Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 26 September 2011

Api

Oleh: Aditia Yudis (@adit_adit)



Setengah kota sudah lenyap dimakan kabut. Gelapnya malam tampak makin kelam dan sunyi. Namun langit memerah, membara penuh amarah.

Aku terpaku beku di tengah terpaan angin yang ditunggangi hawa dingin. Seharusnya tiupan udara bergerak itu bergelung menggigilkan tubuh, tapi tidak untuk malam ini. Tidak untukku yang berdiri di depan jilatan si jago merah sedang mengamuk.

Kupeluk diriku sendiri, sengatan rasa panas tak terhindarkan. Satu-satu peluh meleleh di pelipis dan punggungku, tapi aku tak berniat beranjak dari situ. Diam dan menikmati sosok kemerahan itu melahap rakus bagian diriku—hartaku yang kukumpulkan bertahun-tahun, kenangan, dan kamu.

Kepulan asap mengular liar, mencabik-cabik kabut yang ada di sekitar. Napasku terasa sesak, sesak oleh jelaga dan rasa kehilangan yang begitu dalam.

Kamu, masih di sana. Di dalam sana. Aku tak bisa sejengkal pun bergerak, cuma diam dan ketakutan.

Paru-paruku kupenuhi dengan udara panas bercampur debu kebakaran, kukeluarkan sisa napasku itu pelan-pelan. Berharap bisa melegakan sedikit saja benakku yang terasa sempit sekarang. Kobaran api itu mengirim semuanya ke udara kosong, begitu saja, tanpa bisa kucegah. Tanpa perasaan dan dalam waktu sekejap semua musnah. Nanti, setelah si api lelah tinggalah abu dan arang kehitaman. Tak akan ada yang bersisa, tak terkecuali kamu.

Dan kubiarkan bulir-bulir air menjatuhkan dirinya ke pipiku. Bisa kurasakan geraknya di tengah jalaran hawa menyengat. Rasa kehilangan dan penyesalan mendorong aliran air dari sudut mataku itu untuk terus beranak pinak di wajahku. Segalanya masih terasa seperti bunga tidur. Sore tadi, aku masih membereskan foto-foto kenangan kita—mengumpulkannya dalam satu album, melabelinya, dan menyusun rapi di rak. Aku pun baru saja menyiapkan malam malam istimewa dengan masakan favoritmu, opor ayam. Selain itu, aku juga sudah mengisi bak mandi dengan air hangat agar kamu langsung bisa membersihkan diri seusai kerja. Dalam hitungan jam, tak ada lagi yang tersisa dari semua itu.

Hari ini kan hari ulang tahun pernikahan kita. Api ini terlalu besar dari pada api lilin yang kusiapkan di atas strawberry shortcake. Api ini terlalu kencang untuk kutiup sendirian.

Kutundukkan kepalaku, gelanyut perasaan memberatiku. Dalam ingatanku, masih jelas bentuk rupamu. Pesta pernikahan kita yang meriah dan penuh suka cita dengan warna putih tergelar di penjuru ruangan. Tak bisa kulupakan bulan madu kita di pantai berpasir merah muda di Komodo dan tanganmu yang terus menaut jari-jemariku. Lalu perayaan-perayaan pesta ulang tahun pernikahan kita, pertama, kedua... dan sekarang tahun kelima.

Perayaan besar.

Tak ada lagi yang kumiliki, aku sendirian, pun dirimu di sana. Kubalikkan tubuhku dan memaksakan diri menggerakkan kakiku dengan berat. Aku harus mengikhlaskan semuanya, mau tak mau. Padahal aku masih ingin di situ, melihat akhirnya kamu ditemukan dan diselamatkan. Akan tetapi jelaga mempermainkan paru-paruku dan asap seakan menonjok mataku hingga aku tak henti menangis. Aku harus segera pergi dari tempat ini jika tidak ingin jatuh pingsan.

Berat hatiku meninggalkamu, tapi aku tak punya pilihan lain. Kamu juga tak memiliki pilihan lain, karena aku tidak meninggalkan pilihan apa-apa ketika mulai membakar rumah kita saat kamu menikmati air hangatmu. Itu lebih baik dari pada kamu memilih bersama selingkuhanmu. Tahukah kamu jika dia tidak lebih baik dari pada aku?

Ah, sekali lagi, selamat perayaan ulang tahun pernikahan kelima kita. Kuhadiahkan api sebagai hadiah terindah untukmu.



Sukanagara, 16 Juli 2011



Sebelumnya pernah dimuat di http://aditiayudis.wordpress.com/2011/07/16/api/

2 komentar:

  1. Wow dit, ini ceritanya agak depressing ya? Temponya cukup, mungkin karena ini cuma menggambarkan satu adegan. But seriously, I thought you'd make this a little more...angsty in a violent way. Bloody swearing, deep hatred, malice and vengeance. Kelihatannya kalau si istri dibikin lebih dari sekedar patah hati bakalan seru. Maybe bikin dia cukup depresi sehingga kehilangan akal sehatnya?

    Api!! Bakar segalanya!
    I personally think, the major turnoff for this story is...the moment that woman shed her tears.
    Tapi itu cuma komentar personal sih. Maybe I am just too fed up with fluffy angst. I want more tragedy and mind sickening bloody battle :p

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!