Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 26 Desember 2010

“Ibu Sudah Kenyang, nak. Makanlah.”

Oleh: Petronella Putri (@PetronellaLau)
petronela.putri@live.com

Pinggiran Jakarta, suatu senja..
Perumahan di daerah kumuh ini memang selalu ramai. Ya, ramai oleh teriakan bocah – bocah yang sedang bermain dan bergurau, ramai oleh teriakan ibu – ibu yang sibuk menyuruh anaknya pulang, makan, mandi dan sebagainya. Ramai oleh bermacam – macam kegiatan lainnya. Perumahan, kurang pantas memang disebut begitu. Rumah – rumah yang kami tinggali bukan rumah mewah dan nyaman seperti mereka yang ada di tengah gelimang gemerlapan ibukota, rumah yang kami tinggali ini adalah rumah yang hanya mampu melindungi dari dinginnya hujan dan panasnya terik matahari. Hanya sesederhana itu.
Senja itu aku baru saja pulang. Seperti biasa, sedari pagi sampai siang aku mengamen, terkadang aku ikut beberapa teman – temanku memulung, demi mencari uang untuk sesuap nasi. Aku senang dilahirkan di atas ibukota ini, tapi alangkah lebih menyenangkan jika aku terlahir berkecukupan. Tidak perlu mewah, aku hanya ingin sekolah dan makan dengan layak. Tapi ibu selalu berkata “Syukuri saja, nak. Masih banyak yang lebih menderita dari kita.” Tiap kali ibu bicara seperti itu, aku hanya mengangguk lalu memeluknya. Hangat.
“Bu, hari ini masak apa?” aku meletakkan gitar kecilku di atas tikar dan menghampiri ibuku yang sibuk menyuapi Marni, adikku.
“Hari ini sambalnya hanya ikan asin dankerupuk, nak. Itu, ada nasi sepiring diatas meja. Makanlah, kamu letih kan?” Ibuku tersenyum, lalu kembali sibuk dengan Marni.
Aku menghampiri meja kecil di sudut rumah mungil kami, disana ada sepiring nasi dengan beberapa potong ikan asin dan beberapa buah kerupuk. Perutku lapar sekali hari ini, tapi hatiku tetap tidak bisa diam, “Bu, ibu sudah makan?”
“Ibu sudah kenyang. Makanlah nak. Habiskan nasinya ya, supaya ada tenaga untuk besok.” Ibu menjawab lagi, kali ini sambil mengalihkan pandangannya, tidak menatapku.
Aku tahu kebiasaan ibuku, ia tidak berani menatap mata lawan bicaranya ketika ia sedang berbohong, dan aku juga tahu.. ibu sedang berbohong padaku saat ini.
“Ibu makan setengahnya, setelah itu aku akan menghabiskan nasi ini.” aku menawarkan.
“Tidak apa, makan saja. Ibu masih harus menyuapi Marni, setelah ini mau melanjutkan jahitan. Tadi Bu Mer minta jahitannya diselesaikan besok, tidak ada waktu lagi.” Ibuku kembali beralasan.
Aku hanya diam, ibuku memang perempuan yang keras kepala.. tapi sekaligus perempuan paling tegar dalam hidupku. Ia tidak pernah mengeluh, sedangkan aku? Lapar saja aku mengeluh.
Akhirnya senja itu aku memakan nasi di piringku dengan suap demi suap yang sangat berat, hatiku terus berfikir “Ibuku pasti sangat lapar.”
=========
Jakarta, 7 Tahun Kemudian..
Mobil baru saja keluar dari parkiran basement gedung perkantoranku. Sore ini aku meminta izin pulang cepat kepada Mr. Jo, atasanku dikantor.
“Pak, tolong ke butik yang biasa ya. Setelah itu kita ke bakery sebentar.” Aku berujar pada Pak Ujang, supirku yang sedang asik menyetir.
“Iya Non.” jawabnya dengan patuh.
Dan perjalanan panjang sore itu membuatku berada cukup lama di dalam mobil dan mempunyai sedikit waktu luang untuk kembali mengenang masa laluku. Di lampu merah contohnya, aku melihat beberapa bocah sedang mengamen. Tanganku tergerak, meraih uang selebaran dua puluh ribuan dan memberikannya kepada salah satu dari mereka yang memetik gitarnya di depan mobilku. Aku melihatnya penuh haru, terkenang masa kecil sendiri. Dulu aku juga seperti dia, berkeliling di jalanan untuk mencari penghasilan yang hanya pas – pasan untuk makan sehari – hari, tapi pertemuanku dengan seorang pengusaha beberapa tahun lalu membuat semuanya berubah. Ia melamarku untuk putra tunggalnya dan menawarkan membiayai kuliahku sampai selesai. Setelah itu, aku dipekerjakan di salah satu kantor cabang miliknya dan diberi fasilitas yang terbilang cukup mewah.
Lamunanku buyar ketika Pak Ujang membukakan pintu dan menegur, “Sudah sampai, Non Milla. Bawaannya mau saya antarkan sekalian ke dalam?” tanyanya santun.
Aku mengangguk, “Iya Pak. Tolong diletakkan di ruang keluarga ya. Terima kasih.”
Pak Ujang meraih sebuah kotak berisi kado yang tadi kuambil di butik dan sekotak cake cokelat, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Aku masih berusaha mengembalikan pikiranku dari flashback masa lalu. Aku menghela nafas panjang lalu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
“Mamaaaa..” seorang gadis kecil berpita biru berlari dari lantai dua dan menghampiriku ketika aku baru saja menjejakkan kakiku di ruang tamu.
“Hey, kenapa nih anak mama seneng banget?” Aku mencium pipi anakku.
“Ini kan hari Ibu. Jadi tadi Selma minta ditemenin sama nenek buat beliin mama kado. Dibuka ya, Ma. Moga mama suka.” Selma mengulurkan sebuah kotak mungil. Aku tersenyum dan membukanya, isinya sebuah jam tangan. Bukan jam tangan bermerek, tapi jam tangan ungu itu tetap terlihat indah di mataku, karena aku tahu.. Selma berusaha mengumpulkan uang jajannya selama sebulan ini hanya untuk membelikan kado itu. “Ini tabungan buat beli sesuatu, Ma.” jawabnya ketika aku bertanya waktu itu.
“Terima kasih ya sayang.” Aku memeluknya erat, “Mama suka banget kadonya.”
“Yeee.. Mama suka..” Selma berkata dengan nada polos lalu tersenyum riang.
“Ayo kita ke ruang keluarga, mama juga punya sesuatu untuk nenek.” aku menggandeng gadis itu masuk ke ruang keluarga. Disana aku melihat ibu sedang duduk menonton televisi.
“Bu, happy mothers day.” Aku memeluk ibuku dengan erat, perlahan setitik air mata jatuh membahasi pipi, “Terima kasih untuk segalanya ya, Bu. Untuk semua yang sudah ibu lalukan selama ini. Aku.. Aku bangga jadi anak ibu.”
Ibuku kaget, tapi ia kemudian membalas pelukan itu sambil membelai rambutku, “Sudahlah nak. Ibu tidak semulia itu.” ujarnya pelan.
“Bu, ini untuk ibu.” Aku menghapus air mataku dan mengulurkan sebuah kotak cokelat.
Ibu membuka kotak itu dan tersenyum melihat baju batik di dalamnya, “Terima kasih, Milla. Kamu memang paling tahu ibu suka batik.” Ibu membelai rambutku.
“Maaf ya, Bu. Aku baru bisa membahagiakan ibu sekarang.”
“Harusnya ibu yang minta maaf, nak. Selama hidupmu, ibu tidak pernah bisa memberimu sekolah yang layak, makan yang cukup dan fasilitas yang mewah.” sahut Ibu perlahan. Biarpun begitu, aku tahu betapa beratnya beban ibu selama ini, membesarkan aku dan adikku sendirian. Ayah sudah lama meninggalkan kami, jauh sebelum aku dan adikku beranjak remaja.
“Tapi toh aku bahagia dengan semuanya. Aku bahagia asal ada ibu, bukan karena kemewahan.” jawabku cepat.
Kami berdua kembali berpelukan dan baru tersadar oleh sebuah komentar, “Mama, nenek.. kuenya boleh dimakan?”
Aku dan ibuku lalu hanya tertawa kecil melihat tingkah Selma.
=======
6 bulan setelah itu..
Tanah merah itu masih basah karena hujan siang tadi. Aku tidak bisa menahan tangis, Alan – suamiku – segera memelukku erat, “Sabar Milla, sudah kehendak – Nya.”
“Nenek, nenek kok pergi sih.. Padahal kan Selma masih mau main bareng nenek.” Anakku menangis tertahan sambil meletakkan beberapa tangkai bunga diatas makam.
Perlahan satu – persatu pelayat berpamitan lalu meninggalkan lokasi pemakaman. Setelah itu beberapa kerabat dekat kami juga pamit pulang. Kini tinggallah aku, Selma dan Alan yang masih berdiri di depan makam ibuku. Ibu tadi malam terjatuh dari tangga, dokter mengatakan beliau mempunyai penyakit jantung.
“Selma, kita ke mobil duluan yuk.” Alan menggendong Selma yang masih menangis, membawanya menjauh, seakan mengerti keinginanku untuk tinggal sendirian.
Aku melepas kacamata hitam dan menyeka air mataku, perlahan aku tertunduk di depan makam ibu, “Bu, hanya sampai disini aku bisa membahagiakan ibu? Kenapa ibu tidak mau menunggu lebih lama lagi? Aku ini.. masih belum bisa membalas jasa ibu sepenuhnya.” tangisku ketika itu.
Perlahan hujan turun rintik – rintik, aku menengadah ke langit dan seolah melihat wajah ibuku sedang tersenyum. Aku ikut tersenyum dan seakan tersadar aku pun berbisik, “Semoga ibu bahagia disana. Aku sayang ibu. Ah, tidak.. Aku mencintai ibu. Selalu!”
……………..
Aku melangkahkan kaki menjauhi lokasi pemakaman. Langit senja sore itu kembali mengingatkanku pada masa kecil dan semua kenangan – kenangan bersama ibu. Aku tersenyum perlahan, ibuku.. ia bukan hanya perempuan paling tegar sedunia, ia adalah jelmaan malaikat. Hanya saja, tak bersayap. Ia adalah malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan untukku.
========

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!