Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 09 Juni 2011

BIOLA SERIBU RUPIAH


Oleh: Momo DM (@mazmocool)
http://bianglalakata.wordpress.com

Aku melangkah dalam sebuah alur yang berliku. Terkadang harus mendaki bukit kecil yang melintang, tetapi juga kadang menapak bebatuan yang terserak. Dalam temaram malam aku melangkah hendak mencari bintang. Bintang yang akan senantiasa bersinar di hatiku.

Di ujung jalanku, aku berhenti di depan sebuah papan nama. Papan nama bertuliskan nama sebuah Studio Musik. Aku melangkah mendekat dan kudengar sayup suara biola mengiris habis kerinduanku. Kerinduan akan alunan musik klasik yang setiap malam aku dengar dari balik pagar studio itu. Selepas aku pulang kerja.

Hampir setiap malam aku mendengar nada menyayat dalam setiap suara yang terbawa angin malam. Sayup-sayup. Selalu singgah di telingaku tanpa pernah aku tahu siapa yang memainkan titian nada itu. Satu yang aku tahu, dia adalah anak gadis pemilik studio itu.

Aku kembali melangkah menuju rumah dan berhenti sesaat di depan kios sebelah studio. Aku terima uang kembalian berupa selembar uang seribuan. Tak lama, seiring waktu yang berjalan sampailah aku di rumahku. Rasa lelah membuatku terlelap dalam alunan biola yang masih tertinggal di gendang telingaku.

Keesokan harinya, mentari menerobos jendela kamarku saat aku bersiap berangkat kerja. Kuraih selembar uang seribuan kumal kembalian semalam. Bermaksud untuk persiapan membeli sarapan. Mataku terbeliak saat aku menemukan sesuatu yang berbeda pada lembaran itu.

Di samping gambar pahlawan ada tiga buah tanda tangan, tanpa nama. Aku amati lagi ternyata ada nomor telepon di bawah tanda tangan itu. Tanda tangan yang simpel menyerupai huruf D dan terkesan asal-asalan ditulis. Segera aku menyalin nomor itu ke telepon genggamku.

Keraguan mengecup lembut hatiku saat ada sebuah angka yang tertulis samar. Seperti angka delapan tetapi menyerupai angka tiga. Keraguan menghentikan jemariku menari. Saat bayangan angka membias di mataku dengan jelas, aku yakin itu adalah angka tiga.

Kusimpan dalam sebuah senyuman dan merakitnya menjadi sebuah semangat menjalani hari. Hari yang berbeda. Tak seperti biasanya saat senyumku tenggelam dalam beban kerja dan setumpuk tugas harian. Tugas yang membuat aku tak cukup banyak waktu untuk diriku sendiri.

Jam istirahat makan siang adalah waktuku. Kuhabiskan waktu itu dengan mencumbu tombol QWERTY telepon genggamku. Angka demi angka aku tekan, sehingga membentuk sebuah deretan angka yang tak berurutan. Persis seperti deretan angka di lembar uang seribuan yang aku simpan di dompetku.

"Hei...kenalkan. Aku Andre. Kamu siapa?"

"Aku Dina," jawab suara lembut di seberang.

"Salam kenal ya. Boleh dong kita ketemuan?" tanyaku dalam rasa tidak sabar.

"Boleh saja," jawabnya ringan.

Aku mencatat alamat rumah yang telah diberikan. Rasa bahagia akan sebuah perjumpaan membuatku semakin terlena dengan pekerjaan. Tanpa terasa waktu pulang pun tiba. Sesaat lagi adalah waktu yang telah disepakati.

Aku bergegas dan kembali menapak jalan dalam temaram malam. Kubaca lagi alamat yang tertera dan aku cocokkan dengan jalan yang kulalui. Tak sulit, karena aku mengenal betul jalan itu. Jalan yang hampir tiap hari kulalui saat pulang ke rumah.

Langkahku terhenti saat penglihatanku tertumbuk pada papan nama Studio Musik. Alamat yang persis dengan yang tertera di catatanku. Rasa tak percaya bercampur bahagia justru membuatku ragu. Tiba-tiba aku tak yakin kalau ini adalah alamat yang kutuju.

Di depan gerbang aku mendengar kembali samar-samar irama biola. Merayuku untuk semakin mendekati sumber suara. Kesendirianku selama ini membuatku berani untuk mengucapkan salam. Berulangkali sampai akhirnya suara biola itu berhenti dan aku dipersilahkan masuk. Aku duduk di ruang tamu dan menunggu dalam gelisah. Tak pernah tahu seperti apa gadis yang hendak aku temui. Ini kencan buta pertamaku.

Hatiku melonjak saat aku melihat sesosok gadis muda berusia dua puluhan berjalan pelan ke arahku. Dengan hati-hati dia duduk tepat di kursi di depanku.

"Hei...Aku Andre, yang tadi siang menelponmu" kataku sambil menjulurkan tangan kananku.

"Aku Dina," katanya sambil menjabat erat tanganku.

Obrolan mengalir dalam berbagai topik. Aku berpikir sepertinya dia seorang gadis yang cerdas meskipun hanya lulusan SMA. Waktu sepertinya tak bersahabat denganku malam ini. Jarum jam sepertinya terasa cepat sekali menuju angka sembilan.

Aku segera pamit dan berjanji akan kembali besok malam Minggu. Dia tersenyum dan aku pun tersenyum. Senyumku yang tak akan pernah dia lihat dalam keterbatasan penglihatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!