Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 08 September 2010

Pesan

Oleh: @Mistchegeo

Herman duduk membisu. Tempat ini memberikan intimidasi yang sangat kuat. Tadinya dia yakin pikirannya masih tajam, masih bisa berdebat dengan argumen yang kuat, tapi kini otaknya terkuras hanya untuk meyakinkan diri bahwa dirinya masih waras. Justru malah kekuatan itu menyerang balik, dia ragu. Informasi yang dipunyainya malah menjadi samar.
Duduk terdiam menghindari pasien lain. Jenis menghindar untuk menyelamatkan diri, tapi diamnya ini malah membuatnya makin dicap tidak waras. Dia lelah meyakinkan orang lain bahwa dia tidak gila. Lama-lama dia sendiri terjebak dalam keyakinannya sendiri. Tempat ini akan tenggelam -- ucapnya dalam keheningan. Tertanam memang, terlalu dalam malah. Dia kapok berbagi informasi itu dengan orang lain. Kalau tak ingat dosa -- mending mati saja deh.
Hening. Hanya dirinya, tidak orang lain.
***
-- Siapa kau? Bah??? Mencoba makar pada negara? -- seorang penegak hukum berteriak.
-- Saya nggak bohong pak, negeri ini akan tenggelam --
-- Tenggelam apanya? Di negeri asalnya, para leluhur kita berasal dari sebuah negeri di bawah laut. Mereka tidak tenggelam!!! Teknologi bedeng-bedeng ombak mereka sangat canggih! Itu jaman dulu, sekarang kita jauh lebih canggih, nggak kalah dari negerinya para leluhur kita.--
-- Tapi? --
--Tapi apa? Kalau saja dulu leluhur kita tidak mengambil alih tanah ini, barulah negeri ini akan tenggelam. Yah, kurasa tidak secara harfiah, tapi mereka akan tenggelam dijajah negeri lain. Walaupun mungkin mereka bisa merdeka dari kita, tapi orang-orang kita jauh lebih pintar. Leluhur kita tahu bahwa jenis penjajahan dengan kekerasan bukanlah cara yang abadi. Perlu sesuatu yang mempengaruhi alam bawah sadar mereka. Biarkan mereka merdeka dari peperangan, tapi kasihlah sabu di tiap kantong anak muda mereka, kasih hiburan dari luar negeri, biarkan mereka lupa budaya, biarkan mereka amnesia pada sejarah bangsanya sendiri, hilangkan kepribadian dan kebanggaan mereka terhadap bangsa, patahkan semangat agar mereka tak punya harapan. Tak ada harapan berarti mereka tidak punya apa-apa. Tanpa mereka sadar, mereka kehilangan segalanya. Begitulah cara mereka tenggelam.
Herman mendengus, menunduk, -- betul yang kau bilang --
Penegak hukum itu mendongak -- Kau tahu, mereka beruntung kita yang mengurus mereka. Mereka beruntung pemberontakan mereka gagal, pergerakan mahasiswanya gagal, karena bila mereka merdeka, pelan-pelan mereka akan membunuh rakyatnya sendiri. Aku berani bertaruh hanya butuh kurang dari 100 tahun untuk membuat mereka tenggelam dalam sejarah, hilang dari peta dunia. Mereka akan jadi cacing kelaparan yang tak punya tanah untuk mereka lubangi! -- dongaknya makin pedas -- Kita membuat mereka sedikit berharga, setidaknya negeri ini dipandang oleh dunia; sebuah negara paling makmur sejagat raya, hutan lebat, matahari sepanjang tahun, curah hujan tinggi, kekayaan alam terpelihara dengan baik! Itu semua kita yang melakukannya. Bisa saja mereka bilang kita pelit. Tapi kubilang saja, kita tidak pelit, kita taktis. Tak ada pat gulipat, semuanya pada tempatnya, waktunya dan harganya. Itu kuncinya! Kalau mereka yang mengurus, kurasa hanya orang gedean yang dapat jatah paling banyak, yang miskin makin gila karena tak punya apa-apa. --
-- Aku tahu itu, tapi ada yang memberitahuku bahwa negeri ini akan tetap tenggelam --
--Oh ya? Bisakah mereka katakan kenapa negeri ini tenggelam? --
Herman tertunduk, dalam hati dia mengutuk kedua orang asing yang datang tiba-tiba dan mengatakan negeri ini akan tenggelam. Tapi buktinya sangat meyakinkan, dia tak bisa membantahnya, waktu itu, pun sekarang juga.
--Sial, kenapa mereka tidak tinggal lebih lama? -- -- Aku hanya ingin menyelamatkan masa depan negeri ini. Kenapa sampai begini rupa? -- --Mereka mungkin cuma bayangan -- sahutnya dalam hati, dia meremas kertas di tangannya.
***
-- Tangkap DIAA!!!--
Suara itu menggigit kupingnya. Herman segera berlari dari polisi negara yang memburunya.
-- Reaksi mereka berlebihan, aku hanya mengingatkan--
Sebuah benda menimpanya, bukan, itu orang, orang yang sangat besar, tambun dan lebar. --Polisi negara rupanya, kupikir orang seperti ini hanya bekerja sebagai badut.--
Setelah berhari-hari menjadi buruan, dia lelah tak terkira. Jatuh dalam kelelahannya seperti cangkir yang kehabisan tehnya. Dia menyerah, tapi --aku akan meyakinkan polisi negara ini.--
***
Herman tak lelah. Dia membagikan tulisannya. Dunia maya, dunia nyata, tak ada yang terlewat. Semua orang kini tahu bahwa negeri ini akan tenggelam. Ketenangan yang ada kini terusik, semua orang panik. Mereka tidak terbiasa pada ketidak-teraturan. Herman membawakan kekacauan ini pada mereka.
Tatanan dunia yang rapi kini terkoyak. Mungkin, ini hanya sekedar mungkin, kalau orang-orang ini terbiasa oleh kekacauan; jalanan tidak teratur, pemerintah yang selalu ribut, pemimpin yang mengeluh, bom meledak dimana-mana, wakil rakyat mereka berkhianat, artis mereka beradegan panas, mungkin –sekali lagi ini hanya mungkin– mereka akan biasa-biasa saja menanggapi berita bahwa negeri mereka akan tenggelam.
Di sudut jalan kini para ibu menangis. Para ayah berhenti bekerja --buat apa bekerja kalau nanti kita akan tenggelam? -- Anak-anak justru bermain-main, orang tua mereka terdampar di pulau kesedihan, dan mungkin takkan kembali. Mereka bebas-sebebas-bebasnya. Berlarian, menendang-nendang dus-dus. Mereka sendiri merasa aneh -- kok bisa sih aku melakukan ini, menggerakkan kakiku sekuat mungkin untuk menabrak benda, apa ini namanya? Aku suka, kenapa tidak dari dulu? -- begitu ujar rasa penasaran mereka.
Polisi negara geram dengan kelakuan orang sialan itu. Pencarian ke seluruh negeri dilakukan. Mereka mulai menanyai dari mana tulisan bodoh itu berasal? Menelusuri dunia maya cukup mudah ternyata. Semuanya tertuju pada satu orang. Herman menjadi orang paling dicari sepanjang sejarah negeri ini.
***
--Dengar, kami tak punya banyak waktu lagi--
--Ya, kami mempertaruhkan keselamatan kami untuk melakukan ini.--
--Tapi bagaimana aku melakukannya?-- Herman bertanya.
--Kau bisa apa?--
Selama ini kehidupan makmur. Semuanya tertib. Jangankan jalan rusak, semua jalan mulus tanpa cacat. --Rakyat kami tak biasa protes. Tak ada yang perlu kami proteskan--
--Tak mungkin ada sebuah negeri yang begitu tertib -- pikir si pria.
--Kau bisa menulis--
--Menulis?--
--Yah, gara-gara pesanmu itu kami datang --
--Tapi aku menulis hanya untuk sebuah pertanyaan--
--Kalau begitu mulailah menulis untuk keabadian negerimu--
Berjasa pada negeri --Itu terdengar hebat!--
Dan mulailah Herman menulis.
***
Baru saja Herman beranjak, sebuah benda melesat hampir merobek kupingnya. Panas. Yang dia tahu kemudian terbentuk torehan di tanah, cukup dalam, memanjang. Di ujung torehan itu sebuah kapsul besar mengeluarkan asap.
Didekatinya kapsul itu. Panas. Tungku pembakar keramik sepertinya kalah.
Dua orang keluar dari kapsul itu. Pria dan perempuan.
--Kami dari masa depan-- Jawaban itu terdengar aneh -- kami ingin memberi tahu bahwa peradaban kalian akan tenggelam--
--Tak mungkin-- Baru saja dia berharap.
Si perempuan memperlihatkan sebuah botol berisi kertas. Herman mengenalinya. Dia berlari ke tempat tadi dia mengubur pesan itu. Digalinya. Kosong.
Herman melihat kembali ke arah kapsul tadi. –Kemana mereka?—
Ternyata mereka tergeletak di tanah. Tubuh mereka sangat panas. Bahkan dengan cepat menjadi gosong. Mereka tak mampu berdiri, hanya nafas tersengal-sengal. Waktu mereka menipis seiring cerita yang mereka sampaikan.
***
-- Kami siap --
-- Kalian mengerti prosedurnya, posisi pintu masuk wormhole sudah ditetapkan. Kami sudah menyetelnya setepat mungkin. Kalian hanya perlu memastikan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Terjadi kesalahan sedikitpun, kalian bisa terdampar di mana saja. --
--Mengerti! Aktifkan kecepatan Hyperdrive! --
--Hyperdrive aktif! -- Dan mereka melesat cepat, hilang. Tunggu, mereka yang terlalu cepat, atau kita yang terlalu lambat?
***
--Kami sudah menghitung umur radioaktif pada kertas dan botolnya. Ternyata benar, prof. Di dasar laut itu dulunya adalah sebuah negeri. Mungkin juga benar yang anda tulis dalam risalah anda, mereka yang pernah tinggal di sana adalah negeri paling makmur yang pernah ada.--
Profesor berdeham -- Tapi kita perlu bukti. Tanpa itu mereka hanya akan menganggap kita berkhayal--
-- Kami tahu prof, kami sudah merancang perjalanan. Perjalanan ke masa lalu. Teknisi kami sudah mengetahui tanggal pastinya. Lokasi pintu masuk wormhole sudah diperhitungkan. Bila kami bilang pada orang yang menuliskan pesan itu kalau negerinya akan tenggelam, pasti pemerintahnya akan menyiapkan rencana jangka panjang agar bencana itu bisa dihindari. Menurut perhitungan kami, teknologi mereka sudah cukup memadai untuk melakukan pencegahan. Bila mereka tidak tenggelam, mungkin peradabannya masih ada sekarang, dan kami berharap, dengan majunya peradaban mereka saat itu, peradaban dunia saat ini pastinya lebih maju dari ini. Urusan perjalanan waktu juga mungkin sudah lebih mudah dan aman kalau peradaban kita sudah sangat maju--
--Bukankah urusan perjalanan waktu masih kontroversi? Kalian tahu resikonya. Bukan hak kita mempermainkan waktu. Tuhan sudah menggariskan jalan kita sesuai dengan waktunya--
--Lalu buat apa Tuhan membiarkan kita punya teknologi seperti ini, kalau bukan untuk menggunakannya?--
--Prof, kalau mereka sudah punya peradaban maju, di jaman ini, andaikan mereka masih ada pasti peradabannya sudah sangat maju. Perjalanan waktu bisa dikembangkan lebih cepat--
--Apa maksud kalian perjalanan waktu bisa dikembangkan lebih cepat? Tunggu, kalian tidak membawa semua skema rancangan tentang perjalanan waktu ini kan?--
--Bukan hanya itu, kami membawa semua rancangan, semua konsep, semua model, dan semua ilmu dasar yang mendukung perjalanan waktu. Saat perjalanan waktu sudah ditemukan sejak dulu, maka teknologi ini tidak akan menjadi kontroversi pada jaman ini --
Profesor mendengus -- Terserah kalianlah, aku sudah cukup lama hidup. Kalian anak mudah sudah bisa memutuskan. Teknologi perjalanan waktu secanggih apapun, aku sudah tidak berminat. Kuingatkan, perjalanan waktu adalah teknologi yang sangat berbahaya!--
***
Herman memasukkan kertas itu ke dalam botol. Tanah yang digalinya cukup dalam. Dia yakin botol itu aman.
***
--Prestasi itu sudah lewat, mungkin takkan kembali. Mimpi itu belum tercapai, mungkin takkan tergapai. Jadi apa yang kau banggakan?--
Kata-kata itu terngiang di telinga Herman sampai pedih. Mungkin memerah. Dia tak bisa melihatnya karena tak membawa cermin.
--Bisa, ada yang bisa kubanggakan--ujarnya dalam hati, tapi dia terdiam, dia tak bisa memastikan apa yang bisa dia banggakan.
Lalu dia punya ide. Sederhana. Seperti botol berisi pesan yang dihanyutkan di laut oleh seorang perempuan yang menanti kekasihnya kembali dari berlayar. Begitulah dia menuliskan pesan,
--Aku harap seseorang ada yang menemukan botol ini dan pesannya. Aku tidak percaya dukun, aku tak percaya peramal. Tapi aku sungguh ingin tahu, seperti apa masa depanku, seperti apa masa depan negeriku --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!