Oleh: by Arden Sagiterry S. - NamelessHero
Dengan nafas memburu Varis berhenti di depan orang terdekat, seorang kakek-kakek yang, sejauh manusia mampu mengukur usia, sudah sampai di usianya yang ke-70an
“Pak, Jalan Anggrek di mana ya ?”
“Saya gak jual anggrek, mas. Mawar mau ?”
Buset. Varis berpaling ke orang muda di sebelah si kakek (yang notabene kemampuan penyaringan suaranya lebih mumpuni) yang segera menunjuk ke satu arah dengan telunjuk kanannya.
Di depan matanya sekarang terpampang dalam pelat hijau besar, “Jalan Anggre”…eh tunggu, huruf k-nya kemana ?
…
Setelah dalam hati menyepakati bahwa hal tersebut tidaklah penting, ia segera memburu tujuannya : toko binatu Mas Ahmad. Kebetulan sekali, yang dimaksud sedang bersiap-siap menutup tokonya. Mentang-mentang minggu lalu mau tutup cepat, huh !
“Walah…ada apa ya ? Kenapa kok seperti orang mau mati gitu ?” Dengan agak cemas Ahmad membuka tanya pada yang bersangkutan, yang saat ini sedang terduduk di trotoar dengan nafas habis seumpama seseorang yang baru saja diselamatkan dari keadaan tenggelam.
“Itu…itu…anu…itu…”
“Ya ya itu apa itu ??”
“Itu loh, itu…”
“Ini ?”
“Bukan asbak ! Itu !” Bongkahan batu yang diberikan Ahmad kontan dilempar sekenanya. Apakah ini akan jadi berita “Kecelakan di Jalan karena sebuah Asbak yang muncul entah dari mana” ? Walahualam.
“Iya itu itu apaaaaaaaaa” pita kesabaran Ahmad mulai kendor. Anak lelaki pertama, kedua, ketiga, istri kedua, ketiga, dan keempatnya sudah menunggu dengan tidak sabar di rumah. Tentunya alasan tidak sabarnya berbeda…
Varis melemparkan sebungkus plastic ke muka Ahmad. Isinya ? Satu stel jas warna biru cerah.
“Tertukar. Jas saya tertukar.”
“Hoalah ?? Waduh, maaf maaf ! Pasti salah asisten saya yang kurang jeli !” Ahmad segera masuk dan segera keluar lagi dengan membawa satu buku tebal. Dibalik halaman demi halamannya dengan kepiawaian seorang bandar judi (bagaimana kelihatannya ? Pernah lihat bandar judi kocok kartu ?). “Namanya siapa ?”
“Varis…”
“Varises…”
“Varis ! Itu nama penyakit !”
“Oh iya, salah ! Varis…Varis…oh, ini dia, yang atas nama pak Steven kan ? Ya, ya…tertukar karena warna dan ukurannya sangat mirip. Nomor urutnya juga cuma beda satu dengan bapak…” Ahmad memperlihatkan halaman yang dimaksud pada Varis. Yang jasnya tertukar dengan Varis itu bernama Ivantus Vladimir Poslov Sovlishki As…pokoknya begitu. Pada barisnya tertulis, “pengiriman”.
“Saya butuh alamatnya ! Anda kirim ke mana jas ini ?”
“Sa…sabar mas ! Ke Jalan Tumapel 3…itu loh, gedung Seven Eleven yang baru diresmikan…”
Jalan Tumapel 3 ? Waduh ! Itu kan jauhnya 20 blok dari sini !
Dengan genggaman sekuat Arnold Schwazemegasd…itu, Varis menepuk pundak Ahmad. Yang disebut belakangan kaget setengah mati.
“Punya motor kan ? PINJAM !”
Dandi Julfian hanyalah seorang pengendara truk biasa, tanpa ciri-ciri yang menonjol. Seorang figuran diantara figuran adalah kata yang tepat untuk menjelaskan dirinya. Saat ini ia menatap antrian panjang kendaraan di depannya tanpa emosi yang berarti. Biasa saja, beginilah selalu keadaan jalan kota yang ia lalui setiap hari. Jalan yang harus ia tempuh demi tersampaikannya barang yang dipercayakan padanya.
Dari belakang truknya terdengar auman klakson sepeda motor. Orang yang tidak sabaran, begitu pikir Dandi. Juga bukan hal yang tidak biasa. Orang seperti ini banyak di sini. Dandi menguap perlahan. Sesungguhnya kegiatan hariannya membosankan juga. Ia putuskan untuk menghibur diri dengan sedikit tembang dari radio kesayangannya.
WHAM ! Auman musik Death Metal mengaum kencang laksana singa yang terbangun dari lelap tidurnya. Salah stasiun. Nah ini baru tidak biasa. Sambil menutup sebelah telinga, Dandi berusaha memutar kenop pengatur frekuensi. Saat itu ia terdiam. Terbekukan oleh pemandangan di kaca spion.
Bunyi klakson sepeda motor tadi sejak kapan hilang. Yang ia lihat sekarang ada seorang yang menaruh papan kayu tepat menghubungkan atap truknya dengan aspal jalanan. Dan sekarang sepeda motor yang tadinya hanya berupa suara, menjadi sebuah kenyataan.
Dan sepeda motor itu menaiki si papan, terus ke atap mobil truknya, terus hingga ke pinggir truk hingga sepeda motor tadi terbang di langit…secara berlebih, dalam bahasa logisnya, ia melompat-lompat dari satu atap mobil ke atap lain.
“FLY AWAY !!! LET MY SOUL CRY !!!”
RaunganDeath Metal menjadi sound track aksi stunt berani yang baru saja terjadi, sementara rahang Dandi dan puluhan pengendara mobil lainnya terbuka dengan begitu lebarnya.
Jarum di dashboard Yamaha Suprax 2000-GT itu menunjuk ke titik maksimum. Varis merasa jantungnya serasa hampir copot, kulitnya teriris pisau-pisau udara yang ia lewati begitu saja tanpa pikir panjang. Setiap mobil yang ia lewati di bawahnya terlihat bagai mainan, tidak nyata. Sayangnya di panel-panel penunjuk itu tidak terlihat indicator ketinggian. Kira-kira sudah berapa meter dari atas tanahkah ia sekarang ? Langit itu begitu biru, burung-burung di udara serasa sanggup diraih dengan tangan…
Dan gravitasi menariknya tanpa ampun.
“AAAAAAAAA !!!!”
Mobil terakhir di barisan itu terlewati dengan sukses, tetapi arah maju sang motor itu bukan lagi ke aspal, tapi ke luar jalur fly over. Bersamaan dengan lewatnya tembok pembatas jalan, Varis berdoa pada Tuhan minta diampuni dosa-dosanya selama ini jika ia harus melapor dalam waktu dekat ini…
Sebagai tamu kehormatan, Ivantus Vladimir…blablabla adalah orang yang diharapkan untuk memotong pita peresmian Seven Eleven cabang Tumapel Raya. Saat ini ia sedang berdiri dengan penuh wibawa dengan tangan kanannya menggenggam si gunting besar pemotong pita. Sepuluh detik menuju peresmian, sembilan, delapan, lima, dua…
“Hei lihat, itu apa ya ?”
Ivantus menoleh ke arah yang ditunjuk orang itu. Di langit, sang surya tampak ternodai oleh sebuah benda hitam besar. Dan noda itu mulai membesar, makin besar dan makin besar…
“Gerhana matahari tipe baru ya…?”
Kalau gerhana matahari saja, itu berita biasa. Masalahnya, bentuk noda ini makin lama makin mirip bagian bawahnya sepeda motor…dan sepertinya bentuknya semakin besar saja dalam waktu singkat…
“…AWAS SEMUAAAA !!!!”
…
Yang terakhir diingat Ivantus hanyalah suara kaca pecah, teriakan orang-orang, dentuman besar dari arah Seven Eleven di belakangnya, dan kemudian sebuah benda empuk nan keras yang menghantamnya dengan kecepatan tinggi tanpa ampun. Dan sekarang ia sedang mendengar suara malaikat, yang terus saja mengoceh : “Jas saya ! Jas saya !”
Dan sekarang ia merasa jasnya telah direnggut dari dirinya. Saat ia membuka mata, dilihatnya malaikat tadi, yang ternyata seorang manusia, berlari dengan membawa jas biru yang seperti jasnya. Eh tunggu, itu jasnya !
“Hei tunggu ! Jas saya…”
Varis melemparkan jas yang tertukar tadi ke Ivantus. Toh memang itu kepunyaannya. Sekarang ia segera kabur sebelum orang-orang yang lari tadi berhamburan kembali.
Lebih baik dikira pencuri jas daripada masuk koran sebagai penghancur Seven Eleven.
Saat ia berpikir begitu, tiba-tiba sebuah sepeda motor Yamaha Suprax 2000-GT menabraknya…
Sekarang Risna boleh cemas. Gelas minum di tangannya sudah ikut bergetar saking khawatirnya. Kemana Varis ?? 5 menit lagi acaranya akan dimulai !
“Dan sekarang sambutlah…SANG PENGANTIN !!!”
Alunan musik dansa mengalun di pesta perkawinan tersebut. Sang pengantin dan calon suaminya melangkah masuk dengan anggun, selangkah demi selangkah. Di bawah gerbang pelaminan, mereka berdua berhenti. Pendeta menanyakan pertanyaan klise, yang dijawab dengan klise pula. Setiap detiknya membawa Risna mendekati kepingsanan.
“Dan sekarang, saudara Varis akan membawakan cincin pernikahan sebagai pendamping pria !”
Semua orang bertepuk tangan dengan riuh.
“Eh…saudara Varis…?”
Tepuk tangannya berhenti.
Risna menelan ludah. “Ah…Varis...Varisnya…”
“Nih dia !” Varis melangkah masuk dengan pakaian compang camping, dengan sebuah kotak hitam di tangannya. Semua orang kembali bertepuk tangan, sambil berbisik-bisik, “Menegangkan sekali ! Event Organizernya tahu cara membuat orang kaget ! Hahaha !”
Risna berceceran air mata saking leganya. Setelah prosesi kembali berjalan, dihampirinya Varis. Dari lega sekarang cemas.
“Apa-apaan…kenapa…?”
“Sudah, sudah, ceritanya panjang.” Varis meneguk winde di gelasnya dengan secepat kilat. Haus sekali rasanya.
“Jadi…” Risna tersenyum kecil, “ketinggalan di mana cincin itu ?”
“Hah ? Oh…” Varis tertawa pelan. “Di saku jasku…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!