(@captainheru)
http://herusulaksono.blogspot.com
Sedan mercedez-benz warna hitam metalik berhenti persis di depan pintu masuk gedung bundar. Dari pintu belakang mobil berplat nomer B 77 OKE itu keluar seorang pria berjas coklat berumur sekitar 50 tahunan. Sepasang kakinya yg dibalut sepatu kulit merek ternama bergantian untuk membawa badan gemuk pria itu sampai ke dalam gedung.
Tiba-tiba....
Plokk!
Sebutir telur busuk pecah setelah mengenai kepala bagian belakang pria tersebut. Hari ini bukanlah hari ulang tahunnya, tetapi mungkin hari ini akan menjadi awal dari hari-hari yang tidak akan mau dia ulang.
“Makan telur busuk itu Priyo, sama busuknya dgn kelakukanmu memakan uang kami!”. Suara teriakan dan lemparan telur tadi seolah memberi komando barisan pengamanan untuk bergerak memburuku ke segala penjuru.
“Lari Di..Lari!!”, dengan suara yang sudah hampir tidak terdengar lagi, Hambran menyuruhku untuk lari.
Sial, belum genap lima jari dari hitungan langkah seribu yg kuambil, jaket almamater berwarna kuning yang aku pakai di tarik oleh salah satu petugas.
Bruk! Pantatku yg dilapis celana jeans belel mendarat tepat di aspal yg siang itu kompak dengan matahari, panas!.
Dan petugas pengamanan yg tadi sempat menarik jaketku pun seolah ikut kompak terjatuh denganku, siang yg sial baginya.
Aku lalu berdiri dan mengambil sisa hitungan langkah seribuku menuju ke sebuah gang sempit di seberang gedung.
“huff... nyaris saja”, kataku pelan sambil berusaha sedikit demi sedikit mengambil oksigen bercampur asap yang disediakan oleh Jakarta.
“hah..hah... gila lu Di.”, sahut Hambran yang duduk tersandar di dekat parit.
“Gila mana sama koruptor tadi Bran, 100 milyar duit negara dimakan sama dia, tokai lah!”, kataku kesal.
“Gue balik Di, capek bgt.”, pamit Hambran sambil membersihkan kotoran sisa banjir semalam yg menempel di dekat parit tempat ia terduduk tadi.
“Oke, thanks ya Bran, Kalo ga ada lu bisa habis gue sama petugas tadi”, kataku sambil menepuk bahu Hambran
**
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikumsalam, loh kamu jam segini kok sudah pulang Di. Kamu demo lagi ya?”, tanya Ibu yang menyambutku di ruang tamu.
“Iya Bu”, jawabku pelan sambil meletakkan badanku di sofa yang baru sebulan ini dibeli Bapak
“Jaketmu kenapa kok sobek, pasti ribut lagi sama petugas ya. Sudah Ibu kasi tau berulang-ulang, tapi kamu tetep ngeyel. Ngapain sih kamu ikut demo-demo begitu, urusan kayak gitu itu sudah ada yg mengurus. Kamu itu tugasnya belajar Di, kalo kamu ikut demo-demo gitu mau jadi apa. Bisa-bisa gantian kamu yg di demo nanti. Mana sini jaketmu, biar ibu jahit”, pinta ibu dengan sedikit kesal.
Lalu aku berikan jaket almamater yg lusuh dan sobek di bagian tangan akibat tarikan petugas tadi.
“Tapi Bu, orang-orang yg korupsi itu benar-benar bikin aku kesal Bu. Seenaknya saja mereka ambil uang rakyat untuk kepentingan mereka. Trus, kasusnya menguap begitu saja tanpa ada kejelasan. Bayangkan deh kalau uang Ibu dicuri trus pencurinya bebas berkeliaran begitu saja.”, jelasku
“Sudah, kamu mandi sana terus makan”, perintah Ibu.
“Ya Bu”, jawabku pelan sambil melangkah menuju kamar.
**
Malam harinya ...
“Bapak belum pulang Bu?”, tanyaku
“Belum, tadi siang Bapak ngasi kabar kalau ada pekerjaan yg harus dia selesaikan di kantor.”, jawab Ibu sambil menjahit jaket almamaterku yang robek tadi siang.
**
Keesokan harinya di kantin kampus
Bruk!.
Segulung koran terbitan pagi ini mendarat tepat di atas kemaluanku.
“Eh, apa ini Bran?”, tanyaku sambil membuka gulungan koran tersebut
“Lu baca aja deh”, jawab Hambran sambil mengambil posisi duduk di depanku dan menyalakan sebatang rokok ketengan yg barusan ia beli.
Sepasang mataku bergerak dari atas kebawah membaca halaman depan koran tersebut.
Tampak foto seorang pria yg kemarin aku lempar dgn telur busuk. Aku tersenyum melihat foto di halaman depan koran tersebut, Pria itu nampak lebih gagah dengan jas bermereknya yg tercampur dgn kuning telur.
Sampai di berita bagian bawah, senyumku tiba-tiba pudar.
Ada foto seorang pria yang menjadi tersangka korupsi.
Wajah pria yg ada di foto tersebut sangat mirip denganku.
“Sudah kau lihat berita yg dibawah itu Di?, tanya Hambran.
Aku terdiam, mataku terus tertuju ke foto di halaman depan koran tersebut.
“Sekarang, aku tanya sama kau Di. Siapa yang kamu bela, siapa yang lebih kamu cintai. Negara ini, atau ... orang ini”, tanya Hambran sambil menunjuk ke foto di koran tadi.
Aku tak menjawab.
Hambran lalu berdiri sambil membuang puntung rokok yang sudah ia hisap separuh, lalu kemudian menginjak puntung rokok tersebut.
“Maaf Di, kali ini aku tidak bisa membantumu. Sekarang kamu pikirkanlah, apa kamu mau membela orang ini, ayahmu sendiri”, lanjut Hambran sambil menunjuk foto itu lagi lalu kemudian pergi berlalu.
Hatiku berkecamuk.
Sepertinya telur busuk yang aku lempar kemarin akan kembali kepadaku.
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!