D
Aku cuma seseorang yang sendirian di tengah kota yang kelam. Saat ini senja hari, orang-orang berlalu-lalang mengejar sepi. Sama seperti aku, mereka benci keramaian yang melumpuhkan. Damai selalu hilang ketika bus-bus berseliweran mencari penumpang, pencopet mencari makan dari hasil keringat korban, dan polisi tak henti-hentinya mencegati mobil kaya demi selembar uang haram. Ya, aku berada di sudut halte di jalan Sudirman, menunggu sepiku yang tak kunjung datang.
Lalu wanita ini tiba-tiba menghampiriku, duduk di bangku sebelahku. Aku membeku.
“Halo Dit. Lama gak ketemu. Lagi apa?” sapanya ramah. Ia masih cantik seperti dulu. Mantanku.
“Nunggu bis,” jawabku kaku. Aku sedang tidak mau diganggu.
Ia memilih untuk tidak meneruskan percakapan, membuka smartphone-nya yang sedari tadi ia genggam. Wajahnya berubah muram.
***
Tara
Nampaknya sepi menyelimuti dirinya, bahkan di tengah keramaian halte bus dan lalu lalang jalan raya. Ia tak mau diganggu, sepertinya. Apalagi olehku. Maka aku memilih diam dan bercakap-cakap online dengan Bayu.
“Aku ketemu Dita di halte.”
“Lalu?”
“Awkward. Gak mau ngobrol sama aku.”
“Emang kenapa sih dulu kalian tiba-tiba diem-dieman? Bukannya kalian tuh udah kayak sodara ya?”
Ah, ibu jariku terdiam. Tak mungkin ku bilang bahwa kami dulu memang lebih dari teman.
“BB lowbat, Bay. See you tonite!”
Busku datang. Aku berdiri sambil melambaikan tangan. Tak kusangka Dita melakukan hal yang sama.
***
Dita
Hanya ada dua bangku kosong yang tersisa di dalam patas AC yang kami naiki bersama. Aku duduk di sebelahnya, terpaksa. Sadar bahwa ada alasan Tuhan di baliknya, aku mulai bicara.
“Bayu apa kabar, Ra? Masih, kalian?” aku tak kuat menyebut kata ‘pacaran’.
“Masih. Kamu, apa kabar?”
“Masih sama kayak yang dulu,” lalu kata-kataku habis. Keberanianku terkikis.
Maka aku kembali memikirkan sepi. Satu-satunya teman yang kumiliki tiga tahun belakangan ini.
Tapi kali ia meneruskan percakapan.
“Aku sama Bayu… sebulan yang lalu tunangan. Kita mau nikah tahun depan. Kamu mau datang?”
‘Mau’ datang? Aha. Pemilihan katanya sangat tepat dan beralasan. Aku mungkin bisa, tapi untuk mau… “Aku gak tahu, Ra. Lihat nanti aja.”
“Hm. I see.”
Begitu saja. Lalu sepi datang lagi. Kekakuan membekukan pikiran kami.
***
Tara
“Masih sama kayak yang dulu,” katanya. Seakan memproklamirkan kebebasannya sebagai jiwa yang merdeka, yang tak terbelenggu norma kaku, tak sepertiku.
Aku terdiam dalam lamunan kenangan kami di masa silam, ketika tubuh-tubuh indah kami bermain dalam harmoni yang sarat kebahagiaan.
Aku rindu. Aku cemburu. Maka aku tunjukkan padanya aku telah melangkah jauh menuju hidup yang baru.
“Aku sama Bayu… sebulan yang lalu tunangan…”
***
Dita
Kami terdiam lama. Lalu tiba-tiba seluruh dunia seakan kehilangan suaranya.
Dalam sepi, aku menggenggam jemarinya perlahan. Ada endapan cinta tersisa di sana.
Seisi dunia menoleh menganga. Bisu seribu bahasa.
Aku tak lagi peduli.
***
Tara
Aku tak lagi peduli, ia datang ke pesta pernikahanku atau tidak.
Aku tak lagi peduli, ketika seisi bus menyaksikan perjumpaan kembali cinta (terlarang) kami.
Dalam sepi, lidah kami bereuni, bertaut mesra. Melepas rindu yang ku kira sirna.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!