Oleh: Farida Susanty @faridasusanty
insignificantlyimportant.tumblr.com
20 tahun, dan kamu tidak berubah.
Aku hanya terpaku melihatmu terpaku melihatku. Matamu masih tetap seperti itu. Berbinar dengan cara yang tidak pernah bisa kulihat pada mata orang lain, selama apapun aku hidup, sebanyak apapun orang yang pernah kutemui. Aku tidak pernah bertemu orang lain sepertimu. Dengan mata seperti ini.
Tanganmu gemetar dan kamu hampir membalikkan tubuhmu dariku. Tapi kutarik tanganmu dengan kekuatanku yang sudah tidak seperti dulu. Untung kau berhenti.
Aku tersenyum dan menutup mataku.
Memohon padamu.
Dan ketika kubuka mataku, aku lega kamu masih di sana. Kamu menangis. Kamu mengerti aku tidak bisa merasa lebih bersalah dari ini.
Karena sejak dulu, memang hanya ada kita di dunia ini, bukan?
Kau ajak aku masuk ke dalam rumahmu. Kau belum bercerita apapun padaku, tapi aku sudah mengerti apa yang terjadi. Kulihat foto-foto yang tertempel di dindingmu. Kulihat orang-orang yang tidak pernah kutemui. Anak-anak kecil yang mirip dirimu. Laki-laki yang merangkul bahumu. Lalu anak-anak dalam versi lebih dewasa dengan orang-orang lain yang akhirnya membawa mereka keluar dari rumahmu. Foto-foto perkawinan.
Aku iri sekaligus merasa sayang pada mereka semua, karena kulihat kamu juga begitu menyayangi mereka.
Rumahmu terasa nyaman. Tidak begitu besar, tapi terasa dingin walau udara di luar panas membara. Tidak banyak lukisan yang tertempel. Tidak banyak aksesoris. Tidak ada permadani, tidak ada tempelan berbau religius. Kamu selalu bermasalah dengan agama. Kita berdua selalu bermasalah dengan agama.
Kamu hendak mendudukkanku ke sofa hitam yang nampak nyaman itu. Tapi kepalaku rasanya berputar sangat kencang ketika kamu memegang tanganku.
Saat itulah aku tahu aku tidak ingin di situ. Aku tidak ingin ada di rumah ini. Aku ingin membawamu ke tempat yang kita tahu. Bukan di sini.
Bukan di sini.
Dengan tergopoh-gopoh, kuajak dirimu memasuki mobilku. Aku tidak percaya kamu sama lemahnya denganku sekarang. Beberapa kali kamu memegangi pinggangmu dan memintaku untuk berjalan lebih lambat.
Aku tahu ini karena usia, tapi aku ingat masa-masa dulu. Kamu juga sering memintaku untuk berjalan lebih lambat. Dan saat itu pula. Ketika aku berjalan terlalu cepat dengan hidupku, berlari kesana kemari, ke satu negara ke negara lain, mencari hal yang tidak kamu mengerti, kamu melakukan itu juga; kamu memintaku untuk berhenti, berjalan lebih lambat.
Dulu aku tidak memenuhi keinginanmu. Sekarang aku akan memenuhinya.
Kupegang tanganmu erat-erat, dan kuikuti irama berjalanmu.
Ternyata cukup nyaman.
Aku selalu merasa nyaman di dekatmu.
Ketika kamu sudah duduk di sebelahku, perasaanku semakin nyaman. Sudah lama kuimpikan ini. Melihatmu duduk di sebelahku, di mobil yang kubeli sendiri ini. Ada orang-orang yang duduk di sana, tapi itu bukan dirimu. Aku ingin dirimu yang ada di sini.
Kulitmu begitu transparan ditembus matahari. Aku tidak bisa berhenti menatapinya walau aku sedang mengemudi. Aku tahu kamu melihatku dengan khawatir, takut kita berdua mati.
Tapi apalah peduli kita, kita sudah terlalu lama tidak bertemu.
Waktu bukan lagi misteri. Kita siap mati.
Dan aku masih takjub dengan segala hal pada dirimu. Rambut lebatmu yang sudah berwarna putih sekarang. Tanganmu yang kurus, dengan nadi-nadi yang bisa selalu aku lihat kasat mata. Pinggangmu yang ramping, padahal kau telah lama melahirkan dua anak.
“Kamu masih cantik sekali,” bisikku ke telingamu.
Kamu terkikik geli, menatapku dan memukul lemah tanganku.
Kikikan yang sama dengan masa itu. Aku menyukai tawamu.
Kita sampai di tempat itu.
Kamu tahu tempat ini. Kita selalu duduk di sana berjam-jam ketika matahari muncul dan matahari tenggelam. Aku selalu bersamamu ketika hari dimulai dan hari selesai.
Kuremas tanganmu dan kamu sekali lagi menangis. Kamu gemetar lagi, berusaha menarik tanganmu dariku. Aku tetap menggenggamnya.
“Aku tidak mau kamu pergi lagi,” bisikku ke telingamu. Kamu semakin gemetar. Tapi kucoba memeluk dirimu. Kamu begitu rapuh, aku takut memelukmu.
Kamu tidak menolak.
“Aku masih kagum bagaimana aku masih merasa butuh kamu seperti ini. Aku tidak pernah… sedetikpun tidak memikirkan kamu.”
Kamu mengangguk. Kamu menggeleng-geleng. Aku tidak mau membayangkan apa yang terjadi di dalam pikiranmu. Semua perasaan yang kamu alami. Suami yang harus kamu nikahi. Anak-anak yang harus kamu urusi, tanpaku di sisi.
Aku ingin minta maaf, tapi aku pikir minta maaf tidak akan berarti banyak. Kutatap matamu lagi dan berenang di dalamnya. Kupegangi terus tanganmu yang gemetar. Aku ingin membayar semuanya, tapi mungkin itupun tidak akan berarti banyak.
“Setidaknya sekarang aku di sini. Sekarang aku di sini,” Kubisikkan itu ke telingamu lagi. Kamu semakin gemetar. Aku terus memelukmu. “Hey cantik, aku di sini….”
20 tahun, dan kamu tidak berubah.
Kita tidak berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!