Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 18 April 2011

Cuplikan

Oleh: Ellena Ekarahendy (@yellohelle)
the-possibellety.blogspot.com



Kalau saja manusia hidup hanya dari satu indera: aku cukup untuk sekedar melihat tanpa mendengar, atau sekedar mendengar tanpa meraba, mengecap tanpa merupa. Namun sayangnya manusia terbangun dalam mekanisme parsial yang menyatu dalam kompleksitas yang sebenarnya di hari lain, bisa kukatakan “Menakjubkan”. Tapi tidak pada saat ini. Tidak ketika gaung akal manusia yang awalnya kunikmati telah berubah menjadi teror sadisme.


Hari masih terlalu pagi; dingin dan gelap; juga mimpi masih enggan diberhentikan ketika tidur, yang kuyakin baru sekejap, terpotong jeritan yang mengesalkan. Kemudian hening, disisipi oleh desah. Teriakannya berasal dari kamar sebelah. Suara perempuan.. Mungkin si cantik yang semalam berbicara padaku lewat kedipan matanya yang menggairahkan. Tak perlu kutanya mengapa ia bisa hamper setiap malam tiba di rumah kos khusus lelaki ini. Fiesta stroberi yang terselip di saku celana si pria biar yang menjawab arti lenggak si cantik dengan pesonanya yang menari-nari. Ah, yah, juga desah yang menggerhanai sunyi dini hari juga bisa berpartisipasi memberi jawaban.


Aku telah terbiasa berkutat dengan buku sains di hari-hari belakangan ini, bukan tontonan berita kriminal ataupun novel-novel dengan disfungsi kejiwaan sebagai arena permainannya. Jadi yang muncul di kepalaku pasca teriakan tadi bukan imajinasi si perempuan telah diperkosa lalu dimutilasi. Yang kupikirkan sekarang adalah kemungkinan si lelaki sudah kerasukan obat perkasa, atau si perempuan yang berpura ini baru yang pertama. Kedua-duanya mungkin terjadi, namun yang pasti, aku benci setengah mati. Indera-indera manusiawi ini yang enggan berhenti menangkap kerjaan manusia lain, yang sebenarnya hanya memupuk kesal saja di dalam hati.


Benci, bukan karena aku iri, tapi lebih pada kecenderungan diri yang ternyata tidak bisa berhenti. Dengan tembok ini sebagai batas saja, aku sudah membangun nikmat dalam kepalaku sendiri yang tersusun dengan rapi dari sayup-sayup suaranya dalam rintih, juga memori tentang detail menggoda si cantik, bersama dengan imajinasi yang menggelitik. Benar jika kita melihat bukan dengan mata, tapi dengan pikiran. Fantasi itu semacam realita yang tidak sempat diperlihatkan pada diri. Jelas dan jernih. Dan yah, tidak bisa berhenti.


Nah, sekarang siapa yang akan memberiku jawab, karena apa indera manusia bekerja pada kesanggupannya yang tertinggi jika memberi nikmat yang berujung pada dosa?


Aku memaksa diri untuk berpura tidak peduli, sampai akhirnya tenggelam lagi dalam mimpi.


Aku terbangun ketika mentari mulai merangkak ke singgasananya yang tertinggi. Suara si cantik terdengar di depan pintu. Ada sesegukan yang curi-curi menyisip dari sapaannya yang manis, dan menarik aku untuk mendekatkan diri ke jendela, mengintip dan mencuri dengar dari sibak tirai.


“Kamu sendiri ‘kan yang bilang kalau kamu cinta aku. Ya sudah, kita menikah!” Ah, cantik, cantik. Mendengarmu berkata begitu saja aku sampai lupa diri.

“Iya aku cinta, tapi bukan berarti kita bisa menikah,” si lelaki menjawab garang.

Si cantik menatap dengan matanya yang basah. Kalau ada apa-apa, aku bisa saja menghambur keluar lalu meninju si lelaki sombong ini.

“Hey, tunanganku bisa gila kalau aku sampai nikah sama perempuan lain!” Tanpa sadar suara si lelaki meninggi. Tanda-tanda tanya berhamburan di dalam kepala, termasuk pada bagaimana manusia dengan mudah melempar kata cinta untuk menendang komitmen lama yang dulu dimulai dari pengakuan yang juga atas nama cinta. Konsep yang membingungkan.


“Ya terus aku bagaimana?” Si Cantik merintih dalam depresi.

“Bagaimana apanya?”

“Aku! Lantas aku bagaimana???”

“Jadi, atas segala kesediaanmu membuka baju dan menyerahkan tubuhmu sendiri, aku patut bertanggung jawab??”

Sepi yang panjang. Aku menyaksikan dalam diam dan gelisah, sampai menerka-nerka pun tidak bisa.

”Bukan itu yang aku tuntut dari kamu!”

“Lantas apa?!” Si lelaki menyergah dengan geram. Kasar.

“Ini!” Si Cantik menggerakkan telunjuk kanannya.

“Apa?!” Si lelaki menghentikan pandang pada ujung telunjuk Si Cantik. Masih dengan marah, namun seketika berubah menjadi kepanikan. Si Cantik diam, hanya nafasnya saja yang menderu. Si lelaki terduduk lemas dan pucat, bersender ke pintu. “Bukan,” sergahnya, “Itu bukan bayiku.”

“Ya lalu siapa kalau bukan bayimu??”

Mata si lelaki mengelana tanpa arah. Resah yang Nampak tak kunjung terselesaikan. “Mungkin bayi laki-laki lain yang lebih kamu cintai, yang kamu kunjungi di malam-malam lain, yang kamu nikmati di kamar yang bukan kamarku.”

Sudah kutebak, berlanjut dengan tamparan keras di pipi si lelaki.


Lalu, aku bagaimana? Apa pada saat sekarang ini ada keharusan untuk membuka pintu, lalu sekedar menenangkan si perempuan? Tidak, tidak perlu karena tidak akan membantu. Meninju si lelaki lalu memaksanya menikahi Si Cantik? Bagaimana kalau tunangannya adalah gadis baik, yang dalam prinsipnya, hanya pada satu lelaki ia sanggup mencintai? Atau kubenarkan saja ucapan si lelaki, barangkali ada lelaki lain yang dalam pelukannya, Si Cantik juga meluluhkan diri? Mengapa aku bertanya-tanya? Ketika aku membuka pintu dan muncul di antara mereka, keduanya hanya akan melempar tanya, ‘Kamu siapa??”


Aku menahan diri, namun tetap menajamkan indera untuk mencuri dengar dan pandang.

“Aku gak minta banyak, aku cuma minta kamu menjadi suamiku, secara resmi jadi bapak anakku yang juga anakmu!” Si Cantik menarik kerah kaos si lelaki. Si lelaki masih terjebak dalam pandangannya yang melanglang buana.


Pada saat seperti ini aku tak kuasa melempar tanya, kenapa cinta harus ada? Atau pertanyaannya yang harus kuubah, mengapa cinta seringkali terjungkal dalam manifesto akan nafsu? Atau mungkin kita akan berpaling pada pertanyaan tentang kehendak bebas dan akal budi, yang menjadikan manusia seperti ini: kompleks dan membingungkan, dan penuh drama-drama klise yang dibenci, namun tetap dicari-cari. Lalu jika sudah terlanjur begini, apa perlu cinta kita nikmati? Gila, kalau ini channel TV, kucari segera remot televisiku. Bukan karena dramanya membosankan: cerita klise yang mudah sekali kita tebak; tapi ada ironi yang tak sanggup aku saksikan lebih lanjut lagi; yakni tentang pertanyaan dan pernyataan tentang yang benar dan yang salah yang sama-sama terambivalensi satu dan lainnya.


Si lelaki memandang si perempuan dengan kilat tatap mata yang berubah cepat, dari kecewa menjadi amarah. Dengan kasar mendorong si perempuan ke dalam kamar, menyisakan bunyi pintu yang didorong paksa; kedua tangannya menegang di leher Si Cantik.

Hey! Hey!


Aku menanggalkan pertanyaan-pertanyaanku tentang keharusan dan kepentingan untuk turut campur: aku menggapai gagang pintu, berhambur ke kamar sebelah. Si Cantik mengerang kesakitan, selagi si lelaki menjadikannya pekikannya melemah di bawah cekikan tangannya yang perkasa. “Pergi sajalah, kamu berserta bayimu!!”


Aku sudah hampir menggapai lengan si lelaki yang tak sadar aku sudah mencuri masuk dan menjadi saksi sepanjang pertengkaran dramatik keduanya, ketika pandanganku dengan anehnya menggelap. Dalam keringanan sekujur tubuh yang tidak biasa ini, inderaku melemah, dan sisa kemampuan pandangku hanya tampilan-tampilan komposisi psikedelik yang memusingkan, sementara suara keduanya terdengar menjauh. Kusadari kumelayang makin tinggi.


“Bagaimana? Menyukai dramanya?” Sebuah suara berat dan berwibawa menyentak aku dalam kebingungan.

Aku menoleh ke sekelilingku. Ah, aku sudah kembali.

“Gila. Cukup tiga hari aku menjelma jadi manusia. Belum jelas mereka apa dan siapa, tapi sudah banyak mau dan sok tahunya,” jawabku, “Bumi adalah panggung sandiwara, khusus untuk drama yang paling mengerikan!”


Kudengar Ia tertawa. Aku meringis. Dengan cepat Ia menepuk bahuku.

“Sudah, tidak usah ikutan tertawa. Sana, kerjakan tugasmu.”

“Siap, Bos Besar,” jawabku, masih dengan nafas yang menderu, sisa ketegangan yang barusan kulewati, sambil mengepakkan sayapku meluncur kembali ke bumi. Kali ini untuk mengerjakan tugasku yang sesungguhnya: menjemput si perempuan ke alamnya yang baru. Kasihan juga kalau ia harus berlama-lama terjebak dalam drama manusia yang terus menjadikannya hina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!