Oleh: Mei Uchiha
Bocah perempuan itu memainkan kunci emas di tangannya sambil memandang matahari yang perlahan-lahan mati. Mati di matanya.
"sayang, itu berbahaya," seorang wanita dewasa memegang pundaknya dan mencoba mengambil kunci itu dari tangannya.
"kunci itu beracun, meracuni duniamu.."
Tapi si bocah tak jua melepas kunci itu. Ia terus menggenggamnya dengan erat, bahkan ia tak berpaling pada sang wanita.
"manis, kau harus ke dalam. Langitnya sudah mulai merah," bujuk sang wanita. Bocah itu akhirnya mendongak.
"kenapa langitnya saja yang merah? Apakah tanahnya juga bisa berubah jadi merah?"
sang wanita tersenyum samar mendengar perkataan si bocah.
"ah, ya, tanah ini juga bisa jadi merah. Tapi belum waktumu untuk melihat tanah yang merah.."
bocah perempuan itu cerdas. Ia bisa menangkap apa yang dimaksud sang wanita, meski ia tak mengakuinya terang-terangan.
Dengan wajah polos, si bocah menurut saja ketika sang wanita menuntunnya masuk ke dalam rumah. Melalui pintu besi yang berderit kelam dan memberi tanda bahwa ia tak akan pernah bisa keluar lagi.
Tinggal selangkah saja menuju kedalaman bangunan besar itu, ketika sebuah suara memecah kebisuan senja. Suara peluru yg lepas dari kandangnya dan menembus daging, mencipratkan darah ke permukaan tanah yang cokelat.
Yang sekarang berubah jadi merah.
Sepasang tangan lain langsung menarik si bocah ke dalam rumah tanpa memberi kesempatan padanya untuk menoleh, tapi ia cukup mengira-ngira apa yang telah terjadi.
"bahwa tanah telah berubah jadi merah," si bocah menggumam sendiri.
##
...Kunci ini beracun. Meracuni duniaku...
Si bocah perempuan menggenggam kunci emas di tangannya. Satu tahun sudah berlalu sejak kejadian tanah yang menjadi merah.
Berarti, sudah satu tahun pula ia tak melihat dunia luar. Tak berinteraksi dengan apa-apa kecuali segala apa yang ada di dalam bangunan rumah ini.
Si bocah tersenyum miris. Ia bahkan tak mempunyai kesempatan untuk memakamkan jenasah ibunya.
Ibunya yang tertembus peluru ketika tanah yang berubah menjadi merah.
"Peluru itu milik musuh," begitu kata kakak ibunya sambil menutupkan selimut ketika akan tidur.
Bocah itu kecil, tapi cerdas.
Peluru itu sebenarnya terlepas dari tangan pamannya, adik ayahnya yang sampai kini masih menangisi takdir yang membuatnya membunuh kakak iparnya.
...demi kunci emas yang kini ada dalam genggamanku...
Sebenarnya apa yang mereka cari?
...aku tahu...
Sehari sebelum peristiwa tanah yang berubah jadi merah, si bocah perempuan kehilangan kakeknya. Ayah dari ayahnya yang selama ini merawat ia dan ibunya.
Sang kakek begitu baik hati. Kaya raya.
Tapi dalam masa lalunya ia menyimpan kelicikan dan menyembunyikannya dengan lihai.
...egoiskah kakek??...
Sang kakek tak ingin orang lain yang menghabisi nyawanya. Sehingga ia memutuskan sendiri waktu kematiannya.
Sebelum itu, ia mewariskan semua kekayaannya pada cucu satu-satunya, kesayangannya.
...dan semua malapetaka berawal dari kunci emas ini...
Kunci emas itu adalah kunci dari segalanya. Segalanya yang kini diperebutkan banyak orang, dari pihak ayah dan ibunya.
Bahkan orang2 yang mengaku2 saudaranya meski jauh.
Kini si bocah perempuan ada di pihak keluarga sang ibu, wanita yang telah berkorban demi kunci emas itu. Hanya sang kakek, si bocah, dan Tuhan yang tahu kata kunci untuk menjadikan kunci itu berguna.
Tapi, si bocah sekarang tak mau bicara. Ia tak mau berbuat apa-apa.
Benar kata ibunya dulu, kunci itu telah meracuni dunianya.
##
Sekarang, sudah sepuluh tahun lewat sejak peristiwa tanah yang berubah jadi merah. Si bocah perempuan sekarang menjadi seorang gadis cantik yang rapuh.
Sudah sepuluh tahun ia tak melihat dunia luar. Tak jua berinteraksi dengan apa-apa selain segala apa yang ada di dalam bangunan rumah ini.
...aku lelah, kunci ini terlalu beracun bagi duniaku...
Kemudian sebersit kenangan melintas dalam benaknya.
...egoiskah aku?...
Sang gadis memilih untuk memutuskan sendiri akhir detak jantungnya.
##
Kunci emas itu berlumuran darah. Darah amis pekat yang menggenang di permukaan marmer putih. Sebilah pisau menancap menembus sebuah jantung, jantung yang telah koyak. Dan tak lagi berdentum memberi tanda kehidupan.
Penghuni rumah ini baru menyadarinya sehari kemudian.
Pekik histeris memecah kunci kebekuan dalam ruangan itu.
Tapi yang pertama terpikir oleh mereka adalah kunci emas yang bersimbah darah, tergenggam dalam tangan pucat seorang gadis.
...ah, egoiskah aku?...
##
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!