Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 21 Desember 2010

Sebuah Kisah di Sudut Teuku Umar


Oleh: Ratih Eka Putri
Twitter: @rtiheka

Teuku Umar memang tak pernah mati. Ah yang kubahas disini bukan Teuku Umar sang pahlawan itu. Teuku Umar adalah salah satu nama jalan di kotaku. Menjadi pusat rutinitas dengan deretan gedung-gedung tinggi menjulang yang seolah membuat sebuah barikade di sepanjangnya. Rata-rata merupakan toko ponsel, sisanya warung tenda yang menyediakan makanan aneka rupa yang menggoda selera. Dari siang hingga malam, dari sore hingga subuh sepanjang jalan ini penuh dengan kendaraan yang melintas. Oleh karena itu kusebut jalanan ini tak pernah mati. Bahkan saat tengah malam, dimana orang-orang seharusnya sudah mendekam dalam selimut sembari memeluk guling, masih ada saja bunyi kendaraan yang berdesing. Minus suara klakson yang marak terdengar di siang hari. Saat malam lalu lintasnya lebih bersahabat.
Hujan lebat mengguyur kota kecil ini sejak tadi, sesekali tampak kilatan cahaya berpendar sesaat di langit, membentuk garis zigzag yang cepat lenyap, dan beberapa menit kemudian suara Guntur terdengar samar-samar menggelegar. Jika aku di luar sana, niscaya aku pasti mendengar suaranya yang keras memekakkan telinga, bersanding dengan suara klakson kendaraan yang terjebak macet. Tapi ini sudah lewat jauh dari jam pulang kantor. Kulirik jarum pendek arlojiku yang menunjuk pertengahan antara angka sebelas dan dua belas, sementara jarum panjangnya menjejak tepat di angka enam. Hari ini aku sift malam. Anton, rekan kerjaku minta izin pulang duluan karena adik perempuannya seorang diri di rumah. Dia pergi setelah membereskan lantai atas. Meninggalkan aku—yang juga seorang perempuan ini—sendirian membereskan lantai bawah, menutup gerai ponsel tempat kami bekerja
Tak habis pikir aku, kenapa Anton semudah itu percaya padaku. Menjadikanku yang baru bekerja sebulan ini sebagai pemegang kunci gerai tempat kami bekerja. Selama ini memang dia pemegang kuncinya, Anton sudah dipercaya bos kami atas pengabdiannya yang cukup lama. Sementara aku? Mereka jelas belum mengenalku luar dalam. Tak tahu prestasi yang pernah kuukir di tempat bekerjaku yang lama. Well, bagaimana mereka tahu jika tempatku bekerja dulu adanya di luar kota. Mereka hanya melihatku yang rajin dan bersemangat.

Masih ingatkah kau kepala berita surat kabar beberapa bulan lalu? Berita yang mengabarkan betapa maraknya aksi pencurian beberapa toko di tempat yang berbeda, dan pelakunya masih buron? Adakah yang bisa menduga siapa pelakunya?

Bagaimana jika setan berbisik padaku? Bagaimana jika aku tak kuasa tergoda dari bisikannya. Kunci yang berada dalam saku celanaku sekarang merangkap kunci kasir. Well, memang isinya hanya hasil penjualan toko ini sepanjang sore hingga malam ini. Namun, paling tidak ada beberapa puluh lembar ratusan ribu disana, hasil penjualan sebuah ponsel terbaru yang marak digandrungi orang saat ini, juga beberapa aksesoris ponsel. Ah, ini bukti betapa konsumtifnya remaja saat ini. Apa sih yang mereka bisa lakukan dengan ponsel setipe itu? Jika ponsel biasa sudah bisa dipakai berkomunikasi kenapa harus memakai yang mahal dan terbaru. Aku tak paham, aku tak punya. Mungkin mereka dimakan gengsi, dan aku disini dimakan hutang.
Kugenggam kunci itu erat-erat. Menatapnya dengan jumawa. Rasa bimbang luar biasa memenuhi hatiku. Rasa gatal menggelitikku. Ada hasrat untuk mengulangi perbuatan itu lagi. Keadaan mendukung. Namun aku telah berjanji padanya untuk berubah,untuk memulai hidup baru dan mulai segalanya lebih awal.  Kakiku mulai melangkah lebih jauh mendekati meja tanpa bisa kukendalikan. Suara hujan yang deras tak terdengar, begitu pula deru mesin kendaraan. Semuanya sunyi, seolah akulah yang menjadi pusat semesta. Teuku Umar yang tak pernah mati itu kini mati. Waktu hanya bergerak untukku. Tanganku gemetar mengeluarkan kunci, bersiap menyusupkannya kedalam rumahnya. Selangkah lagi.
Nafasku benar-benar tecekat.
PRANGG
Aku kehilangan kendali, peganganku mengendur dan untaian kunci-kunci itu tergelincir dari jemariku. Menimbulkan bunyi berdencing yang ramai. Kini baik suara hujan maupun suara deru kendaraan terdengar lagi. Aku tahu waktu telah kembali. Kupungut untaian kunci-kunci itu dengan lantai. Jantungku bergedup tidak karuan. Debarannya lebih kencang dari sekedar ketika aku melihat lelaki pujaanku melintas di depan mataku. Aku gemetar, jelas bukan karena kedinginan. Kunci itu masuk kembali dalam sakuku.

Jelas adegan busuk yang sempat tergambar dalam benakku tidak pernah-pernah terjadi. Wajahnya yang sedih, sendu menanggung setumpuk penderitaan terlintas jelas di depan mataku. Dan itu ternyata ukup untuk menendang jauh-jauh setan yang menari-nari menggodaku. Dia, ibuku. Malaikat boleh bersuka cita kali ini. Mereka memenangkan perang batinku.

 TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!