Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 14 Februari 2011

Chokoreeto


Oleh: Nadya Nabila | @winterfireworks

Aku sudah siap.

Bagian belakang kerah seragam bergaya sailor warna hitam – putih khas sekolahku sedikit melambai akibat gerakku yang terburu – buru. Begitu juga rok sekolahku yang berusaha kujaga agar tidak naik terlalu tinggi saat aku bergerak. Tungkai mengayun cepat, aku melangkah panjang – panjang menyusuri koridor sekolah yang ramai.

Waktu makan siang memang waktu yang paling ramai di sekolah ini. Duduk berkelompok bersama kawan akrab masing – masing, membuka obentou1 yang sudah disiapkan oleh okaa-san2 di rumah. Kecuali hari ini—ada sesuatu yang berbeda. Tentu, koridor masih saja ramai dengan senpai3 – kouhai4 lalu lalang mengunjungi kelas lain dalam rangka menjemput kawannya untuk makan siang bersama. Masih saja ramai dengan dengung percakapan dan lengkingan suara sopran gadis – gadis yang bercengkrama.

Jika kau menyempatkan diri untuk melirik kalender hari ini, maka kau akan tahu mengapa hari ini berbeda.

Empat belas Februari, Valentine’s Day.

Sebuah bingkisan telah ada di tanganku. Kubus berukuran sedang berbungkus kado warna biru muda khas valentine dengan pita cantik yang tidak terlalu besar di atasnya sebagai penghias. Berisikan cokelat, bertuliskan namanya dengan white chocolate di atas dark chocolate yang sengaja kucetak dalam bentuk hati. Sedikit remah – remah kacang almond kutambahkan dalam adonannya untuk memberi rasa renyah yang pasti akan terasa enak dipadukan dengan melelehnya cokelat yang rasanya agak pahit itu. Ia tidak suka makanan manis, katanya, maka kupilih dark chocolate untuk membuat cokelat valentine untuknya.

Doki doki.

Begitu suara jantungku. Detaknya aneh tapi menyenangkan.

Langkahku terhenti. Aku tiba di tujuanku. Aku mengangkat wajahku, sekadar untuk memindai sekitarku, memastikan aku tidak salah tempat. Ini tempat yang benar, tempat dimana aku memintanya untuk menemuiku. Di tangga samping perpustakaan.

Aku sempat ke kelasnya tadi, pagi – pagi sekali. Meletakkan surat berisi permintaanku untuk menemuinya pada waktu makan siang di mejanya, saat belum ada orang yang datang.

Aku terdiam, berdiri di tempat. Sambil mencengkram kubus cantikku erat – erat sambil tetap menjaga agar isinya tidak remuk karena tenagaku.

Kami-sama5, apa suratnya sampai? Apa ia sudah membacanya? Apa ia sudi datang kesini, menemui kouhainya yang hanya ia kenal sambil lewat saja?

Aku menghela napas, pasrah. Ia populer. Teman wanitanya banyak. Guru – guru menyukainya, dan prestasinya tidak perlu diragukan lagi. Kabarnya ia baru saja menerima beasiswa ke luar negeri hadiah dari lomba penelitian yang ia menangkan beberapa waktu lalu. Dan kabarnya pula, ia akan berangkat secepatnya—

—yaitu besok.

Kami-sama, biarkan aku menemuinya sekali saja. Onegai6?

“Reika-chan?”

Sebuah suara. Jantungku serasa terhenti. Itu dia. Itu pasti dia. Dia mau datang. Dia mau menemuiku. Dia tidak menolakku. Dia—mungkin juga menyukaiku.

Kami-sama, aku harus bagaimana?
Aku berbalik cepat, hingga rambut hitamku yang tergerai hingga pinggang mengibas seperti di iklan shampoo. Kedua tanganku terjulur ke depan, mengulurkan bingkisanku yang sudah kusiapkan dari tadi. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan rona wajahku yang pasti sudah semerah tomat ranum.
“K... Kazu-senpai!” Aku memulai dengan terbata. Sial. Kenapa bicaraku jadi begini sih? “I... ini untuk senpai!” Masih dengan menundukkan kepala, aku makin menjulurkan tanganku. Mataku terpejam sekarang, tidak berani mengangkat wajah dan menatap ekspresinya. “S-senpai. Suki da yo.7

Dark chocolate, kesukaan senpai. Biru muda, warna kesukaan senpai.

Kami-sama. Diterima, atau dibuang ke tempat sampah, aku sudah tidak peduli lagi.

“Ah, arigatou. Tapi aku bukan Kazu.” Sebuah tawa ganjil mengiringi suara yang terdengar canggung. Refleks aku mengangkat wajahku, mencari tahu wujud rupa orang yang mengajakku bicara. Seseorang. Senpai yang sering kulihat bersama Kazu-senpai.

Tapi bukan dia.

Aku mematung. Terdiam. Aku menatapnya. Memintanya lanjut berbicara.

“Errr... Maaf.” Maaf? “Aku tahu tidak seharusnya aku membaca suratmu. Tapi—” D-dia membaca suratku? Kami-sama... “Kazu sudah pergi. Keberangkatannya dimajukan. Ia sudah naik pesawat tadi pagi.”

...Apa?

Peganganku pada cokelatku terlepas, dan pasti sudah jatuh berkeping – keping jika saja dia tak menahannya. Seperti aku. Seperti hatiku.

“H-hei, kau tidak apa – apa?”

Kami-sama, dia sudah pergi. Sudah terlambat. Sudah—

Semua sia – sia.

Kan?

Aku berbalik, berlari cepat – cepat meninggalkannya di belakangku.

“Hei, cokelatmu!”

Aku tidak menghiraukannya.



Translation:
1)Bekal makanan | 2) Ibu | 3) Senior | 4) Junior | 5) Tuhan | 6) Please | 7) Aku menyukaimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!