Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 12 November 2010

Kau dan Hujan

Oleh: @anumao


Sore ini aku terdiam di tepi kolam, langit biru tertutup awan berwarna abu. Entah, tapi warna seperti ini selalu membuatku sendu. Biasanya tak lama dari ini hujan akan kembali berjatuhan, membasahi dedaunan, membasuhi rerumputan, dan mungkin harus lagi kubiarkan mengkuyupkanku perlahan.

Hujanpun entah memiliki kekuatan apa, karena seringkali berulangkali ia jatuh membuatku merasa ada bagian dariku yang tersakiti berkali-kali. Entah mengapa. Aku juga tak yakin apakah aku rela. Baiklah, untuk kali ini saja aku akan berbicara pada hujan, namun entah untuk apa aku belum tau.

Ah lihat, ia mulai turun, lagi, perlahan dan semakin menderas, seperti biasanya.


*****

“Hei, apa kabar, hujan? kau datang lagi sore ini. Sering aku memperhatikanmu berjatuhan di waktu-waktu yang tak tentu, bahkan kurasa hampir selalu, apa memang ini adalah hobimu?”

Andai saja hobi adalah sebuah kesenangan, tapi aku tak setiap waktu merasa senang dengan ini. Aku hanya terjatuh mungkin karena gravitasi.


“Jadi sebenarnya kau tak ingin jatuh, begitu?”

Entahlah, kadang aku merasa senang jatuh tinggi berkali-kali, aku merasa bebas tanpa kekangan. Tiap terjatuh aku melayang di udara dan dapat meneriakkan isi hatiku lepas keras-keras dan legalah semua yang terkungkung di dalamnya. Kau pasti mengerti bagaimana rasanya.


“Jadi itu yang menyebabkanmu ingin terus jatuh? Lalu yang membuatmu tidak setiap waktu merasa senang, apa?”

Saat aku harus menghempas tanah atau bebatuan. Kau bayangkan saja bagaimana rasanya jatuh dari langit yang begitu tinggi dan akhirnya harus terhempas begitu keras. Menyakitkan saat aku harus rela terpecah terberai.


“Lalu bila memang sebegitu menyakitkan, mengapa kau masih saja terjatuh? Bukankah lebih baik kau tak lagi jatuh hingga tak perlu merasa sakit seperti itu?”

Memang sangat menyakitkan, tapi setiap kali aku terjatuh aku memiliki waktu yang lebih lama untuk melayang di udara dibanding waktuku saat harus terhempas daratan. Jadi kupikir aku harus mensyukuri tiap jatuhku. 


“Ah, iya. Bila kuperhatikan seringkali kau dikaitkan oleh para pejatuhcinta dalam larik puisi cinta mereka untuk menggambarkan bagaimana cinta seharusnya. Cinta yang jatuh berulangkali, yang tak jera jatuh menghempas tanah bebatuan dan mungkin merasa sakit berkali-kali, atau sebagian lain yang menganggap walau kau jatuh berkali-kali tapi tak pernah sekalipun merasakan sakit, seperti juga cinta seharusnya. Menurutmu?”

Mungkin cinta memang begitu, kadang aku memang merasa sakit, namun kadang juga aku tak acuhkan rasa sakit itu hingga tak lagi kurasa. Seperti yang kubilang sebelumnya.


“Baiklah, mungkin ini terakhir kalinya aku bertanya, aku tak akan bertanya lebih banyak. Kau tadi memintaku membayangkan bagaimana rasanya jatuh jauh tinggi dari langit dan harus terhempas tanah bebatuan begitu keras. Sekarang aku bertanya padamu, pernahkah kau membayangkan bagaimana rasanya jadi tanah bebatuan yang dengan begitu keras dihempas dijatuhimu? tidakkah mereka juga akan merasakan sakit yang sama, atau lebih, hingga mungkin suatu saat akan terpecah juga? dan mereka tidak memiliki waktu menyenangkan di udara, sepertimu.”

..……..




(Lama kutunggu jawabnya namun hujan berdiam, ia membisu, tak menjawab pertanyaanku. Perlahan hujanpun mereda diam-diam meninggalkanku. Entah mengapa, mungkin ada yang salah dengan pertanyaanku.)


*****

Sejak perbincanganku dengannya itu, sepertinya hujan memutuskan untuk tak lagi berjatuhan seperti biasanya, hingga saat ini. Tak seperti biasa karena kini hujan menahan dirinya untuk tak lagi terjatuh menghempas tanah bebatuan. Tiap kali ia harus jatuh tinggi dari langit maka sejengkal sebelum menghempas tanah bebatuan ia berusaha untuk melawan gravitasi dan berjuang keras kembali terbang jauh tinggi masuk ke balik awan.
Aku yakin, pasti baginya sangat menyulitkan.

Entah bodoh, entah bagaimana, aku tak tau seperti apa harus menilai pilihannya.


Namun sejak hujan turun seperti itu entah mengapa rasa sakit yang sebelumnya sering terjadi padaku berkali-kali saat ia seringkali berjatuhan berulangkali tidak lagi aku rasa.



Padamu, hujan. Entah apa yang harus kurasakan akanmu dengan sikapmu sekarang itu. Namun bagaimanapun, terimakasih untukmu, hujan.

Dari aku, batu.

2 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!