By : @eunikeglr
Dinginnya angin tidak membuat mereka bergeming. Malam yang sangat
hening. Malam tanpa kekosongan. Keduanya saling menatap. Mereka tidak
membutuhkan sepatah kata apapun untuk saling memahami. Ketika kutanya,
“Kapan pertama kalian berkencan?” Mereka hanya tertawa. Aku tak pernah
mendapat jawabannya. Mereka terlalu sulit dipahami. Pasangan yang
aneh.
Aku masih ingat suatu malam ketika mereka pergi bersama. Tak satupun
kalimat muncul dari bibir mereka. Kata temanku, “Mereka menggunakan
telepati supaya orang lain tidak tahu apa yang mereka bicarakan,” Jika
aku tak mengantuk, aku pasti menyempatkan diri keluar rumah menyapa
mereka. Bukan maksudku mengganggu waktu kencan mereka, tapi aku ingin
tahu caranya bertelepati. Aku ingin suatu saat nanti aku bisa ikut
bertelepati dengan mereka.
Pernah juga suatu malam, mereka tidak bertemu. Mereka pun tak
menampakkan diri sama sekali. Kata ayahku, “Mungkin mereka sedang
bertengkar. Tenang saja. Besok malam, mereka pasti akan bertemu lagi,”
Aku hanya mengangguk pelan. Aku tidak suka mereka bertengkar. Bahkan
aku pernah menangis ketika 4 hari berturut-turut aku tidak melihat
mereka pergi bersama. Saat aku menangis di kamar, ibu menghibur,
“Jangan sedih. Mungkin mereka sedang berkencan di belahan dunia yang
lain,” Dan besok malamnya, aku melihat mereka bersama lagi. Aku sangat
senang sampai-sampai ingin memeluk mereka berdua. Setelah malam itu
aku selalu meyakinkan diriku ketika mereka tidak muncul bersama, bahwa
mungkin mereka sedang berada di tempat lain.
Seorang anak laki-laki yang tinggal di sebelah rumahku pernah bertanya
padaku, “Menurutmu, kencan seperti apa yang paling sempurna?” Aku
tidak tahu maksudnya bertanya padaku. Banyak tetangga berkata kalau
anak itu menyukaiku, tapi aku tidak suka cara bicaranya. Terlalu liar.
Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Bahkan sudah hampir setahun dia
bertanya, aku tak pernah mau menjawab. Aku terlalu terobsesi pada
kencan telepati. Namun, sama seperti aku menolak menjawab pertanyaan
anak itu, mereka pun menolak untuk mengajariku.
Hingga suatu siang yang panas, anak itu menghampiri rumahku dan
tiba-tiba membawaku ke taman. Wajahnya merah menyala. “Kamu masih
tidak mau memberi tahu padaku tentang kencan sempurnamu?” tanyanya
dengan nada marah. Aku hanya menggeleng. Kugigit bibir bawahku pelan.
Kepalaku tertunduk dan tanganku memainkan ujung rambut belakangku.
“Aku tidak bisa memberitahumu. Tapi aku bisa menunjukan padamu, kencan
paling sempurna yang pernah ada di dunia,” kataku kemudian pelan. Raut
wajahnya mulai berubah. Aku mengangkat kepalaku perlahan dan melihat
senyumnya yang tenang. Wajahnya bersinar. Aku tidak tahu mengapa
manusia begitu cepat berubah. Yang aku tahu, aku terikat oleh
senyumnya.
“Baiklah. Aku tunggu di depan rumah jam 8 malam. Jangan kabur ya,”
katanya lagi sambil menarik tanganku dan membawaku pulang ke rumah.
Aku hanya menghela nafas. Apakah mereka marah kalau aku membawa orang
asing menemui mereka dan pastinya akan mengganggu kencan mereka?
Biarlah. Siapa tahu anak itu bisa membujuk mereka untuk mengajariku
telepati.
Pukul 8 malam tepat aku keluar rumah dan mendapatinya sudah ada di
depan rumahku. Senyumnya lagi. Coba kalau dari dulu aku sudah bisa
telepati, pasti aku bisa mengerti arti senyumnya.
“Apa yang kamu mau tunjukkan padaku?” tanyanya langsung tanpa ada
sapaan sama sekali.
“Kamu mau tahu kan kencan sempurna menurutku?”
Dia mengangguk penuh semangat. Aku mengangkat jariku dan menunjuk ke langit.
Bulan. Bintang. Kencan telepati. Sempurna. Dia tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!