Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 16 Oktober 2011

Harga Mati

Oleh: Khairunnisa Putri (@Pupuutc)


Dengan puluhan rumus yang terpatri di benakku, dapatkah aku menghitung peluang kebersamaan kita?


“Ran, udah makan belum? Temenin makan yuk, laper nih!” ajak Faisal tanpa basa-basi.

Dengan senyum sumringah yang seketika menghiasi wajahnya, Kirana mengangguk cepat. Sontak bangun dari duduknya. “Boleh, mau makan dimana?”

“Kantin aja, yuk.”

Kirana tersenyum lagi, kali ini berjalan mengikuti Faisal yang sudah ngeloyor duluan. Mereka berhenti di depan tukang soto dan memesan seporsi untuk masing-masing. Kirana mengulum senyum malu. Faisal mengajaknya makan bersama! Berapa persen kemungkinan cowok itu suka padanya?

“Malem minggu mau kemana Ran?” Faisal bertanya di sela aktivitas makannya.

“Hm...” Kirana mendadak salah tingkah. Mungkinkah Faisal akan mengajaknya malam mingguan? “Engga kemana-kemana kayaknya, kenapa emang?”

Faisal angkat bahu. “Nggak apa-apa, kirain mau malem mingguan kemana,” jawabnya sambil nyngir.

“Paling juga mau kerjain tugas, nyicil supaya pas Minggu nggak terlalu capek.”

“Rajin banget dasar, emang lo mau kuliah apa sih, Ran? Kedokteran ya?”

Kirana tersenyum spontan. Faisal tahu cita-citanya padahal ia bukan termasuk orang yang senang gembar-gembor perihal masa depan. Tidak seperti Anida, teman sekelas mereka, yang sepertinya seantero sekolah sudah tahu mengenai cita-citanya sebagai penyanyi. Pertanyaannya: apakah mungkin Faisal juga ada hati pada Kirana?

“Iya Sal, mau banget jadi dokter! Kok tau sih?” tanya Kirana penuh selidik.

Faisal meneguk teh panasnya sebelum menjawab. “Tau dong, mau jadi dokter kulit kan?”

Lagi-lagi, sebuah fakta tersembunyi mengenai dirinya yang diketahui pemuda ini. “Iya, mau ambil spesialis kulit dan kecantikan,” jawabnya kalem.

“Pasti bisa Ran, lo kan pinter, rajin, dan konsisten. Apalagi nilai lo di sekolah bagus terus, udah gitu lo sering ikut lomba, pasti banyak piala dan sertifikat.”

Dipuji seperti itu oleh cowok yang disukainya, wajah Kirana merona merah. Ia mencoba tertawa untuk menutupi rasa malunya. Lagi-lagi pernyataan itu menyeruak ke permukaan, mungkinkah Faisal merasakan hal yang sama dengan Kirana? Mungkinkah sebentuk perhatian dari pemuda ini dapat meningkatkan peluang kebersamaan mereka menjadi lebih dari 50%? Atau malah sampai 75%?

“Ah, lo bisa aja Sal, tapi Amin deh.”

Faisal tertawa pelan. “Amin gitu Ran, orang yang sungguh-sungguh pasti sukses kok.”

Kirana tersenyum sungguh-sungguh. Sejak tadi ia penasaran ingin melontarkan pertanyaan yang sama. “Lo sendiri malem minggu mau kemana?” tanyanya dengan intonasi sedatar mungkin.

“Nina minta ditemenin ke toko buku, gue sih iya aja mumpung nganggur. Bosen juga di rumah, ade gue si Ila pasti diapelin cowoknya.”

Glek! Kirana menelan ludah. Faisal mau malam mingguan sama Nina? Mungkinkah Faisal juga menyukai Nina? Tapi, itu Nina yang mengajak. Sedangkan mereka sekarang, Faisal yang mengajak. Mungkinkah yang disukai Faisal adalah Kirana?

Gadis itu tersenyum hambar seraya mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dari dompetnya. Melihat itu, Faisal menggeleng cepat. “Gue yang bayar aja, Ran,” potongnya cepat kemudian mengangsurkan selembar uang dua puluh ribu ke abang tukang soto.

Kirana berdiri duluan lalu ngeloyor pergi begitu saja tanpa menunggu Faisal. Mood-nya sudah keburu jelek. Mau ditraktir atau tidak, sepertinya kemungkinan Faisal menyukai dirinya atau tidak akan tetap berada pada rasio yang sama. Harga mati yang sama.

Lima puluh banding lima puluh.

***

4 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!