Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 22 Februari 2011

Biasanya

Oleh: Gisha Prathita

Kamukayakuya.tumblr.com



Biasanya, setiap bertemu dengannya, aku selalu mencium tangannya.

“Kok kamu datang-datang udah manyun aja?” Tanyanya padaku, saat aku datang ke kantornya—sebuah konsultan yang bergerak di bidang Teknik Sipil—membawakan makan siang. Hal ini tidak rutin kulakukan sih, sesekali saja, kalau aku tidak sedang ada kuliah siang. Namanya Irsan, dia adalah kekasihku semenjak dua tahun yang lalu.

“Ini bukan manyun, Bang. Sedih ini.” Aku merengut. Lalu menaruh kotak makan di samping layar laptopnya. Aku lalu tersenyum ke arah asistennya tepat di sampingnya, yang sedang sibuk klak-klik-klak-klik mouse demi mendapatkan rancangan gedung yang tahan gempa, dan semua atas komando dari Irsan.

“Masih sedih aja kamu. Udah donk, aku aja udah gak sedih lagi.” Ia tersenyum ke arahku, lalu berjalan mendekatiku. Ia menyenggolku dengan bahunya. “Kamu bawain aku makanan kan?” aku mengangguk pelan, kemudian menarik kotak makan yang barusan kutaruh. “Suapin donk,” ia menyeringai manja.

“Kerjaan Abang?” Tanyaku.

“Tenang, ada asisten. Iya gak, Ben?” ia melirik ke arah asistennya yang bernama Benny, seorang mahasiswa yang dulu adalah adik kelasnya semasa masih jadi mahasiswa. Benny mengacungkan jempolnya ke arah Irsan.

Biasanya, dia yang menyuapiku es krim cokelat mint kesukaanku, bukan sebaliknya.

Dengan hati yang masih sedih, aku akhirnya mulai menyuapi Irsan sampai makan siangnya habis. Aku tahu kalau Irsan bukan tipikal orang manja, dulu, dia paling anti disuapi, bahkan oleh ibunya sekalipun. Tapi sekarang ia tampak seperti seorang yang sangat manja dan ketergantungan. Aku tahu hal ini menyiksanya, tapi aku sama sekali tidak berkeberatan.

Sambil makan (dengan kusuapi tentu saja) ia bercerita tentang proyek yang sedang dibuatnya. Matanya berbinar-binar. Ia benar-benar mengerjakan proyek ini dengan sepenuh hatinya. Itulah Irsan, sangat mencintai pekerjaannya. Aku tetap menyimaknya dengan sepenuh hati, sesekali member tanggapan dan mengangguk-angguk. Tanpa sadar, aku menitikkan air mataku.

Biasanya, dia adalah seorang orator yang menggunakan body language dalam setiap cerita: tangan, mata, dan jarinya.

“Kamu kok nangis lagi…?” Irsan menghentikan makannya. Ia menatap mataku dengan tajam. Aku buru-buru menyeka air mataku.

“Nggak! Nggak! Tadi aku kelilipan!” sanggahku, berbohong. Aku sungguh tidak bisa menahan tangis kesilku saat mengingat gaya berceritanya yang dulu, sangat berbeda dengan sekarang. Ia terlihat begitu kaku—begitu terbelenggu, meskipun tatapan mata dan ekspresi wajahnya sama dengan dulu. Ini semua karena salahku!

“Amira, tolong..” Ia mengecup keningku, pelan. “Jangan menangis lagi ya? Aku sudah bisa menerima semua ini. Ini bukan masalah besar bagiku. Hanya masalah kebiasaan. Jangan bikin aku terlihat lemah, Mir. Dan jangan merasa bersalah.” Suaranya menenangkanku. Masih seperti dulu.

Biasanya, ia selalu memelukku erat setiap kali aku terisak, atau bahkan saat aku tenggelam dalam emosi.

“Tapi ini memang salah aku, Bang!” aku bersikeras. Usahanya untuk menenangkanku malah semakin membuatku merasa bersalah. Aku meletakkan kotak bekal yang masih belum habis itu di meja, sebelum isinya terkena tumpahan air mataku. Bisa-bisa asin rasanya nanti—bodoh memang, di saat seperti ini aku masih memikirkan hal itu.

Biasanya, jari-jari tangannya akan menyeka air mata dari wajahku, dan menarik bibirku untuk tersenyum kembali.

“Kalau saat itu aku tidak melamun saat menyeberang, Abang tidak perlu menyelamatkan aku!” Aku menangis semakin menjadi-jadi. Aku bisa melihat Benny mencuri pandang ke arah kami berdua. Ia tampak bersimpati melihat keadaan kami saat ini, Irsan lalu member kode supaya Benny keluar ruangan sebentar.

“Mir, kamu gak melamun saat itu, supirnya aja yang meleng. Ini bukan salah kamu, Mir. Sudah, sud—…”

“Tapi kalau aku nggak ngotot untuk nyebrang saat itu—Abang gak perlu kehilangan kedua tangan Abang karena kecelakaan itu!” aku akhirnya menangis sejadi-jadinya. Irsan hanya bisa menempelkan wajahnya di keningku. Mengecup hidungku berulang kali. Sambil membisikkan padaku kalau semuanya bukan masalah, semuanya ia lakukan demi aku. Tapi maaf, aku masih tidak bisa memaafkan diriku sendiri atas semua kejadian ini. Kedua tangan Irsan kini diamputasi, dan semua itu gara-gara kebodohanku.

Biasanya, kedua tangannya akan membelai lembut helaian rambutku, saat ia berkata semua akan baik-baik saja.

Biasanya.



Tuhan, andai aku bisa sesabar dirinya dalam menerima semua ini.

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!