Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 20 Maret 2011

Sesuatu Dalam Laci Di Bagian Atas Lemari

Oleh: @abi_ardianda‏

Tak perdulilah aku seberapa dekat jarak bulan dengan bumi. Toh sinarnya tak'kan membuatmu kembali. Semenjak kepergianmu dulu, aku berharap bulan mendekatkan dirinya padaku biar aku di bakarnya sekalian. Menyulam hari tanpamu berhasil membuat jejarianku lebam, kau tahu itu?

Bahkan nyaris kulupa caranya tertawa. Entah, harapan pun rasanya tak lagi ada. Bilangan yang tertera di kalender seperti jam pasir yang mengancam ketenanganku. Harus berapa lama lagi aku menunggumu?

Ingatkah kau, selepas percumbuan kita di sesaungan pinggir sawah, kau membuatkan gundukan bulan kecil di perutku. Kau bilang, jangan sampai emak dan abah tahu. Tapi orang tua mana yang tak gentar melihat anak gadisnya mengeluarkan separuh isi perutnya rutin setiap pagi? Bukan cuma sebatas sapi dan padi yang emak dan abah ketahui, tapi masih banyak lagi. Camkan itu!

Bulan pertama. Kau dan aku masih menutupi perkara seolah semua baik-baik saja. Tak seorang pun tahu bahwa di balik senyum simpul yang susah payah kukumpul itu hatiku terpukul.

Bulan kedua, aku bertanya, "kapan kau akan menikahiku?" Kau bilang nanti dulu.

Bulan ke tiga, ke empat ke lima, kau berlagak lupa. Seperti bocah penggembala yang tak sadar langit telah menjingga. Seharusnya kau sadar itu! Kau bukan lagi anak lelaki yang diizinkan menangkap serangga di saat senja kemudian pulang karena harus pergi mengaji. Kau pemuda milik seorang wanita berbadan dua, yang kelak menemaniku berbelanja di warung ujung kampung sambil berkata, "ini anakku," bila ada seseorang yang ingin tahu.

Lalu harus kujawab apa ketika seseorang menanyakan pemilik janin di perutku ini?

Bulan ke enam kau pergi, sampai angka itu kutulis terbalik tapi belum jua kau kembali.

Kini, tepat malam rabu legi. Aku memutuskan untuk pergi. Emak dan abah sudah cukup kubuat susah, aku tak tega lagi. Tekadku sudah bulat, sebulat bulan yang putih pucat, bahwa akan kubesarkan anak ini sendirian.

Dalam perjalanan barusan aku menemui banyak hambatan. Terutama rasa mulas yang meremas-remas perutku ini tak kuasa lagi kuhempas. Kini aku berhenti di sebuah padang ilalang. Di atas, bulan memelototiku dengan matanya yang nyalang.

Aku terkapar di tengah gelap tak berpijar. Rasanya seperti ingin buang air besar. Kutahu ini sesuatu yang lebih besar dan bukan dari tempat biasanya ia keluar.

Desah napasku berkejaran.

Sudah dapat ku usap ubun-ubunnya di liang vagina. Tempat tinggal paraji langganan tetanggaku masih beberapa kilo lagi jaraknya. Ini gila.

Aku harus melahirkannya sendiri, di sini, saat ini, atau kami berdua yang akan mati.

Tangisan bayi mengakhiri segala rasa nyeri.

Ibu.

***

19 Maret 2011

Kututup buku harian ibu yang ayah sembunyikan dalam laci di bagian atas lemari.

"Kemari, temani ayah menyaksikan fenomena alam yang ramai dibicarakan orang itu, Nak."

Aku duduk di samping pria bangka itu.
Sebilah pisau kugenggam erat sampai memutihkan buku-buku jariku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!