Oleh T.S. Frima
Dinding itu terbayang lagi, lengkap dengan semua yang menempel di permukaannya. Gambar-gambar, manik-manik, sobekan koran dan majalah. Benang wool merah malang-melintang, menghubungkan satu objek ke yang lain, dalam alur yang rumit. Samar dapat kulihat bahwa keseluruhan benda yang ditempelkan itu agak menyerupai citra sebatang pohon. Sebatang pohon besar yang meriah dan megah. Meski juga agak aneh. Di puncaknya, tertempel selembar kertas ungu dengan puisi yang ditulis tangan: sonnet yang ia beri judul Kehampaan Kita.
Ketika pertama melihatnya dulu, aku tak mengerti. Kupikir seharusnya di sana ada foto kami, foto keluarganya, foto teman-temannya. Atau paling kurang, ada fotonya sendiri. Bukankah itu yang biasa dipajang orang-orang di dinding kamar? Tapi tak satu pun wajah ia pampangkan. Ia bilang, tak ada gunanya mengabadikan rupa kita. Tidaklah soal seperti apa kita, tapi yang penting adalah apa yang tangan kita buat, katanya.
Itulah susahnya berkekasihkan seorang seniman. Ia selalu indah dalam berbagai cara, namun tak selalu mudah dipahami. Kalau sudah begitu aku hanya bisa tertawa mendengarnya; dan ia hanya tersenyum.
Sudah berkali-kali aku melihatnya. Dan selalu ada sesuatu yang baru di sana. Sesuatu yang ia buat dengan kedua tangan kecilnya. Dari bubur kertas kah, dari tanah liat kah, dari aluminium kah. Kadang kudapati tangan itu kotor belepotan. Tak jarang pula jemarinya terluka. Bukan tak pernah ku larang ia meneruskan kerjanya yang ceroboh itu. Namun niatnya senantiasa kukuh, dan mustahil dicegah. Karena hidup baginya adalah soal mewujudkan yang terasa dan yang terpikir, dengan memakai tangan sendiri.
Tiap kali aku mulai tertegun di depan dinding itu, selalu saja ia usik aku. Ia tangkap aku dari belakang, dan ia tiupkan selirik kata, menyemilir di sebalik daun telingaku. Selalu ia cegah aku dari menikmati gubahannya. Dia lebih memilih menenggelamkan aku dalam dadanya, daripada membiarkanku tenggelam oleh karyanya. Bila itu terjadi, aku hanya akan tertawa; dan dia akan tersenyum.
Hari ini, dinding itu terbayang lagi, selepas dua tahun ku lewati di negeri lain. Pohon aneh yang meriah itu tampak semakin ruwet ole banyaknya benang wool yang menjuntai. Lamat-lamat, semuanya jadi memusingkan.
Kakiku terpaku di depan batang pohon ini. Daun yang gugur sama sekali bukan ungu, tapi seakan dapat kutemukan puisinya di setiap lembar yang menyentuh tanah. Rasanya saat ini pun ia sedang menangkap punggungku dengan tangan-tangan kecilnya, sambil tersenyum mengejek ketidak-mengertianku. Hanya saja, sekarang aku tak tertawa. Mana bisa aku tertawa di taman makam.
….
Dan sentuhan tangannya makin nyata kurasakan, Mendekap-menekan. Ini kah kehampaan itu, yang dulu ia tuliskan sebagai sonnet?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!