Oleh: Stephie Anindita
Aku sudah memperhatikan ekspresi muram bercampur sedih di wajahnya ketika aku datang ke rumahnya minggu sore itu. Ia masih memaksakan seulas senyum pahit saat melihatku, tapi sorot matanya tidak bisa menipu. Pasti rasa tertekan itu kini tengah menyiksanya lagi, pikirku. Rasa iba mengiris hati, tapi aku berusaha tidak menunjukannya. Aku tetap bersikap biasa-biasa saja, seolah tidak menyadari apa-apa.
Padahal, aku seperti bisa merasakan rasa sedih dan frustrasi yang ia rasakan ... sebagai seorang anak yang drop out sekolah karena memiliki kesulitan membaca, ditekan terus-menerus oleh keluarganya dan kini di usianya yang sudah berkepala 2 masih harus tunduk pada peraturan di keluarga yang mengharuskan setiap anak memiliki gelar minimal S1. Ia tidak pernah menceritakan itu padaku, aku mendengarnya dari cerita teman-temanku di ‘Helping Hands’ – organisasi sosial khusus anak-anak dengan kesulitan belajar – tempatku bekerja sukarela di akhir minggu.
Selama ini, murid-murid yang aku ajari adalah murid-murid berusia sekolah dan manula dengan kesulitan membaca, entah karena dyslexia atau penyakit saraf yang menyebabkan kemunduran kemampuan mental mereka. Murid-muridku semua memanggilku ‘Ibu’ walau ada yang usianya empat kali lipat usiaku. Syukurlah hingga saat ini, mereka merasa senang belajar denganku. Beberapa murid yang masih kecil malah ada yang memanggilku ‘Mamah’ atau ‘Bunda’! Aku merasa bahagia banget setiap kali melihat kemajuan setiap murid yang aku ajari, sekecil apapun itu. Seribu langkah pasti dimulai dari satu langkah, kan? Karena itu aku tidak pernah mau menyepelekan satu-dua paragraf ekstra yang berhasil mereka baca, atau satu kalimat yang berhasil mereka tulis dengan benar tanpa salah eja. Semua itu tetap kuanggap keajaiban-keajaiban kecil, yang dianugerahkan Sang Pencipta terhadap usaha keras mereka.
Anyway, baru dua minggu terakhir ini aku mengajari seorang murid yang usianya lebih tua hanya beberapa tahun dariku. Waktu pertama kali aku bertemu dengannya, aku agak kaget juga. Aku hanya membaca sekilas file profil murid baruku ini, yang aku tau dia drop out dari SMA dan baru saja menyelesaikan ujian persamaan. Kini ia perlu bantuan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Namanya Raka, usianya 22 tahun, hanya 3 tahun lebih tua dariku. Ia orang yang sangat ramah dan supel. Tidak seperti murid-murid yang selalu menunjukkan sikap permusuhan terhadapku di awal pertemuan, Raka menyambutku dengan ramah seperti bertemu dengan teman lama. Ia memohon bimbinganku dan mengikuti sesi pelajaran dengan baik.
Tapi tak urung, beberapa kali aku melihat ekspresi muram di wajahnya. Seperti hari ini.
“Sore, Mas Raka!” sapaku.
“Sore, Bu Vio...” Raka tersenyum dipaksa. “Silahkan duduk, Bu.” Katanya mempersilahkanku duduk di kursi gazebo taman yang menjadi tempat sesi belajar kami.
“Gimana kabarnya hari ini?” aku menaruh map berisi bahan mengajar di atas meja.
“Begitulah, Bu!” ia mengangkat bahu. “Tugasnya belum bisa saya kerjakan. Kemarin saya sempat ada masalah, jadi enggak ada waktu.”
“Oh oke, enggak masalah. Kita bahas tugasnya bersama-sama saja, oke?” aku tersenyum, lalu mengeluarkan berkas-berkas materi mengajarku hari itu. Kami mulai membahas tugas membaca yang kemarin kuberikan padanya bersama-sama. Aku senang sekali ketika Raka berhasil membaca satu setengah paragraf sendiri tanpa bantuanku.
“Selamat, Mas Raka!” seruku dengan perasaan senang yang membuncah. “Lihat, kamu bisa membaca sebanyak itu sendiri. Dua kali lipat lebih banyak dari yang kemarin.”
“Yah ...” Raka tersenyum malu-malu.
Aku mengacungkan jempolku, tersenyum senang. “Yang penting kamu tenang aja, jangan grogi, oke?”
“Makasih ya, Bu Vio ...” Raka tersenyum lebih lepas. Matanya menyipit, berbinar-binar seakan ada bintang yang berkelip jenaka di sana, gingsul di gigi yang tampak saat ia tertawa itu justru menambah cute wajahnya. Aku merekam pemandangan manis itu dalam pikiranku diam-diam, merasakan kembali debaran aneh di dada yang belakangan ini semakin nyata kurasakan setiap kali aku berada di sisi Raka. Debaran aneh yang terasa begitu indah, namun sedikit menyakitkan di saat yang bersamaan.
Malam itu malam minggu, tapi aku merasa enggan beranjak dari kamar kostku. Setumpuk tugas dan laporan kemajuan murid-muridku menunggu untuk kuperiksa karena saat itu sudah mendekati hari evaluasi. Hehe ... inilah yang sering diteriakkan oleh teman-teman sebagai sebab utama aku tidak punya pacar sampai sekarang. Kata mereka aku terlalu serius, terlalu workaholic. Mereka enggak habis pikir apa yang membuatku begitu tekun bekerja di organisasi sosial ini, yang upahnya juga enggak bisa dibelikan jins merk Guess?
Well ... aku enggak tau ini memang jalan hidupku atau apa, tapi dulu aku berteman dengan banyak anak yang memiliki kesulitan belajar. Dan aku selalu enggak tahan melihat mereka hanya bisa menangis ketika dibentak-bentak guru karena dicap ‘malas’, diejek-ejek oleh teman-teman atau hanya bisa menunduk saat orangtua mereka menunjukkan kekecewaan dan rasa malu akan mereka. Sebisa mungkin aku berusaha menolong mereka, walau pernah juga aku terlibat masalah karena aku memberikan contekan mencongak pada seorang anak yang memiliki kesulitan berhitung.
Tapi pengalaman yang paling berkesan adalah ketika aku dekat dengan Yogi, seorang anak laki-laki autis yang gemar menggendong-gendongku kesana-kemari. Setiap jam tiga sore Yogi datang ke rumah, mengguncang-guncang pagar sampai aku keluar, lalu menggendongku dan mengajakku berjalan-jalan. Yogi tidak bicara apa-apa selama ia menggendongku di punggungnya, aku yang banyak berceloteh tentang apa saja yang melintas dalam pikiranku saat itu. Satu hal yang aku tau, aku sayang Yogi. Dan Yogi juga sayang padaku, aku yakin itu, walau ia tidak tahu bagaimana cara menunjukannya. Hanya dengan menjemputku setiap jam 3 sore, mengajaku berjalan-jalan keliling kompleks, lalu menurunkanku tepat pukul setengah lima sore di depan rumah. Itulah caranya menunjukkan rasa sayangnya padaku.
Hingga hari itu tiba, ketika aku mulai dileskan Matematika oleh orangtuaku. Di hari pertamaku les, sepulang dari sana aku mendengar Yogi dibawa ke rumah sakit. Katanya Yogi terus mengguncang-guncang pagar dan memanggil-manggil namaku. Ketika dicegah oleh tetangga yang kebetulan melintas, Yogi berontak dan marah-marah. Akhirnya para tetangga pun beramai-ramai membawa Yogi pergi. Aku tidak pernah melihat Yogi lagi setelah itu.
“Hhhh ...” aku menghela nafas, mencoba kembali berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Aku sampai ke satu nama yang belakangan ini semakin sering menggema dalam kepalaku. Raka Nathaniel. Aku menuliskan setiap kemajuan yang kutemukan dari hasil evaluasiku, tersenyum kecil saat melihat hasil akhirnya. Yah, walaupun tidak cepat, tapi lumayanlah ... pikirku. Setiap kemajuan murid-muridku, sekecil apapun itu adalah keajaiban kecil yang harus disyukuri.
Tiba-tiba aku teringat wajah Ibu Raka saat mengajakku bicara 4 mata setelah sesi belajar kami selesai. Ketika itu, aku berusaha meyakinkan wanita itu kalau Raka memiliki kemauan besar dan kita semua akan berusaha sebaik mungkin untuk membantu Raka mengatasi kesulitan-kesulitan yang ia hadapi.
“Pokoknya kita hanya bisa berusaha, Bu, sembari berdoa ...” kataku menatap mata Ibu Raka, meyakinkannya. “Semoga saja Mas Raka bisa mencapai kemajuan yang maksimal dalam belajarnya.”
“Iya ...” mata wanita itu berkaca-kaca, tapi masih bersinar penuh harap. “Terimakasih, Bu Vio ... terimakasih sekali...” bisiknya lirih.
Hanya itu yang bisa aku berikan pada Ibu Raka dan Raka.
Itulah caraku untuk menunjukkan ... rasa sayangku terhadap Raka.
Aku tau ini enggak pantas. Raka adalah muridku, enggak kurang dan enggak lebih ... tapi aku enggak bisa memungkiri perasaanku sendiri. Aku sudah merasakan perasaan ‘sayang’ itu sejak pertama kali aku bertemu dengan Raka. Jantungku berdegup semakin cepat ketika aku duduk berdekatan dengannya dan mati-matian aku berusaha menjaga sikap tenangku di depannya. Dan setiap kali sesi belajar kami berakhir, otakku rajin memutar ulang setiap tawa, canda dan senyuman yang kami bagi ... dan bayangan akan semua itu tidak mau lepas dari pikiranku.
Dan setiap kali sesi belajar yang baru dimulai, aku selalu berharap aku bisa mengatakan hal yang tepat di saat yang tepat ... agar aku bisa melihat wajah Raka tersenyum lagi.
Raka memang enggak pernah curhat terang-terangan padaku soal apa yang meresahkan hatinya, tapi beberapa kali aku memperhatikan wajahnya tampak murung. Hhh ... andai saja Raka berusia enam tahun atau enam puluh tahun sekalian, pasti aku bisa saja memegang tangannya, menatap langsung ke bola matanya dan berkata kalau ia tidak berjuang melawan kesulitannya sendirian, karena ada aku di sini... seperti yang kadang kulakukan pada murid-muridku di saat mereka merasa sedih atau kecewa.
Tapi Raka hanya berusia 3 tahun lebih tua dariku, ia cowok dan yang namanya ‘chemistry’ itu pasti ada kan? Aku takut ia salah sangka ... well... bukan salah sangka juga sih sebenarnya. Aku memang menyayanginya, tapi ... enggak pantas aku merasakan seperti ini! He is my student, for God’s sake!
“Dia itu murid kita, Vi ... enggak enak lah kalau sampai loe ada apa-apa sama dia.” Terngiang lagi kata-kata Tatiana, rekan pengajarku di ‘Helping Hands’ ketika aku menceritakan soal perasaanku yang ‘berbeda’ terhadap raka. “Loe harus tetap jaga sikap loe terhadap dia. Jangan kelewat deket, apalagi sampai terlibat secara emosional.”
“Hhhh ...” aku kembali menghela nafas lirih, lalu mengambil buku cerita ‘Alice in Wonderland’ edisi ‘Easy Reading’ yang diperuntukkan khusus untuk anak-anak dengan kesulitan belajar. Buku itu adalah buku yang baru selesai kami baca bersama saat test minggu lalu. Aku ingat, saking girangnya bisa membaca seluruh buku itu, Raka sempat meminta buku itu.
“Buku ini buat saya ya, Bu Vio? Buat kenang-kenangan!” ujarnya sambil tersenyum manis.
Asal tau saja, aku NYARIS saja mengiyakan dan memberikannya padanya saat itu juga. Aku yakin saat itu pasti bakalan jadi momen yang tidak terlupakan, lebih-lebih kalau Raka langsung tahu apa yang aku rasakan terhadapnya. Tapi syukurlah aku masih bisa menggunakan akal sehatku. Aku hanya tertawa dan berkata separuh bercanda. “Habis ini saya masih ada murid-murid lain yang mau saya ajar, Mas Raka! Nanti saya ngajarnya pakai apa dong?”
Aku meraih tasku, mengambil buku serupa yang tadi baru aku beli di toko buku asing. Aku berniat akan memberikannya ini ke Raka besok, saat aku menunjukkan rapornya ... oke, mungkin enggak secara langsung. Aku akan memberikannya pada Ibunya. Itu jalan yang paling aman. Buat Ibunya agar bisa membaca bersama dengan Raka, sekalian latihan.
Mendadak perutku terasa mengejang ... entah kenapa aku gugup, padahal aku enggak melakukan sesuatu yang salah! Dulu murid-muridku kadang juga aku hadiahi buku cerita, mainan berbentuk angka/huruf atau satu set alat menulis untuk memotivasi mereka belajar. Tapi ... aaargh! Kenapa rasanya seperti dulu ketika SMA, saat aku mau memberikan kado cokelat valentine pada senior cowok yang aku sukai? Deg-degan gak jelas begini ... aduhh!
“Ini buat kamu, Raka.” Aku menyodorkan buku itu padanya. “Tetep semangat ya! Saya akan selalu mendukung kamu.”
“Aduh, Bu Vio ... sampai repot-repot begini ... kemarin itu saya hanya bercanda lho, Bu!” Raka tampak salah tingkah, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir. Gestur yang sangat, SANGAT adorable ... apalagi ditambah senyum lucunya itu. Aku tertawa untuk menutupi salah tingkahku.
“Ya gak apa-apa, biar kamu tambah semangat belajar, oke?” kataku.
“Vio, makasih banget ya ...” kata Raka tiba-tiba.
“I-iya sama-sama ...” aku berusaha tetap tenang saat Raka lupa memanggilku ‘Bu’, walau saat itu jantungku serasa rontok mendengar nama panggilan yang selama ini ingin sekali aku dengar darinya.
“Selama ini hanya kamu dan Mama yang selalu nyemangatin saya. Sebelum saya ketemu kamu, saya... saya enggak nyangka bisa ketemu seseorang selain Mama yang membuat saya merasa semuanya akan baik-baik saja. Dan satu hal, saya senang sekali dengan apa yang saya rasakan setiap kali kamu ada di samping saya.” Kata Raka. Sebelum aku sempat bereaksi, ia meraih tanganku dan menggenggamnya hangat dalam tangannya. Mata elangnya menatapku lembut, penuh perasaan ...
Ya Tuhan! Jangan sampai! Jeritku dalam hati. Aku ingin menarik tanganku, tapi sekujur tubuhku terasa kaku. Aku tidak mampu bicara. Tidak mampu bergerak. Raka menatap mataku tajam. “Violet ... saya-...”
Jdukk!! Kepalaku membentur sesuatu yang keras.
“Hah? Hah? Hah?” aku gelagapan. Jantungku berdetak kencang. Aku menatap ke sekeliling, mendadak disorientasi. Akhirnya aku sadar kalau aku sedang berada di kamarku. Rupanya aku ketiduran saat menilai rapor murid-muridku. Apa yang aku alami barusan, jelas hanya mimpi. Ampuuun! Seperti yang dikatakan Beyonce ‘Sweet dreams or a beautiful nightmare’. Aku gak tau harus kecewa atau lega.
Oke, ini konyol! Aku mendumal dengan perasaan campur aduk. Malu, geli, kesal dan sebagainya. Aku memutuskan untuk menyelesaikan sisa pekerjaanku besok pagi, toh tinggal sedikit lagi. Berusaha melupakan yang terjadi, aku beranjak ke tempat tidur dan melanjutkan tidurku di sana.
Besoknya, pagi-pagi sekali ...
Aku baru saja bangun dari tidurku ketika HP-ku berbunyi. Mama Raka, calling ...
“Selamat pagi?” sapaku, berdeham beberapa kali agar suaraku tidak terlalu parau.
“Pagi Bu Vio ... sedang sibuk, Bu?” tanya wanita itu ramah seperti biasanya.
“Oh, tidak Bu! Ada yang bisa saya bantu?”
“Begini, Bu Vio. Maaf saya baru bisa mengabari sekarang. Tapi mulai hari ini, Raka sudah tidak les lagi”
HP di genggamanku nyaris saja terlepas. Jantungku seperti tertembak anak panah. Nafasku sesak tiba-tiba. “Oh ...” hanya itu yang mampu kuucapkan. “Mh... k-kenapa ya, Bu, kalau boleh saya tau?”
Nafas Ibu Raka terdengar agak bergetar ketika ia melanjutkan kata-katanya. “Raka... Raka minta ijin merantau sama saya, Bu Vio. Dia bilang, dia mau mandiri. Dia ingin menentukan jalannya sendiri. Dia enggak bilang mau kemana, dia hanya nitip salam buat Bu Vio ... katanya terimakasih sudah banyak mendukung dia selama ini dan minta maaf kalau dia ada salah sama Bu Vio.”
Selanjutnya aku tidak ingat lagi apa yang dikatakan Ibu Raka. Aku masih bisa mengucapkan ‘terimakasih’ padanya dengan suara yang tenang, tapi setelah pembicaraan kami ditutup, air mata dengan cepat mengaburkan pandanganku dan tangisku pun pecah di pagi hari yang dingin itu.
Bodoh, bodoh, bodoh! Apa sih yang aku tangisi? Apa yang aku sesali? Enggak seharusnya aku menangis! Enggak seharusnya aku menyesal! Kalaupun Raka terus ada di sampingku, apa yang bisa aku lakukan coba? Dia tetap muridku, aku tetap gurunya. Enggak akan ada yang berubah. Aku tetap enggak mungkin mengucapkan 3 kata ajaib ‘saya-sayang-kamu’ dan berharap hubungan kami akan semakin dekat melebihi murid dan guru, kan?
Tapi ... aku tetep enggak bisa memungkiri. Aku hanya ingin berada di sisi Raka. Aku ingin terus melihat senyumnya, mendengar tawanya ... dan dapat menjadi orang yang mampu menolongnya melewati saat-saat dimana ia merasa down.
Terserah ia mau menganggapku guru, sahabat, mama kedua .... apa sajalah! Aku enggak perduli.
Aku hanya ingin ada di sisi kamu, Raka ... itu aja.
Selama ini aku cukup merasa bahagia bertemu dengannya seminggu sekali ... menikmati setiap detik kebersamaan kami walau hanya satu jam ... berharap kalau Raka akan banyak bertanya padaku soal pelajaran, agar kami bisa mengobrol setidaknya sepuluh menit lebih lama ... mengucapkan syukur dalam hati apabila aku bisa mengubah ekspresi muram di wajahnya menjadi senyuman manis ...
Dan kini, semua itu seperti mimpi indah yang harus berakhir ...
“Selamat jalan, Raka ...” bisikku lirih, berusaha mengucapkan harapan disela-sela air mata kesedihan yang tidak henti-hentinya membasahi wajahku. “Dimanapun kamu berada, saya harap kamu selalu baik-baik saja. Jaga dirimu baik-baik ya ... saya hanya bisa menjaga kamu dengan doa saya ... saya sayang kamu, Raka...”
Inspired by a song ‘Malaikat Juga Tahu’ by Dewi ‘Dee’ Lestari :)
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Saya ada lagu yang bermanfaat agar anak bisa belajar membaca sambil bernyanyi…
BalasHapusSudah banyak dipakai di TK dan Paud se-Indonesia…pasti akan sangat bermanfaat
Dapatkan pula lagu3 pandidikan anak lainnya secara GRATIS!!
Klik saja:
http://lagu2anak.blogspot.com/2010/07/blog-lagu-dongeng-pendidikan-anak.html
..
thank you lagunya :) :) :) hehehehe ...
BalasHapus