Oleh: Debora Pasaribu (@debong)
Kami berpapasan. Kutatap ke dalam matanya. Dingin. Tidak bersahabat.
Sedih dan nyeri sekaligus menjalar di hatiku. Tapi ku lawan. Kutantang matanya, menciptakan api yang membara sekaligus dingin. Dan akhirnya kami berpisah.
***
Kisah ini bermula ketika aku dan dia terlibat perseteruan kecil. Aku senior, dia juniorku. Dengan posisi yang berbeda, sulit rasanya untuk bermanis-manis. Aku keras terhadapnya. Semua kulakukan untuk menjaga wibawa, yang selama ini kupegang teguh. Posisi yang sudah kudapatkan ini, akan hancur jika aku tidak bisa menjaga apa yang sudah kukoar-koarkan selama masa orasi.
Aku tahu, karma bergerak cepat. Tanpa sadar, menghanyutkanmu dalam jurang kepedihan.
Perseteruan kecil berbuntut panjang. Aku mulai memerhatikannya. Gerak-geriknya, wajahnya, lensa kacamatanya, tubuhnya yang jangkung… segala-galanya. Dan, aku mulai menjadi seorang stalker. Terdengar lucu, seseorang yang keras dan menjaga wibawanya bisa menjadi seorang penguntit karena seorang lelaki yang dia sukai. Kutelusuri Facebooknya, halaman Twitternya, bahkan sampai laman Friendster-nya yang sudah lapuk, tak terurus. Dari sana aku tahu kisah cintanya yang menggantung karena hubungan jarak jauh, dan betapa dia masih mencintai mantan kekasihnya itu.
Berbanding terbalik dengan tingkah lakuku di dunia maya, aku masih memasang tampang dingin terhadapnya. Entah ada yang menyadarinya atau tidak, aku selalu bertampang dingin hanya di hadapannya. Aku melawan semua perasaan itu dan aku tahu, aku menyakiti diriku sendiri karena ini. Aku kuatkan tekadku untuk tidak membiarkan seorangpun tahu akan kepura-puraan ini.
Walaupun perseteruan sudah berlalu dan tidak ada lagi masalah yang menghinggapi, aku tetap memberikan pandangan sinis dan dingin terhadapnya. Yang membuatku heran, dia selalu menanggapi semua itu dengan senyum. Senyum termanis yang pernah kulihat di muka bumi. Behel yang terpasang di giginya malah membuat senyumnya semakin berkualitas. Ah, entah apa yang terjadi pada diriku, terbuai oleh senyuman juniorku sendiri.
Dan, seiring waktu berjalan, aku merasa senyum itu hanya dia tujukan untukku. Intensitasnya meningkat, aku meleleh. Tampang dingin dan sinis yang kupasang sebagai tameng, perlahan kugantikan dengan sedikit senyuman. Sedikit. Tidak pernah berlebihan. Aku harus tetap menjaga wibawa.
Ketika aku memandanginya diam-diam, baru kusadari, dia tidak pernah tertawa dengan ceria di hadapanku. Dan senyuman itu bukan hanya untukku, tetapi juga semua orang yang tidak benar-benar akrab dengannya. Tawa ceria itu hanya diperlihatkan kepada beberapa orang. Salah satunya perempuan itu. Pasti ada sesuatu di antara mereka, pikirku. Aku tahu perasaanku benar, hanya dari mengingat kejadian yang terekam di otakku. Mereka… ada sesuatu di antara mereka.
Aku tidak pernah membuka diri. Sedikit senyuman yang kuberikan, kuganti dengan menghindari pertemuan mata. Entah sejak kapan, aku tidak pernah tahan menatap lama matanya. Dan ini menyakitkan hatiku. Aku takut, perasaanku terbaca. Aku takut, dia akan menghindariku karena mengetahuinya. Kuteruskan kepura-puraanku, tidak pernah menganggapnya ada, walau aku tahu dia ada.
***
Kesibukan membuatku melupakannya sejenak. Walaupun aku tidak pernah benar-benar melupakannya. Beberapa fotonya kusimpan dengan baik di folder tersembunyi dalam handphone-ku. Jika kelelahan menerpa, kubuka folder itu, sekadar untuk membuka foto-foto itu. Kutemukan semangat dan keceriaan, ketika ku mengingat wajahnya.
Beberapa kegiatan mempertemukanku kembali dengannya. Keinginan untuk mengatakan yang sebenarnya sudah tidak tertahankan lagi. Kuingatkan diriku, bahwa kami berbeda, bukan sekedar persoalan senior dan junior, tetapi lebih dari itu. Kuingatkan diriku untuk terus menggunakan logika di atas hati, bahwa sebagai pemimpin, aku harus tetap mengedepankan rasio. Salah satunya, untuk tetap berpura-pura dan menutupi perasaan hati, dan membiarkan dia tidak tahu.
Aku tahu, aku benar-benar menyukainya. Aku ingin berdiskusi banyak hal dengannya, sesuatu yang tidak ingin kubagi dengan orang lain. Aku ingin menikmati obrolan kecil bersamanya, atau sekedar bergandengan tangan. Aku sadar, khayalanku berlebihan. Realita harus dihadapi. Namun, aku lelah menahan semua ini.
Hingga suatu hari, semua berubah.
Perempuan itu… ya, aku tahu, hanya dialah yang bisa mengubah senyum itu menjadi tawa ceria. Dan mereka memang cocok, dalam berbagai hal, mulai dari fisik, mungkin juga secara emosi dan perasaan. Tetapi aku tidak mampu menyembunyikan kesedihan, ketika fakta bahwa mereka menjadi seorang kekasih, tersebar. Walaupun itu tidak diumumkan secara resmi melalui status hubungan di Facebook, tetapi aku tahu. Dan sekali lagi, aku tahu perasaanku benar.
Malam itu, aku benar-benar ingin menangis. Aku, seorang wanita yang mengharamkan tangisan karena hal-hal konyol seperti putus cinta atau patah hati, terkena karma perbuatanku sendiri. Anehnya, air mataku tidak sanggup keluar dari pelupuk, dan itu jauh lebih menyakitkan. Kucoba untuk tidur, tetapi yang muncul malah mimpi yang aneh. Aku dan dirinya, yang selalu bersama.
Pada akhirnya, dia tidak pernah menampakkan lagi senyumnya kepadaku. Yang tersisa hanyalah tatapan yang dingin dan menusuk kalbu.
Tetap kulanjutkan kepura-puraanku. Hingga detik ini, ketika kami berpapasan. Kuberanikan diriku menatap matanya, menunjukkan tatapan dingin yang sama, yang kutunjukkan padanya di awal pertemuan kami. Tidak ada yang tahu, dan tidak akan ada yang pernah tahu tentang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!