Oleh: @psychoblack
Sudah jam 6 pagi & aku masih bermalasan di tempat tidurku. Ini hari
Jumat. Hari pertama aku tidak bekerja. Baru kemarin aku resmi
mengundurkan diri.
Kuambil hp disisi tempat tidurku. Sekedar memeriksa pesan singkat
disitu. Tidak ada.
Kulempar perlahan hp ku. Bangkit dari tempat tidur, mandi. Hari ini,
aku harus jadi orang baru..
***
Aku jatuh cinta pada laki-laki ini. Teman sekantor, walau jabatannya
di atas ku. Belum lama aku mengenalnya, tapi terasa seabad kami
bersama. Dengannya aku bisa tertawa. Dia yg membawa canda. Dia yg
membawa bahagia. Aku merasa lemah didekatnya, karena dia menjaga. Aku
lemah karena cintaku padanya. Dengan renyah tawa manisnya.
Hanya saja, dia akan menikah, katanya. Dengan perempuan yg telah lama
bersamanya. Walau dia mencintaiku, tapi dia tidak memilihku. Hatiku
hancur dibuatnya. Maka aku mengundurkan diri. Agar aku tak terluka
ketika dia tak lagi ada untukku. Aku pergi, sebelum dia
meninggalkanku.
Cinta tak pernah salah, menurutku. Aku tak pernah berencana untuk
jatuh cinta, dan tak tahu pada siapa aku jatuh cinta...
Tanpa dia, aku kehilangan tawa. Aku lupa cara bahagia. Aku tidak ingin
kehilangan dia. Miris. Dia mendekati ku karena tawaku, katanya. Tapi
aku kehilangan semangat, bahkan untuk sekedar tersenyum.
Aku berdoa. Dalam kesendirian, dalam penantian. Aku meminta. Aku mau
dia, itu saja.
Tak ada yg tak mungkin. Maka aku meminta agar Tuhan menunjukkan
kuasaNya, agar aku bisa bersamanya.
"Tuhan tolong, kembalikan tawaku. Bagaimanapun caranya. Aku pasrah.
Aku ikhlas dalam kuasaMu. Tapi tolong, kembalikan tawaku..."
***
1 minggu berselang, tanpa kabar darinya. Aku memang memutuskan untuk
tidak berhubungan lagi dengannya. Aku terluka. Dan aku malu
mengakuinya. Aku merindukan pelukannya. Ciumannya. Tapi aku tahu,
kalau aku bertemu dia, aku tidak lagi bisa menahan diri untuk jatuh
dalam pelukannya.
Hari itu panas. Aku masih diam di rumah. Sore itu, aku menyendiri. Di
kamar. Sepi.
Dering hp menyentak lamunanku. Dia meneleponku.
"Aku di depan. Buka pintu donk.."
kemudian dia menutup teleponnya.
Aku bergegas ke depan.
Dan melihat dia tidak sendirian.
Orang tuanya menemaninya. Ayah dan Ibunya. Senyumnya mengingatkan ku
pada kehangatan pelukannya. Canggung, ku salami orang tuanya. Tanpa
banyak bicara dia minta aku memanggil Ibu ku.
Dia melamarku.
Tak banyak yang kuingat setelah itu. Aku tak peduli sekelilingku. Yang
kutahu hanya satu, bahwa aku mendapatkan kembali senyum dan tawaku....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!