Oleh: Josephine Ambiya(@JosephineAmbiya)
Suara bantingan pintu memang sudah terasa merdu di telinganya. Kadang bunyi yang terlalu sering didengar memang jadi indah dan merdu. Sehari minimal tiga kali ia membanting pintu, tentu kalau ia sedang ada di rumah. Menurutnya, membanting pintu itu merupakan peringatan keras bagi orang yang mengganggunya.
Tapi hubungan tidak semudah bunyi, hubungan buruk tidak akan membaik dengan sendirinya tanpa keinginan.
Pintu kamar yang baru ia banting sekarang menjadi sarang pukulan dan tendangan dari luar. Bila pintu itu bisa bicara, ia pasti sudah merintih karena tidak sanggup lagi berteriak kesakitan. Julia, dengan santainya memasang earphone di kedua telinganya. Pukulan di pintu sudah jadi pemanis di telinganya saat ini. Santai saja, hidup memang semudah ini.
Kamarnya kini ditelan kegelapan, lampu kamarnya memang belum diganti sejak sebulan sebelumnya mati. Jendela besar di sebelah tempat tidurnya tidak lagi memberi suplai cahaya setelah malam menjemput. Julia tidak menangis, Julia bahkan tidak sedih. Ia memang mengidam-idamkan keluarga yang baik. Tapi siapa yang bisa bilang keluarga Julia tidak baik?
Ibu Julia selalu pulang bersama suaminya. Mereka bukan keluarga yang kekurangan, mereka punya mobil, punya rumah, punya uang untuk membeli semua kebutuhan Julia dan seluruh anggota keluarga yang lain.
Masalah bagi Julia merupakan nama lain dari kakaknya. Kakak laki-lakinya selalu marah ketika Julia pulang. Julia yakin ia iri pada Julia. Kakaknya lulus SMA tiga tahun lalu, tidak melanjutkan sekolah karena mimpinya telah dikubur kenyataan. Ia tidak berhasil lulus tes perguruan tinggi.
Julia masih asik mengangguk-anggukkan kepalanya di atas tempat tidur. Suara pukulan dan tendangan di pintu mulai melemah, menandakan sebentar lagi saatnya Julia untuk keluar. Pukulan itu segera berganti dengan tangisan keras, Julia beranjak dari tempat tidurnya dan melempar iPodnya.
Julia merangkul kakaknya yang duduk bersandar di tembok sambil menangis. Pakaiannya kotor oleh darah dan serbuk kayu.
“Rutinitas, Dik?” ucap kakak Julia dengan nada mengejek. Julia hanya diam sampai kakaknya mengulang kata-kata itu tepat di depan wajahnya.
“Berlebihan Kak,” Julia menjawab sambil membantu kakaknya berdiri dan melihat tangan kakaknya yang berdarah.
“Kamu yang berlebihan! Buat apa ujian kalkulus kamu dapat A?! Kenapa kamu berhasil?!” Kakaknya berteriak sambil berusaha melepaskan tangan Julia. Tapi Julia lebih kuat, tenaga kakaknya sudah habis dipakai memukul pintu sampai hampir hancur.
“Kak, bukan salah aku kalau kakak kalah waktu itu”
“Gagal, Dik! Gagal!” kakaknya terus berteriak-teriak.
“Ganti, Kak. Nanti aku kasih obat tangannya,” Julia memberikan pakaian bersih pada kakaknya.
“Kuliah teknik apa kedokteran, hah? Berlagak kasih-kasih obat segala,” kakaknya tertawa keras. Julia diam. Ia tahu ia kenal kakaknya dengan baik.
“Jawab adikku sayang! Jawab!” kakak Julia berteriak sambil menanggalkan pakaiannya. Julia yang berdiri membelakangi kakaknya menghadap tembok hanya tersenyum.
“Kakak tidak butuh jawaban.“
“Bodoh kamu Julia,” Kakak Julia meluncurkan kata kesukaannya sambil tersenyum sinis.
“Siapa yang bodoh? Siapa yang berhasil masuk teknik? Siapa yang dapat beasiswa dan tidak minta uang dari ayah ibu?” Julia berdiri menempel di tembok, menyembunyikan wajahnya seperti bermain petak umpat. Ia menangis sambil berbisik mengulang kalimat kesukaannya.
Julia tahu ia takkan pernah mengobati tangan kakaknya. Kakaknya tahu ia takkan pernah diobati oleh Julia. Julia tahu kakaknya takkan sanggup membiarkannya bahagia. Kakaknya tahu kalau Julia sangat ingin berpisah dengannya. Julia tahu kakaknya. Kakaknya tahu Julia. Julia kenal kakaknya, begitu pula sebaliknya. Mereka saling mengenal. Tak kenal maka tak sayang, kenal pun belum tentu sayang. Sayang dan kenal memang bukan sahabat apalagi saudara.
“Kalah kamu Julia! Gagal! Kalah! Aku lebih kenal kamu daripada kamu kenal aku! Aku tahu pasti bagaimana kalahkan kamu yang lemah ini!” Kakaknya berteriak di telinga Julia. Julia menutup telinganya dengan putus asa. Lalu berteriak menyanyikan lagu-lagu yang melintas di kepalanya.
Kakaknya berlebihan hari ini. Ini semua karena ia lapor kepada orangtuanya kemarin ia dapat A saat ujian kalkulus. Kakaknya merasa sangat tidak berguna saat mendengarnya. Ia mendengar Julia dipuji-puji, dibilang anak ayah, anak ibu, dan semua kata-kata yang menurutnya mengganggu. Ia yang dulu disebut-sebut begitu. Ia yang dulu masuk SMA bagus dan masuk tiga besar terus menerus. Tapi ia juga yang gagal masuk perguruan tinggi, ia yang kalah sebelum perang kedua. Julia sekarang yang menerima pujian itu.
Suara pintu garasi menghentikan mereka berdua. Julia berbalik dan menghapus air matanya. Kakak Julia membetulkan posisi pakaiannya. Mereka berjalan berangkulan ke luar. Orangtua mereka tersenyum dan mencium kakak beradik itu bergantian.
“How was your day?” Ayah Julia bertanya pada mereka berdua.
“Always a beautiful day, Yah,” Kakak Julia menjawab ayahnya sambil tersenyum. Julia mengangguk dan tertawa. Peran mereka sebagai kakak beradik bahagia dimulai lagi. Tangan kakaknya yang belum sempat terobati sudah mengering sendiri.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
. . . Angel and the loser
BalasHapus