mancungmu, dan matamu yang selalu bercahaya itu.
Sekarang aku tahu, semangat itu kamu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!