Oleh: by Jenny Thalia F (@JennyThaliaF)
Satu... Dua... Tarik napas, Jen. Ti...
“Oh my god, dia senyum sama lo!” pekik Nida tertahan—karena kejadian tidak terduga itu dan karena aku menginjak kakinya agar mulutnya diam.
Senyumnya terukir indah di atas wajahnya yang elok seperti titisan dewa tersebut. Keadaan toko buku yang ramai seakan-akan memudar, seakan-akan hanya aku dan dia—aku yang memandanginya dari jarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri sekarang.
Aku tahu, penjelasanku tadi seperti orang bodoh—tapi memang begitu kenyataannya.
Ia tersenyum sambil memandangku, aku balik tersenyum. Aku tidak tahu seperti apa senyumku tadi. Bibirku menahan getaran kegembiraan yang meluap dan seperti ada berjuta kupu-kupu di perutku.
“Nid, gue kayak stalker ya? Nge-candid dia sembarangan. Hm, gara-gara dia nengok, gue nggak jadi foto dia deh,” gumamku pada Nida yang berdiri di sampingku.
Dia—cowok dengan jaket abu-abu itu—kutemukan setengah jam yang lalu terhampar di rak bagian dongeng. Ia terlihat serius sekali membaca sebuah buku berjudul “Pak Tobing dan Gerobak Bakso”. Iseng, setengah jam yang lalu aku sudah hampir mati kebosanan menunggu dua sahabatku lainnya—Intan dan Ajeng kembali dari rumah sakit. Tadinya kami berempat memang berencana hangout bareng. Tapi karena Ajeng harus check-up rutin dan aku malas menunggu di tempat yang sangat bau obat-obatan itu, aku memilih ke sini duluan.
Tapi aku tidak menyangka bahwa menunggu mereka itu LAMA sekali. Setelah hampir mati kebosanan, aku dan Nida iseng main tunjuk ke arah cowok yang sejak tadi lalu-lalang di hadapan kami. Saling memberikan nilai antara satu sampai sepuluh dan komentar kami tentang mereka. Norak ya? Tapi mau bagaimana lagi, aku bosan setengah mati.
Sampai aku menatapnya yang berdiri di arah jarum jam dua. Dengan hoodie jacket dan jeans-nya, sangat terlihat kontras antara dia yang seperti anak hippie dengan buku tumpukan dongeng dalam negeri.
Terlintas dipikiranku untuk mengajaknya berkenalan, tapi aku malu. Masa iya aku harus seagresif itu?
Dan saat itu, terlintas di pikiranku untuk mengabadikan wajah sempurnanya itu lewat kamera ponselku. Dengan posisi sewajar mungkin agar tidak terlihat seperti sedang memotretnya, aku bersandar di dinding dan... dua kali aku gagal memotretnya karena ia selalu menengok ke arahku dan memberikan senyuman tulusnya ketika di hitungan ketiga.
Entah, itu sengaja atau tidak.
Dan untuk yang ketiga kalinya, aku tidak boleh gagal!
Gotcha! Aku dapat fotonya yang sedang tersenyum ke arahku.
Hei, kapan kita bertemu lagi ya?
Aku tersenyum sendiri melihat fotonya, saat aku menoleh ke tempatnya tadi berdiri, ternyata ia sudah hilang.
***
Satu... Dua... Ti...
Aku membekap mulutku dan hampir saja membuat kameraku terjatuh.
Cowok itu... sedang berjalan menuju objek fotoku sekarang—sekumpulan anak jalanan yang seminggu sekali aku temui di sini.
Objek foto sekaligus murid-murid asuhku kini bubar dan menyongsong kedatangannya di tempat ini—Sekolah Khusus Bunga Bangsa. Sekolah yang didirikan untuk anak-anak tidak mampu dan anak-anak jalanan. Berupa beberapa saung yang dilengkapi dengan papan tulis di sebuah taman komplek perumahan.
Cowok itu tersenyum tanpa mengindahkan mulutku yang menganga kaget, “Hei, kita ketemu lagi. Dulu kita pernah ketemu di toko buku kan?”
Ia mengingatku!
Aku mengangguk kikuk. “Ya, kamu mengajar di sini?” tanyaku sambil melirik tumpukan buku yang ia bawa dengan kedua lengannya yang kokoh.
“Ya, baru sebulan sih. Hei, kenalkan, namaku Saka,” katanya sambil menaruh buku itu di samping kakinya dan menjabat tanganku.
Aku yakin wajahku merona dan angin sepoi yang meniup rambut ikal panjangku ke depan tidak dapat membantu mendinginkan sedikit hatiku yang panas dan deg-degan karena dia. “Namaku Alika.”
Aku ingin mengenalnya lebih jauh.
“Kak, baca buku ini yuk,” pinta seorang anak. Saka mengambil buku itu—Pak Tobing dan Gerobak Bakso—lalu menatapku sambil tersenyum. “Ikut?”
Aku balas tersenyum. “Tentu.”
Aku ingin mengenalnya sampai nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!