Oleh: Ceria Firanthy Sakinah (@ceriafs)
Seorang pria berumur sekitar 35 tahun itu mengepulkan asap putih tak beraturan, lalu kembali menyesap rokoknya yang tinggal setengah. Mata kuyu, penampilan semrawut, dengan tas kecil berwarna biru pudar butut dipangkuannya itulah yang menjadikan ia sesekali dilirik oleh nyonya-nyonya berbadan besar yang duduk jelas mengambil jarak darinya. Ah, mungkin ia dikira gembel nyasar atau sebangsanya. Mungkin lagi dikira akan merampok mereka atau tak punya karcis hingga nanti akhirnya berharap pria ini akan dilempar dari kereta. Atau yang paling tepat mengapa ada orang berpakaian peminta-minta bisa masuk kelas berpendingin udara. Tak usah khawatir, seorang teman dekat memberikan tiket ini padanya siang kemarin, iba selorohnya.
Pria muda itu menjatuhkan rokoknya yang telah menjadi puntung, menginjaknya perlahan, kemudian mengusap wajahnya disertai tarikan napas dalam. “Aku heran mengapa tuhan doyan sekali mempermainkan nasibku.” Hanya terdengar lirih dari bibirnya yang kering dan menghitam itu. Mengubah posisi duduk, menyenderkan tubuh pada kursi yang terbuat dari busa tapi agak keras itu, pandangannya menerawang jauh. Pikirannya penuh. Penuh oleh benang-benang kusut yang tak bisa lagi digulung menjadi satu. Terlalu ruwet untuk dijabarkan dan dipisahkan agar tak menggulung lalu menggunung.
Pria muda itu membuka resleting si tas biru butut, menarik keluar selembar kertas yang sudah jelas pernah diremas hingga lipatan-lipatan terlihat hampir disetiap sudut. Surat gugatan cerai, terpampang besar dibagian atasnya. Pria muda itu merenung, memandangi huruf demi huruf yang tercetak dalam surat yang telah ia baca seribu kali itu. Belum bisa memulihkan hatinya yang masih remuk. Tak sampai pikirannya mengapa bisa Rina mengirimkan surat itu. Mengapa bisa, apa yang salah dengan rumah tangganya, bagaimana hidupnya kelak.
Tangan pria muda itu kembali dimasukan kedalam tas si biru butut, kali ini selembar kertas lain dikeluarkannya dari dalam situ. Ukurannya lebih kecil, dan tulisan cetak yang juga kecil membentuk kata-kata yang sukses membuat napas laki-laki muda itu memburu. Dari Rina juga, isinya tak kurang ialah meminta dirinya mengambil Nita, karena Rina tak bisa membawanya ketika ia menikah dengan suami barunya kelak. Perempuan sundel yang tega menelantarkan anaknya demi seorang engkoh tua yang punya banyak harta. Pria muda ini marah, namun hanya tergambar dari raut mukanya yang susah.
Hidupnya sudah hancur, istri tiada, anak menderita—belum lagi slip gajinya yang ditahan selama tiga bulan. Pria muda itu memasukan kembali tangannya ke dalam tas si biru butut, mengeluarkan sesuatu yang dibungkus potongan kain sarung. Pikirannya kini melayang pada wajah tua ibunya dikampung, kena TBC kabarnya seminggu lalu. Susah diwajahnya semakin bertambah, tentu. Dibukanya lipatan kain sarung itu, selagi pikirannya semakin menjauh, teringat akan biaya operasi kencing batunya yang harusnya sudah terjadi dua hari lalu. Sebuah pisau mengkilat tak lagi terselubung. Pikiran pria muda itu semakin menjauh, goresan ditangan kiri membuat darahnya tak lagi terbendung. Nyonya-nyonya berbadan besar tadi kini berteriak ribut.
**
Tiraipun tertutup, sorak sorai ngeri masih terdengar disana. Pria muda itu bangkit, menghampiri seorang perempuan yang langsung mengelap cairan merah ditangannya.
“Aktingmu sangat bagus.”
Itu hanya tinta.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
cakeeepppp!!
BalasHapusPersonally, twistnya bnr2 mngjutkan. Thumb(s) up for ya'!
BalasHapus