Oleh Gisha Prathita (@geeshaa)
http://kamukayakuya.tumblr.com/
“Habis ini mau kemana?” tanya Erga. Ia menatap ke arahku sambil tersenyum manis. Manis sekali, seperti biasanya. Sekilas mengingatkanku kepada senyuman dinginnya Tom Sturridge. Berlebihan mungkin, tapi inilah salah satu alasan kenapa aku bisa sangat menyukai Erga Dwianggana.
“Kemana aja deh, boleh. Tapi yang pasti makan malem dulu. Lapar!” Jawabku dengan semangat. Erga melirik ke arah jam di dashboard mobil. Ia lalu tertawa.
“Jenna Akraisa, ini baru jam 16.08 dan kamu udah pengen makan malem lagi? kamu memang gak pernah berubah.” Ia mengacak-acak rambutku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya terus menggenggam stir mobil. Aku tertawa.
“Yah… mau bagaimana lagi? terakhir makan siang jam 1 teng sehabis kamu Jumatan, setelah itu tenaga dikuras gara-gara jalan-jalan di Dufan non-stop. Sampai tutup! Kakiku rasanya kondean sekarang tahu!” aku menyeringai. Memang gila perjalanan kami hari ini. Berangkat dari Bandung pukul enam pagi tana sarapan, sampai di kawasan Ancol sekitar pukul 11, langsung menaiki wahana paling depan dari Dufan: Niagara-Gara. Lalu berpetualang ke wahana lainnya. Tiga kali naik Halilintar, dan dua kali naik Kicir-Kicir. Tentu saja Tornado dan Hysteria tentu saja tidak akan ketinggalan. Foto-foto di Rumah Miring seperti ABG labil yang mencari setting untuk foto buku tahunan. Gila. Pokoknya kita senang-senang bersama hari ini!
“Hey, kamu yang mau loh, aku Cuma mengakomodasi Tuan Putri.” Ia menatapku lagi, dengan lembut. “Kita masih punya sekitar enam jam lagi sampai tengah malem. Gimana kalo kita makan di tempat burger kesukaan kamu itu?”
Tengah malam, tentunya, itu jam malamku. Batas waktu bersenang-senang tiap harinya.
Aku mengacungkan jempolku dengan semangat ’45. Dia memang sekalu ingat hal-hal kesukaanku dan menyuarakannya di saat yang tepat. Aku lalu menyalakan MP3 player mobil milik Erga, sontak mengalun lagu Baby, I’m Yours yang dinyanyikan oleh Arctic Monkeys.
Baby, I’m yours—and I’ll be yours until the stars fall from the sky
Yours, until the rivers all run dry.
“Lagu gombal,” gumamku sambil tersenyum.
“Iya, lagu gombal yang selalu kamu minta buat aku nyanyiin pake gitar di depan Himpunan kampus kita dulu, malem-malem, dengan sogokan segelas teh manis hangat.” Erga tertawa. Aku merasa wajahku langsung memerah mendengarnya. Ia selalu mengingat hal-hal kecil seperti ini. “Kamu tahu kenapa aku selalu cinta sama kamu, Jen? Karena kamu gak pernah berubah.”
Aku menyandarkan kepalaku ke sandaran jok kursi mobil yang kami naiki ini. Aku menghela napas panjang dan tersenyum. “Dan kamu tahu kenapa aku selalu menyukaimu sampai detik ini, Ga? Karena kamu selalu mengingat semua hal tentang aku. Sekecil apapun itu, segakpenting apapun itu.” Erga menatap lurus ke depan, entah kenapa ia tidak menoleh ke arahku, namun ia tersenyum. “Makasih ya, Ga.”
Erga tertawa pahit. Ia akhirnya menoleh ke arahku, aku bisa melihat matanya agak memerah. Ia menahan untuk mengungkapkan sesuatu. “Jangan makasih sekarang, Jen. Kita masih punya waktu lima setengah jam lagi buat dinikmati bersama.” Ia menyetir beberapa lama, tapi kami saling diam selama itu. Tiba-tiba kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing—sampai akhirnya kami tiba di parkiran restoran favoritku itu.
Mobil berhenti. Aku bergegas untuk keluar dari mobil, namun tiba-tiba Erga menarik tanganku. Lembut, tapi kokoh. “Loh? Kenapa Ga?”
Ia tersenyum. Masih menggenggam tanganku, beberapa detik. Lalu ia berkata dengan suara yang bergetar, “Akhirnya besok tiba juga, ya Jen. Hari yang kamu tunggu-tunggu. Syukurlah. Aku masih tidak percaya.”
Aku membalas senyumnya, balik menggenggam kedua tangannya. “Iya, aku juga masih tidak percaya. Rasanya seperti mimpi. Sama halnya dengan menghabiskan hari ini sama kamu, Ga. You’re the best,” aku mengecup pipinya yang hangat.
“Itulah kenapa aku masih gak percaya, Jen. You still love me, and I do the same to you.” Erga bergumam.
Aku juga tidak percaya, Ga. Aku juga memang sekalu punya alasan untuk menyukaimu, bahkan mencintaimu. Makanya hari ini ada.
Ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu tertawa lagi. tapi kali ini tawanya hampa. “Aku masih gak percaya, kalau besok kamu menikah, tapi tidak denganku.”
Makanya aku memintamu untuk menemaniku hari ini, sampai hari ini habis, untuk terakhir merayaan kebersamaan kita terakhir kalinya.
Aku berusaha tersenyum. “Kata orang, berarti kita bukan jodoh. Makanya, let’s make this our most romantic dinner ever. Terakhir kalinya, sehari ini saja.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!