Oleh: Yudha Patria Yustianto (@jimbrene)
http://yudha25patria.wordpress.com/
Waktu Perang Dunia II pecah, saya belum lahir. Saya lahir kira-kira 40 tahun setelah perang itu selesai, atau sekitar 20 tahun setelah Perang Vietnam di… Vietnam. Dan saya lahir di Indonesia.
Nama saya Tom. Kepanjangannya: Tom Mahaya. Entah sebab apa orangtua saya memberi nama seperti demikian. Mungkin waktu itu mereka sedang keranjingan kartun Tom & Jerry, tapi kenapa harus Tom? Bukan Jerry saja? Lalu apa artinya Mahaya? Saya pernah bertanya, tapi orangtua saya, baik Papa maupun Mama tak pernah menjawabnya secara pasti. Singkatan dari mara bahaya mungkin? Seperti Tom yang melibas resiko apapun demi menangkap si Jerry. Entah mau diapakan sama si Tom kalau Jerry sudah tertangkap. Yang pasti, hidup saya biasa saja. Tidak seperti Tom atau Jerry yang dari film kartun itu.
Saat ini saya berada di mall. Sedang kuliah. Dosen seni rupa saya menyuruh kami –mahasiswa-mahasiswanya, untuk membaca alam sekitar. Beliau bilang, “Segala yang ada di sekitar kalian adalah sumber inspirasi! Bacalah alam sekitar kalian!”. Dan beliau adalah dosen favorit saya. Karena beliau, saya bisa jalan-jalan ke mall.
Tampang saya boleh dibilang ganteng, kalau tidak, boleh dibilang apa saja. Rambut keriting gondrong diikat ke belakang. Kemeja kotak-kotak dengan kancing terbuka, di dalamnya kaos oblong bergambar tengkorak. Celana jeans baru, sendal merk Crocodile. Tangan kiri gelang kayu tasbeh, tangan kanan jam tangan merk Casio. Dapat beli 50-ribuan di pasar kaget. Wajah saya mirip Marilyn Manson, cuma versi tanpa make-up, ditambah pipi tembem, alis tebal dan ada jerawat besar di antara mulut dan hidung, yang membuat saya jadi sama sekali tidak mirip dengan Marilyn Manson. Ya, saya jauh lebih ganteng daripada dia. Dengan kegantengan saya ini, saya jalan di mall. Berdecak dan menjentikkan jari setiap lewat perempuan cantik. Yang tidak cantik, saya berdecak saja dalam hati.
Oh, itu dia! Si cantik dari India. Nadia namanya. Dia bukan orang India, tapi kulitnya hitam, rambutnya bergelombang, hidungnya mancung, tinggi semampai dengan dandanan masa kini yang modis. Aha! “Nadia!”, saya memanggilnya. Dia menoleh pada saya.
“Ayo kita nonton bioskop!”, ajakku padanya. Dia mengiyakan, kami menari di mall. Ada sepuluh orang berdansa mengikuti kami. Sepuluh lainnya menyusul. Ketika kami sampai di loket bioskop, 20 orang yang berdansa tadi hilang. Akhirnya terpaksa saya yang bayar tiket bioskop. Nadia dan saya akan menonton film ini, sebuah film kartun tiga dimensi karangan orang Amerika. Judulnya Avatar. Nadia gembira sekali. Senyum lebarnya menyematkan gigi putih di antara kulitnya yang hitam. Ah, Nadia. Kau mirip orang India. Setelah membeli tiket, kami berjalan ke kursi panjang, tapi tidak sambil menari. Saya takut 20 orang yang menari tadi tiba-tiba muncul kembali.
Kami berdua mengobrol untuk mengeksekusi gantung sang waktu. Nadia bercerita tentang pengalamannya hari ini di kampus. Dia bilang, di kampusnya sedang ada teror bom. Saya takut mendengarnya, kenapa harus kampus yang dibom? Nadia menjawab, “aku juga nggak tau…”. Ah, Nadia. Jadi apa yang kau tahu?
Saya juga akhirnya bercerita tentang pengalaman saya hari ini. Saya bercerita bagaimana saya berjuang menjalankan misi untuk bangun pagi, mandi, sarapan dan pergi kuliah tepat waktu. Namun semua usaha itu jadi sia-sia, karena saya gagal di misi yang pertama.
Nadia tertawa mendengar ceritaku.
“Nadia, tawamu membahana memenuhi seluruh ruangan ini...” bisikku mesra pada Nadia. Dia mengatupkan mulutnya yang tadi menganga karena canda dan tawa. Tepat ketika dia menutup mulutnya, suara bel di bioskop berbunyi. Tandanya, kami harus masuk ruangan.
Beberapa jam berlalu.
Saya dan Nadia keluar dari ruangan bioskop. Kami puas menonton film Amerika yang berjudul Avatar itu. Kami berdiskusi sejenak, dan sepakat untuk pergi ke kamar kecil bersama-sama. Satpam melihat saya, lalu mencegah saya melakukan hal itu. Dia bilang, saya tidak boleh masuk ke kamar kecil perempuan. Saya sedih sekali, tidak bisa melanjutkan kebersamaan dengan Nadia di dalam kamar kecil. Saya-pun pergi ke kamar kecil untuk laki-laki. Saya tidak betah berlama-lama di dalam sini, karena semua orang di ruangan ini adalah laki-laki. Laki-laki itu semuanya gombal! Saya tidak mau digombali oleh laki-laki!
Setelah selesai semuanya, saya kembali bertemu dengan Nadia di depan pintu bioskop. Saya rindu sekali padanya. Saya mendekapnya erat-erat. Tidak ingin saya lepaskan Nadia dari pelukan saya. Tapi Nadia berkehendak lain. Dia segera melepaskan dirinya dari pelukan saya… “tapi Nadia, saya mencintai kamu!” teriakku lantang dengan tangan terulur melepas kepergiannya.
Dia pergi dengan langkah yang cepat, saya harus berlari-lari kecil untuk menyusulnya. Kami akhirnya bersejajar. Saya memegang tangan Nadia si gadis India. Saya melihat matanya dengan tatapan mesra. Dianya tidak bereaksi, cuma senyum-senyum saja.
Saya dan Nadia lalu berjalan-jalan di mall. Masa bodoh dengan teror bom. Selama ada Nadia di samping saya, saya bisa hidup dengan cara seperti apa saja. Ayo 20 orang! Keluarlah sekarang! Kita berdansa lagi untuk hari ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!