Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 21 Desember 2010

Peluru

Oleh: Aveline Agrippina Tando (@a_agrippina)
http://smallnote.multiply.com



Aku membenci ayahku. Semua orang mengerti bukan kalimat yang kukatakan itu? Aku. Membenci. Ayahku. Sedari kecil aku memang tidak menyukai watak ayah yang keras, yang memaksaku untuk menjadi seorang militer. Memaksaku untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan.

Ya, mungkin juga benar kata ibu kalau aku dihidupkan dalam lingkungan militer. Semua serba disiplin dan teratur. Yang melawan, mereka harus siap menerima konsekuensinya. Sedangkan aku? Aku lebih menyukai kehidupan yang biasa saja, dijalani dengan apa adanya tanpa bersifat memaksa. Toh, aku juga punya cita-cita.

Itu ceritera masa lalu. Kalau aku suka dengan seragam hijau loreng yang digantung di depan pintu kamar ayah. Kalau aku suka ketika ayah memegang sepatunya yang ketika dikenakan akan terlihat sekali bahwa ayah bukanlah orang yang biasa. Kalau aku suka menunggu ayah menyelesaikan membraso semua pangkat yang akan ia kenakan.
Itu ceritera masa lalu, masa kecil.

Kalau ayah memaksa aku harus menjadi seorang polisi atau tentara, aku tak akan pernah melawan, itu dulu. Sekarang aku tahu aku hendak menjadi apa.

"Anak macam apa kau ini?!"

"Aku ingin kebebasan, Ayah! Itu saja."

"Kebebasan? Kau pikir dengan kau menjadi seorang musisi bisa menjamin kau akan bahagia?!"

"Jika aku masuk akademi militer, apa aku juga akan bahagia, Ayah? Ayah bisa menjaminnya?"

Setiap malam, setiap kali berjumpa dengannya, dendam mengeras, membatu. Semakin hari, semakin lama, semakin mengeras. Aku dan ayah memiliki keegoisan yang sama.
Aku tidak pernah bercita-cita menembak seseorang, menyelidiki suatu kasus, ikut berperang, atau mengejar bintang. Aku tak peduli dengan jabatan jendral, mayor, atau pula brigadir. Aku tak menginginkan semua itu.

"DOR!"

Tepat di antara kedua bola mata pria yang kupanggil ayah membentuk lubang. Lubang yang membuat ibu menjerit dan aku tak peduli. Sangat tidak peduli. Lubang yang akhirnya menjatuhkan tubuh perkasa itu ke lantai.

"DOR!"

Kali ini, si pencerita yang menembak kepalanya sendiri. Selesai perkara. Tak perlu perang panjang lebar, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!