Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 08 April 2011

Tertawalah

Oleh: @rizkymfachran‏

Tertawa, cara paling tepat menikmati duka

Ini sudah pagi, bulan juga sudah kembali ke orbitnya. Tapi kakek tua itu masih duduk ditengah bar. Mungkinkah dia tak takut sakit? Mungkinkah dia tak takut mati? Masih banyak mungkin-mungkin yang lain, yang belum tentu bisa menjawab tanda tanya di kepala para pelayan. Sang bartender pun tak habis pikir, kenapa kakek tua ini masih kuat berhadapan dengan gelas-gelas penuh bir. Sepertinya dia sedang berpesta, merayakan sesuatu.

Para muda-mudi yang sedari malam ikut menikmati riuhnya bar, sesekali diajak oleh pria tua itu bersulang. Hanya senyuman dan tawa yang bisa mereka lakukan. Mereka ikut tertawa bersama kakek tanpa tau maksudnya. Tawa yang penuh teka-teki.

"Kek, sudah pagi. Kakek nggak pulang?" Tanya sang bartender yang sudah lelah melayani puluhan pengunjung bar.

"Pulang kok, tapi sebentar ya, saya masih mau merayakan ini" kata kakek setengah mabuk.

Lantas apa yang membuat pria tua itu betah disini? Apa yang dirayakannya? Mengapa dia terus tertawa sejak duduk di kursi depanku? Muncul ratusan pertanyaan di benak sang bartender.

Tiba-tiba pria paruh baya itu bercerita. Dengan penuh rasa penasaran, bartender menyimak ucapan pria yang didagunya menempel jenggot tipis berwarna putih.

"Coba kau bayangkan, bagaimana kalau tak bisa lagi kita tertawa? Bagaimana kalau tawa tak ada di dunia? Akan sulit melupakan kesedihan bukan? Sedari tadi aku tertawa, sudah berapa gelas bir yang kuminum, lima. Aku disini bukan ingin mabuk. Aku disini untuk merayakan hari meninggalnya istriku setahun yang lalu."

"Mengapa kau rayakan kek? Bukankah seharusnya penuh haru? Bukankah seharusnya dengan khidmat kita lantunkan doa-doa untuknya?"

Sang bartender semakin dalam terjerembab ke lubang penuh tanda tanya.


"Gluk..Gluk..Gluk... ini bukan persoalan doa. Tapi ini tentang cara melanjutkan semangat nenek, dan cara menikmati sisa hidup. Dulu sekali, nenek sering sekali tertawa. Bahkan saya kira dia sudah gila. Saat mertuaku meninggal, bahkan saat kami hampir bercerai. Berbeda denganku, saat sedih aku menangis, marah mengamuk, baru saat aku merasa ada yang lucu atau menggembirakan, aku tertawa. Tapi aku salah. Baru aku tahu kenapa nenek sering sekali tertawa. Dia yang mengajarkanku cara menikmati duka, meredam amarah. Caranya? Tertawalah. Aku ini sudah tua, sisa umurku mungkin sudah tinggal seumur jagung. Lantas disisa waktu ini aku ingin menikmati hidup. Sudah banyak suka duka yang kualami. Baru saat nenek meninggal aku tahu rahasia menikmati keduanya. Asal kau tahu, wahai anak muda. Aku lebih sering tertawa, sejak pemakaman wanita cantik itu."

Kemudian pria tua itu berdiri mengambil tongkat dan topinya yang ditaruhnya diatas meja. Sang bartender tersenyum. Sungguh pelajaran berharga dari seorang pria paruh baya itu menyentuh hatinya. Ditolaknya seluruh uang yang disodorkan kakek. Bahkan dia merasa tak cukup barter 5 gelas bir dengan pelajaran seumur hidup ini.

Terhuyung, kakek tua itu meninggalkan bar dan malam yang menemaninya.
Malam tak pernah lagi suram dan menakutkan, selalu ada senyum dan tawa di bibir bartender itu.

"Mari tertawa, Tuhan. Hahaha" Bibir pria tua itu seketika kaku, dia terjatuh hanya beberapa langkah dari pintu.

Nafas terakhirnya, terbang bersama tawa dan airmata"

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!