Oleh : Ikra Cendana Lintang
http://sedikitkisahkami.blogspot.com/
Kampung Pulo Gede, Gang Angsa.
Hujan yang turun rintik-rintik membuat malam itu lebih dingin dari biasanya. Beberapa genangan air membuatku memacu motorku sedikit pelan. Sekelompok muda-mudi dengan dandanan yang mentereng keluar dari istananya, siap untuk bermalam-mingguan. Tukang-tukang jajanan mulai tampak, jalanan sedikit ramai dengan orang-orang yang lalu lalang, mayoritas pengemudi sepeda motor. Di sebuah perempatan, di samping warteg, kumpulan para pemuda Kampung Pulo sudah banyak berdatangan. Sebuah TV yang diletakkan di atas rak yang menempel pada tembok warteg menjadi pusat perhatian mereka. Aku berulang kali mengendorkan gas, jalanan kampung yang sempit itu ramai dengan anak-anak singkong yang tengah bermain. Orang tua mereka pun tidak mau ketinggalan, kumpulan bapak-bapak paruh baya terlihat sedang asik berbincang seputar banyak hal. Rokok dan kopi teman setia mereka saat menghabiskan malam.
Aku menghetikan motorku disebuah rumah kontrakan yang tidak terlalu besar, tepat di depannya ada sebuah balai, tempat aku dan teman-temanku nongkrong. Bodang adalah nama sang pemilik rumah. Pemuda yang cukup disegani di kampungnya, pemuda yang sudah menikah dan dikaruniai dua orang anak. Beberapa temanku sudah ada disana lebih dulu. Dholud, Ditya, dan Odet. Mereka bertiga sedang asik mengobrol ketika aku datang. Bodang sedang sibuk dengan motor kesayangannya. Mpok, (sebutan kamu untuk istri Bodang) sedang menonton TV di dalam, di sampingnya duduk seseorang yang berambut putih, mengenakan kemeja santai dan celana bahan. Dia adalah teman baik Bodang. Entah siapa nama aslinya, tapi aku dan teman-teman memanggilnya Baba.
Obrolan kami yang ngalor-ngidul membuat waktu bergulir dengan cepat. Hujan rintik-rintik yang sebelumnya turun, sekarang sudah berhenti. Suara knalpot motor yang tadinya mewarnai malam, sekarang sudah menghilang. Berganti dengan sunyi. Kami yang masih asik mengobrol memutuskan untuk pindah tempat, karena anak Bodang yang paling kecil ingin tidur. Dan kami tentu tidak ingin mengganggunya dengan obrolan dan ketawa-ketiwi kami. Kami beranjak dari teras rumah Bodang dan bergerak ke tempat Bodang biasanya berjualan minuman. Di bawah sebuah pohon rindang yang tumbuh membelah jalan menjadi dua bagian. Di depannya ada hamparan aspal luas yang multifungsi. Parkiran sekolah, lapangan bola lengkap dengan gawangnya, lapangan basket lengkap dengan dua buah ringnya, dan kadang menjadi tempat adu skill para bocah pecinta adu layangan.
Obrolan kami mengalun pelan. Sembari menghisap rokok, kami terhenyak pada sunyinya malam. Dingin dan langit mendungnya menyelimuti kami. Bulan hanya menampakkan sedikit sinarnya. Aroma mistis yang sedari tadi memang sudah terasa tak bisa disembunyikan. Daerah ini memang terkenal agak rawan. Gossip-gossip yang berhembus menyebutkan kalau daerah ini dulunya adalah kuburan Belanda. Ada juga versi yang menyebutkan kalau dulu disini adalah rawa yang banyak menelan korban. Tidak ada sumber yang jelas memang. Tapi beberapa rentetan peristiwa yang pernah terjadi disini membuat kami yakin kalau alam lain itu memang ada.
Obrolan kami sampai di titik jenuh. Tidak ada lagi yang melemparkan topik untuk dibahas. Aku, Dholud, Ditya, Odet, Bodang, dan Baba terdiam. Kami membiarkan pikiran kami pergi jauh melayang. Fokus kami hanya satu; lapangan multifungsi yang sepi itu. Tiba-tiba Baba yang diketahui memang "ngerti" hal-hal yang begituan memecahkan lamunan kami.
"Rame ya di lapangan...."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!