Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 08 April 2011

Penantian Terakhir

Oleh: Yuska Vonita (@yuska77)

Kedua tanganku gemetar saat memegang cangkir teh berwarna kuning gading. Teh manis buatan Nilam yang setia merawat dan menemaniku setiap hari. Senyumnya yang hangat membuatku melupakan tawa Hadi dan Irma kecil yang dulu mewarnai rumahku.

Sudah sewindu aku menempati panti penampungan tua renta di Jalan Imogiri ini. Aku yang semakin rapuh tak sanggup menopang tubuh mungil cucuku saat ia menyapa dunia. Jangankan menggendong cucu, berjalan saja aku harus dipapah. Belum lagi kedua tanganku yang keriput dan penuh dengan urat-urat menonjol sering menjatuhkan piring dan gelas saat makan. Aku harus mengalah dan menerima suapan demi suapan Nilam.

Suatu malam, aku tidak bisa tidur. Entah mengapa aku terbawa suasana sentimentil dan teringat dengan Dadi. Wajah Dadi terbayang di pelupuk mata. Dadiku yang diambil secara paksa saat revolusi kudeta Sukarno. Dia dituduh sebagai gembong Partai Komunis lalu diculik dan menghilang entah kemana. Cintaku tak pernah kembali, hatiku sepi dan sunyi.

Samar-samar kudengar Irma berbicara dengan Arsya, suaminya. Pandanganku memang sudah kabur, tapi pendengaranku masih setajam serigala.

"Aku udah bilang, antar saja Ibu ke rumah mas Hadi. Mbak Gek bekerja di rumah, bisa bantu ngawasin Ibu."

"Mbak Gek sering ikut mas Hadi keluar kota. Rumah mereka sepi. Aku nggak yakin mas Hadi mau menampung Ibu," Irma berargumen. Aku meminta Nilam mendorong kursi rodaku ke depan kamar Irma.

"Ah, terserah! Aku capek ngurus tua bangka menyebalkan itu. Kamu urus tuh Ibu kamu! Tiap hari ada aja kelakuannya yang bikin jengkel!" Arsya membanting pintu dan mendapatiku bersama Nilam di depan kamarnya. Matanya menyala-nyala. Lalu ia beranjak keluar rumah.

Aku meminta Nilam untuk mengantarku ke kamar. Dengan tangan dan bibir bergetar, aku berkata, "Lam, tolong beresi baju-baju dan keperluanku. Besok aku minta diantar ke panti jompo. Cari yang paling jauh dari sini. Kamu ikut aku ya." Nilam menatapku lekat, lalu ia mengangguk. Ragu.

Sebelum fajar menyingsing, aku meminta Nilam untuk mencarikan taksi dan segera pergi dari rumah itu. Dengan berat hati, kukecup dahi Arka, cucuku, yang terlelap.

Anak-anakku yang sudah dewasa pasti terbebani dengan aku yang renta tak berdaya. Aku yang sering meracau tak jelas tentang ayah mereka yang hebat, tentang kami yang jatuh cinta di Kaliurang, tentang pernikahan kami di KUA. Mereka pasti jengah dan muak. Muak dengan aku si tua renta.

Aku memang bukan sosok ibu ideal bagi anak-anakku. Aku yang menjadi orang tua tunggal saat anak-anakku masih kecil harus banting tulang mencari sesuap nasi. Aku yang lelah berjualan gudeg lalu menjadi buruh cuci harus mengurus kedua anakku yang kadang tidak menuruti kata-kataku. Omelan dan pukulan sering kulayangkan saat aku beraada dalam puncak kelelahan. Dalam hati, aku menyesal telah menyakiti buah hatiku. Tapi, aku hanya manusiaa tak berdaya.

Sekarang, aku merasakan pedihnya menjadi orang teraniaya. Mungkin ini hukumanku. Ya, aku terima. Tapi mengapa air mata sering menetes jika aku memikirkan Hadi dan Irma.

Aku sudah lupa seperti apa suara mereka. Aku juga lupa bagaimana tawa mereka? Sungguh, semuanya seperti mimpi. Begitu jauh jarak antara aku dan anak-anakku.

Hari ini adalah hari ulang tahunku. Tak ada Hadi dan Irma. Tak ada Dadi. Hanya teman-teman tua renta, para suster dan Nilam yang bertepuk tangan menyanyikan lagu "Happy Birthday". Nilam membawa sebuah kue coklat mungil berbentuk segitiga. Ada sebuah lilin kecil yang menyala. Dengan bibir bergetar, kutiup perlahan. Sorak sorai terdengar meriah di kamar Anggrek 122.

"Bu Diah minta apa tadi sama Tuhan?" Suster Sinta bertanya sambil mengecek tensi darhku.

"Ah, ndak. Aku cuma mau lihat senyum anak-anakku." Aku menatap wajah suster muda yang wajahnya mirip dengan Irma itu.

Ia tersenyum, lalu melepaskan stetoskopnya.

"Ibu sehat kok, jangan mikir yang berat-berat ya. Nilam kan selalu mendampingi ibu." Aku tersenyum lalu mengangguk.

Setelah suster Sinta berlalu, aku merasa pening dan ingin muntah. Aku meminta Nilam untuk mengantarku ke kamar mandi. Saat aku duduk di toilet, sesosok pria berpakaian hitam menghampiriku. Kejadiannya cepat sekali. Dalam hitungan detik, aku sudah berdiri di sisinya.

"Sudah selesai, sekarang kamu ikut aku," kata pria itu sambil berjalan di belakangku.

Kulihat Nilam mengguncang-guncangkan tubuhku. Tak berapa lama kemudian, para suster mengerubungi tubuhku. Nilam tersedu tanpa suara. Aku masih berdiri di sana, menyaksikan semuanya seperti menonton adegan demi adegan film.

Beberapa jam kemudian, saat tubuhku sudah dililit kain kafan, Irma dan Hadi datang bersama pasangan mereka. Irma terisak sambil memeluk tubuhku yang dingin dan kaku. Hadi tertunduk. Aku tak ingin melihat kesedihan mewarnai kepergianku. Aku ingin melihat tawa anak-anakku, agar aku memiliki kenangan indah yang bisa kubawa ke alam sana. Perlahan kuhampiri Irma, lalu kupeluk ia dengan erat. Kudekati Hadi dan kukecup dahinya.

Selamat tinggal, anak-anakku. Aku akan tersenyum jika mengingat kalian. Pandanglah fotoku di dalam pigura emas itu dan ingatlah tawa ibumu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!