Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 05 Juni 2011

Balas Dendam itu Manis

Oleh : Arden S.S.


Banyak yang bilang, balas dendam itu manis. Aku tak tahu kebenarannya, tapi lidahku terangkat ke bibir, mengecap sensasi imajiner yang merambat naik perlahan. Entah aku yang kurang peka atau mereka yang tidak jujur, tapi satu-satunya rasa yang kukecap hanyalah kulit bibirku yang pecah-pecah.

Tidak masalah. Yang penting aku akan balas dendam.

Rencananya sangat sempurna. Tidak seorangpun akan menyadarinya. Saat mereka tahu, sudah terlambat. Tujuanku sudah lama terlaksana.

Tanpa perlu kuberi perintah, tanganku melesak resah menyentuh sang pengeksekusi; Revolver Smith and Wesson Model 10 yang telah menjadi jawaraku selama 5 tahun ini. Berapa orang telah ia tumbangkan? Tak terhitung. Tugasnya sekarang akan menjadi puncak karirnya. Target: pembunuh kakakku.

Ya, aku akan balas dendam.



Seorang lelaki mengangguk ramah ke arahku. Kubalas ia dengan senyuman yang hangat, polos tanpa dosa. Seandainya ia tahu apa yang sedang kurencanakan, akankah sikapnya sama terhadapku? Ataukah ia akan melakukan apa yang orang normal akan lakukan, lari ke kantor polisi terdekat?

Kakiku berhenti di undakan sebuah apartemen lusuh. Ini dia. Jemariku bergetar, entakan jantung di rongga dadaku mengencang, arus darah melenggang di tiap nadi bagai amukan ombak ganas. Kuhirup udara perlahan, mendalam, hingga adrenalin berhenti terpompa. Aku harus berkepala dingin untuk tugas kali ini. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Sejak kehilangan kakakku, jalan Mafia telah kutinggalkan. Biar begitu, masih ada satu tugas tersisa. Tugas ini. Inilah aksi terakhirku.

Aku akan balas dendam!



Tiap anak tangga yang kudaki selalu diiringi bebunyian ringkih. Sudah tua, nampaknya. Satu lantai. Dua lantai. Delapan lantai kunaiki, tiap langkah membuat ketenanganku kembali goyah. Ingatan yang kukubur sekian lama merobek persemayamannya, mendesak ke permukaan.

Kakakku bisa disebut pembangkang. Ia tidak menyukai cara kerja keluarga kami, meski suka atau tidak, darah Mafia tetap mengalir di nadinya. Hal itu tidak menghentikannya untuk menjadi seorang polisi. Saat ia menyampaikan keputusannya, Aula Besar bergemuruh dengan amarah. Hampir semua mencaci maki, berteriak menghina. Putra sulung sang pemimpin besar Mafia kini menjadi anjing pemerintah.

“Pengkhianat!”

“Mati saja kau!”

Sebelum kerumunan itu menjelma menjadi gerombolan haus darah, kakakku telah pergi. Aku hanya memandangnya dari ujung jalan. Mata kami bertemu. Aku tidak mencacinya. Aku tidak membenci keputusannya. Aku hanya marah karena ia mengkhianati keluarga.

“Akankah kau menghentikanku, dik?“

Aku hanya menggeleng. Ini adalah hidupnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Dan iapun melangkah pergi.



Sesosok tawa menarikku keluar dari lamunan. Pintu kamar yang ada di sebelah kiriku sedikit terbuka. Kulirik perlahan, sekedar ingin tahu. Dua orang sahabat saling bercanda, tertawa lepas. Atau mungkin mereka adalah kekasih? Aku tidak ambil pusing.

Tiga belas lantai telah kususuri. Sebentar lagi. Seharusnya aku fokus, tetapi sekali lagi ingatanku melesak keluar tanpa mampu kutahan.

Sebelum kepergian kakakku, ayahku, sang pemimpin, tewas dalam baku tembak dengan satuan polisi. Kakakku seharusnya menggantikannya menyandang posisi puncak, tetapi pada akhirnya akulah yang harus mengisi kekosongan tersebut.

Tugas itu semakin berat karena polisi seakan tahu apa saja rencana kami. Sebetulnya para penasihat sudah tahu bahwa hal ini akan terjadi. Dengan membelotnya kakakku ke sisi mereka, tidak aneh jika rahasia kami terbongkar.

Malam itu adalah puncaknya. Terjadi pertarungan sengit saat beberapa anggota kami melarikan diri dari kejaran polisi. Kakakku ada dalam pengejaran tersebut, dan hal itu tidak membuat anggota Mafia lain senang. Tanpa menunggu perintahku, mereka merangsek ke medan perang. Sambil mengumpat, aku memacu mobilku ke lokasi. Namun terlambat.

Esoknya, kakakku sudah tewas. Polisi Mantan Mafia Tewas dalam Pertempuran Heroik Membela Keadilan, demikian tajuk berita utama setiap koran yang terbit di pagi itu. Keluarga Mafia-ku bersorak gembira. Sang pengkhianat telah membayar!

Bagiku? Duniaku hancur. Satu-satunya keluarga kandungku yang masih tersisa telah tewas. Persetan dengan fakta bahwa dia seorang polisi. Dia kakakku, dan tak ada satupun di dunia ini yang bisa mengubahnya.



Aku berhenti di depan sebuah pintu kayu, polos tanpa dekorasi apapun kecuali sebuah papan nama, juga terbuat dari kayu, yang bertuliskan 3 digit nomor. Ini dia kamar si brengsek itu. Pembunuh kakakku. Kugenggam gagang pintunya dengan erat. Terlalu erat. Jemariku memutih akibat tekanan yang tidak perlu. Kembali kuhirup nafas dalam, lalu kubuka pintu itu perlahan, lebih tenang daripada sebelumnya.

Di sisi kiri terhempas sebuah ranjang reyot. Di sebelahnya mengapit 2 lemari sederhana bertahtakan lampu meja murahan. Ruangan itu kosong. Aku melangkah lebih dalam, hingga terhenti di depan cermin bulat setinggi manusia. Pikiranku kembali melayang.

Saat mobilku berhenti, dentuman pistol telah mengaung di langit malam. Sesuatu terjatuh di kejauhan, nampaknya satu lagi korban meninggal. Dari posisiku yang terlindung semak, aku dapat mengamati peperangan yang sedang berlangsung.

Seseorang mengendap dari belakang, berusaha melakukan serangan mendadak pada para Mafia. Tanpa berpikir lebih jauh, aku menerjang masuk dengan pistol terkokang. Pilihannya antara ia berhasil mengacau balaukan formasi kami, atau aku berhasil menumbangkannya. Yang terjadi adalah yang kedua. Jatuhnya sosok itu membuat para polisi terdiam beku di tempatnya, memberi anggotaku waktu untuk melarikan diri.

Aku masih terpaku. Dan masih akan tetap begitu jika saja seorang anggota tidak menarik dan membawaku pergi.

Sosok itu adalah kakakku sendiri.



Wajah di cermin itu memandang lemah, tetapi dengan senyum tersungging lebar, seakan mencemooh. Wajah si bedebah yang membunuh satu-satunya orang yang kucintai. Pembunuh kakakku.

Aku.

“...Kau sudah siap...?“

Mataku tidak berkedip saat kusaksikan tangannya naik, gagang pistolnya bertumpu tegap pada pelipisnya. Pelipisku.

Senyumnya masih ada di sana. Senyum yang sama denganku. Puas. Lega.

Banyak yang bilang balas dendam itu manis, tapi saat ini ia seperti bau mesiu. Mungkin akan kucari kebenarannya di lain waktu. Tentu saja, itu jika aku masih bisa merasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!