Oleh: (@nadiaakarima)
Aku tidak makan nasi. Aku makan kepura-puraan.
Saking seringnya aku berpura-pura, bahkan mendustai hatiku sendiri, hingga aku menyebut diriku pemakan kepura-puraan. Bukannya kebohongan, karena esensinya berbeda. Yang pertama disebut itu esensinya positif, sedangkan yang kedua lebih jelek. Kesan yang ditimbulkan itu penting, buatku. Entah buatmu.
Aku lihai berpura-pura semenjak tiga tahun yang lalu, bahkan sekarang aku sudah cukup mahir membolak-balikkan fakta dan menghindari pertanyaan-pertanyaan esensial. Aku bahkan mampu membuat hatiku sendiri percaya pada kepura-puraan yang kubentuk sendiri. Nampaknya otak dan hatiku belumlah penuh berkolaborasi sehingga bahkan ia masih dapat dibohongi oleh otak.
Otakku membohongi hatiku.
***
"Cha, kamu mau sarapan apa hari ini? Aku traktir!"
"Ah, kamu ulang tahun ya? Selamat ulang tahun, Sayaaaang."
Aku tersenyum seraya melambaikan senyum itu terus-terusan ke arah sahabat perempuanku. Tidak, kami bukan jenis penyimpangan sosial yang ada di buku pelajaran Sosiologi kami. Persahabatan kami memang sudah terlalu dekat, layaknya saudara saja.
"Terima kasih, Cantik. Kamu mau makan nggak?"
Dengan senyum masih terpajang, aku menggeleng.
"Aku sudah makan. Kamu makan dulu saja."
Satu.
***
"Jadi percepatan gravitasi itu..."
Kelas. Guru di depan. Hening. Fisika.
Mataku berat, namun kupaksa bertahan demi nilai indah yang menari-nari di raporku nanti. Biarlah agak lelah, nanti toh pulang sekolah aku masih sempat tidur di dalam bus.
"Jadi, sudah mengerti?"
Aku mengangguk-angguk.
Dua.
***
"Cha, kamu nanti bisa temenin aku nggak? Aku harus cari kado nih."
"Hm, buat siapa?"
"Pacar aku."
Sapuan rona di wajahnya cukup menjawab juga buatku.
"Cieee, anniversary ya?"
"Iya, hehehe..."
"Maaf, aku nggak bisa. Nanti sore ada les."
Tiga.
***
"Alin, sana lu! Ganggu orang pacaran aja!"
Suara itu membuat Alin bersungut-sungut seperti semut. Dia segera menyingkir dari pasangan yang berbahagia itu. Yang laki-laki berlutut di depan perempuan yang sudah cukup lama disukainya, dan sekarang mereka berdua jadi bahan tontonan di lapangan sekolah yang terhitung sempit.
Aku tersenyum dan tertawa. Banyak sekali.
"Mungkin kamu udah tahu aku suka sama kamu," mulai sang lelaki, membuat suitan menggoda bertebaran dimana-mana. "Aku hanya ingin menegaskannya."
Krek.
Putri itu diam saja, namun rona terpeta di wajahnya yang cerah.
"Aku menyukaimu."
Bruk.
"Apa kau mau menjadi gadisku?"
Dug.
Putri itu mengangguk, malu-malu. Wajah kedua pasangan itu berseri. Akhirnya mereka bisa bersama setelah memendam rasa suka satu sama lain cukup lama.
Tuk.
Lalu pasangan yang mabuk gara-gara ulah dewi Asmara itu diarak ramai-ramai menuju kantin, dalam rangka acara penodongan terselubung untuk mereka mentraktir oknum-oknum yang turut berjasa bagi hubungan mereka. Sudah menjadi tradisi yang sangat sulit dihilangkan. Aku, tak ayal, turut tertawa dan tersenyum serta menyelamati pasangan baru yang berbahagia tersebut.
Empat.
***
Satu.
Dua.
Tiga.
Empat.
Sudah genap empat kepura-puraanku hari ini. Hanya untuk hari ini. Bahkan hatiku sendiri nyaris percaya pada kepura-puraan yang dibentuk oleh otakku, jika nuraniku tidak berteriak-teriak nyaring. Aku terpaksa melakukannya. Bukan bohong, karena bohong artinya memutarbalikkan fakta. Aku hanya memutarbalikkan hatiku sendiri. Entah di mana letak perbedaannya, aku sendiri tidak tahu.
Aku terlalu banyak pura-pura, karenanya aku terlalu banyak makan pura-pura. Aku lebih banyak makan pura-pura daripada nasi.
Lima.
***
Aku berpura-pura menulis cerita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!