Oleh: Momo DM (@mazmocool)
http://bianglalakata.wordpress.com
"Plak!"
Tamparan itu mendarat tanpa ampun di pipiku. Ruam merah terlihat jelas di sana. Aku hanya bisa merintih dalam sebuah senyuman pahit. Senyum untuk kebahagiaan sahabatku. Dengan wajah tertekuk aku tetap membiarkan rasa sakit itu. Sakit yang tak pernah bisa melebihi rasa sakit hatiku. Malam yang bergulir menjemput temaram menjadi saksi. Di salah satu bagiannya aku tersudut dalam pekatnya hati buram.
***
Ratih bergegas menemuiku di kafeku malam Minggu itu. Tak ada kata terucap saat dia bertemu denganku. Hanya saja ada yang berbeda dengan tatapan matanya.
Aku tak sanggup, karena tatapan itu begitu menusuk. Aku berpaling dan berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku. Aku menata beberapa perabot pada tempatnya semula. Sementara Ratih masih juga duduk memperhatikan setiap gerak-gerikku.
Suasana kafe sudah sepi. Tinggal aku sendiri bersama penjaga malam yang tengah membantu merapikan meja dan kursi. Ada Ratih juga tentunya yang masih membiarkan aku untuk menyelesaikan pekerjaanku.
Setelah selesai, aku pun duduk tepat di hadapan Ratih. Membisu. Tatapan Ratih masih seperti saat pertama dia datang ke kafe ini. Tajam dan penuh makna. Sulit untuk dicerna apalagi di bawah temaram cahaya lampu kafe yang mulai meredup.
"Aku menemukan ini di kamarmu. Apa maksud semua ini?" tanyanya tiba-tiba sambil menyodorkan sebuah print out semacam konsep kartu undangan.
Aku menatap lembaran itu. Lembaran yang sengaja aku cetak untuk dan simpan untuk mengingatkan padaku tentang arti sebuah hubungan.
"Bukan apa-apa. Itu hanya keisenganku saja," jawabku datar.
"Iseng sih iseng tapi tidak begini caranya. Aku tidak suka," jawabnya ketus.
"Anggap saja itu sebuah doa Ratih," jawabku berusaha memberikan penjelasan pada Ratih.
Tiba-tiba tatapan Ratih berubah, tak lagi tajam. Tatapannya basah menggenang di bola matanya.
"Bukankah kamu mencintainya Rima?" tanya Ratih sesenggukan sambil memukul-mukul meja kayu yang membatasi kontak fisik antara aku dengannya.
"Iya Ratih, tapi aku juga tidak bisa begitu saja membiarkan hatimu terluka karena cinta yang kumiliki," jawabku sambil menghela napas panjang.
"Kamu satu-satunya orang yang kumiliki saat ini. Dan aku tak akan membiarkan kamu terluka oleh siapa pun, apalagi oleh aku," kataku lagi.
"Aku tidak mau kamu menderita seperti ini," kata Ratih setengah berteriak.
"Kalau begini caranya lebih baik aku menjauh darimu," kata Ratih lagi. Kali ini dengan nada yang lebih tinggi.
Nada-nada tinggi keluar dari mulut Ratih tanpa bisa aku menghentikannya. Sumpah serapah dan caci maki keluar tanpa aku mampu untuk membalasnya. Aku lebih memilih untuk diam.
"Plak!"
Tanganku mendarat di wajahnya. Wajah pucat itu mendadak berubah menjadi merah.
"Cukup Ratih! Cukup! Aku tidak mau tahu. Pokoknya kamu yang harus menikah dengan Doni!" teriakku.
Penjaga malam yang dari tadi memperhatikan aku dan Ratih hanya bisa diam. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia menjadi saksi saat tangis Ratih pecah bersama deru angin malam yang masuk melalui pintu kafe yang sedikit terbuka. Aku diam tanpa bisa menghentikan tangisnya walau sesaat.
Kuamati lembaran itu lagi. Tertulis nama Ratih dan Doni. Berderet-deret kalimat yang aku buat dengan segenap kekuatan hati. Aku lupa untuk menyimpannya di tempat yang aman sampai akhirnya Ratih menemukannya.
Malam kian larut saat aku dan Ratih melangkah pulang ke rumah kontrakan kecil itu. Di kamarnya Ratih masih tersedu. Aku meminta maaf sambil berusaha memberikan penjelasan atas situasi yang tengah terjadi. Tentang hati dan cinta yang tidak bisa dipaksakan.
***
Aku berjalan menuju pelaminan di malam perkawinan Ratih. Persis seperti tanggal yang tertera di konsep undangan yang pernah aku buat sebelumnya. Aku berusaha tegar dalam langkah malam ini. Kulihat Ratih begitu bahagia di samping Doni, suaminya. Lelaki yang selama ini aku dan Ratih cintai.
Pada akhirnya, hati juga yang menang. Ratih yang tak bisa membohongi perasaannya telah memenangkan hati Doni. Sementara aku, yang cenderung menunggu hanya bisa menerima kekalahanku.
Aku tersenyum di hadapan Ratih yang tengah tersenyum padaku. Sama-sama tersenyum tetapi beda makna. Aku tersenyum karena kuat untuk mengalah demi kebahagiaan Ratih, sementara Ratih sepertinya tersenyum karena telah berhasil menuntaskan dendamnya dengan menamparku malam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!