Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 05 Juni 2011

Skenario Dendam


Oleh: @StephieAnindita

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Aku melafalkan sajak ‘Malam di Pegunungan’ karya Chairil Anwar itu untuk menghibur diri. Ruangan ini terlalu hening, heningnya menggelitik imajinasi. Kubayangkan diriku berada di halaman rumah beberapa jam yang lalu, ketika aku melafalkan sajak yang sama sambil menunggu lampu dari balik kaca jendela itu padam.

Saat itu aku menatap bulan purnama yang tecetak sempurna di warna indigo pekat langit malam, ah … betul-betul seperti ruangan teater yang sudah diatur sempurna. Bulan itu, rumah megah, suara jangkrik, samar-samar aku mendengar tawa riang anak pemulung yang sedang bermain di dalam gerobak orangtuanya

Skenario ini harus digenapi secepatnya. Sudah lama sekali aku menunggu. Menunggu untuk hidup kembali, seperti menunggu di bagian belakang panggung yang dingin, berbau apak dan jauh dari panggung yang terang.

Entah berapa jam atau bahkan hari berlalu sejak babak antiklimaks akhirnya selesai. Aku sudah tidak berniat lagi mencari tahu. Namanya sudah melewati babak antiklimaks, sekarang tinggal menunggu akhirnya saja.

Kuangkat kepalaku, bersandar pada udara kosong di belakangku. Melihat bayanganku dari cermin dua arah raksasa di dinding seberang, aku bisa melihatnya tersenyum. Kalau ada orang di belakang sana, mereka pasti menyangkaku tidak waras. Padahal, aku waras, sewaras-warasnya. Kubayangkan beberapa saat lagi pasti akan ada orang yang masuk, menuntut penjelasan atas apa yang baru saja terjadi.

Ceritakan apa yang terjadi di malam tanggal sekian bulan sekian tahun sekian, pukul sekian…

Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak

Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampak

Itu yang akan aku katakan. Aku tidak sok eksentrik, sok puitis, sok bersastra … hei, tren film ‘Ada Apa Dengan Cinta’ dimana para remaja menyerbu toko buku lama untuk memburu buku ‘Aku’ karangan Syuman Djaya sudah lama berakhir bukan? Aku sedang tidak mencoba me-remake tokoh ‘Rangga’. Maaf saja … aku punya skenario dan tokohku sendiri!

Dan itulah yang terjadi di malam itu. Ketika mimpi membuka alam bawah sadarku tanpa ampun. Menunjukanku fragmen demi fragmen kehidupanku yang sebenarnya. Membangkitkan kembali dendam yang telah lama terkubur. Aku berteriak ketika aku bangun, raungan monster yang berhasil menyentakkan rantai-rantai yang mengurungnya. Tidak ada yang mendengarku, karena letak pondokan kecilku ada jauh ditengah kebun Pepaya.

Malam itu bulan mati. Aku berlari keluar pondokan, berlari tanpa arah menembus kebun. Untuk pertama kalinya aku menyaksikan kebun itu sebagaimana mestinya, dipenuhi hantu-hantu yang melolong saat melihatku berlari kesetanan diantara pohon Pepaya, bah! Kenapa aku begitu buta selama ini, menganggap tempat ini tempat yang damai dan menenangkan? Padahal tempat ini dipenuhi setan, iblis …

Aku terjerembab. Tanganku tahu-tahu saja sudah menggenggam arit. Satu-satunya hal yang nyata di antara pohon-pohon Pepaya yang sudah berubah menjadi kaki-tangan hantu, juga tanah yang dipenuhi cacing bertaring. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku harus menggenapi skenario yang telah dituliskan untukku.

Kenapa kamu melakukannya? Ia majikanmu, bukan? Dari keterangan yang kami dapat ia tidak pernah punya masalah denganmu atau dengan pekerja yang lain. Dia orang yang baik.

Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati

Aku temukan dia. Di sana, berbaring dengan tenang. Aku tahu ia tidak akan bangun lagi. Ia sudah terlalu nyaman, berselimutkan nyawanya sendiri di atas kasur. Skenario sudah digenapi. 

Aku bukanlah orang yang ia sangka selama ini …

Jelas! Ia tidak pernah menyangka kalau salah satu pekerjanya yang paling setia rupanya pembunuh berdarah dingin. Apa alasanmu melakukannya? Apa kamu mengincar kekayaannya? Atau apa?

Ia juga bukan orang yang kalian sangka selama ini … ia pernah mendesak mantan pacarnya untuk melakukan aborsi illegal. Bayi itu mati, begitu juga mantan pacarnya tidak lama kemudian. Mereka berdua bahkan tidak diberikan jalan yang cepat dan mudah untuk melepas hidup. Mereka harus bermain tarik-tarikan nyawa dulu dengan malaikat maut.

Lantas apa hubungannya kamu dengan itu? Siapa wanita itu? Saudaramu?

Bukan.

Mantan pacar?

Bukan. Aku tidak ada hubungan sama sekali dengan wanita itu – tidak dalam wujudku sekarang ini, setidaknya.

Lantas apa? Oh, saya tahu … kamu pasti mau bermain jadi Dewa keadilan bukan? Yang mengadili orang-orang yang kamu anggap jahat dengan caramu sendiri?

Aku … adalah reinkarnasi dari bayi itu!

Ini untuk kematianku dan Mama!

Aku mendongak, tertawa keras membayangkan yang akan terjadi saat interogasi dimulai nanti. Setelah puas tertawa, aku menunduk, menekuni jemari tanganku yang masih dinodai darah kering.

“Mama …” bisikku lirih. “Lihat Ma, darahku dan darahnya menyatu … aku tidak salah orang, Ma ... ”

Pintu ruang interogasi menjeblak terbuka. Aku mengepalkan tanganku erat-erat dan mendongak, kemudian tersenyum pada tiga orang berseragam cokelat yang menatapku tajam.

Bulan bersinar sedikit tak tampak

Penggalan puisi di atas merupakan pisi karya Chairil Anwar yang berjudul ‘Malam di Pegunungan (1947)’ dan ‘Dendam (13 Juli 1943)’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!