By: Ellena Ekarahendy | @yellohelle | the-possibellety.blogspot.com
“Kamu lebih suka pada ‘Apa’ atau ‘Siapa’?”
Pertanyaannya memaksa aku berhenti menggigit-gigiti sedotan.
“Maaf?”
Ia tertawa. “Tentang aku. Kamu lebih suka pada ‘Apa’ atau pada ‘Siapa’?”
“Tetap aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu,” jawabku disela gigitan-gigitan yang kumulai lagi karena kebingungan.
Ia hanya menangkat alis dan melalui matanya ia memaksa aku untuk menjawab. Kupaksa diri sendiri untuk menerka, tapi berakhir dengan tanpa hasil apa-apa. Ia mendekatkan cangkir kopinya, meneguk pelan. Yang kulakukan hanya menikmati detil gerakannya yang membawa aku pada keinginan untuk merengkuh, bersandar di pelukannya. Bau kafein bercampur tembakau dari balik kemeja kotak-kotak berdominasi warna biru. Hal ternyaman yang bisa kulakukan, sekedar meyakinkan kalau aku dan dia tidak terpisah. Untuk saat ini, pelukan ini sudah lebih dari cukup.
Tapi kukira kemanjaanku terlalu menyebalkan, ketika kusadari ia berusaha memindahkan tanganku, memaksa aku tetap berada di jarak sofa yang sewajarnya. Atau mungkin pertanyaannya yang belum aku jawab, maka ia menolak kupeluk? Mengapa begitu ketus? Apalagi maksud pertanyaannya? Mengapa kita harus berakhir dengan kegundahan ketika seharusnya kita merayakan kecintaan, sebagaimana yang lainnya lakukan? Mengapa ia mendadak jadi menyebalkan, dan nampak ingin menjebak aku dalam pembuktian akan cinta yang menjebak? Menyebalkan. Apa sebaiknya tidak kujawab saja sekalian, daripada terjebak dalam kata-kataku sendiri? Toh aku tidak kunjung mengerti maksud pertanyaannya.
‘Apa’ atau ‘Siapa’? Dia adalah dia, jika itu yang dia maksudkan. Berarti aku akan memilih ‘Siapa’. Tapi apa itu ‘Apa’? identitasnya yang membangun siapa dia?
“Jelaskan padaku, apa itu ‘Apa’ dan apa itu ‘Siapa’?” kataku.
Ia memutar bola matanya. Kupikir ia akan marah, namun ia hanya tersenyum, lalu menggenggam tanganku. Seribu kali? Dua ribu kali? Empat ratus dua puluh delapan ribu kalikah tangan kita bersentuhan? Selalu ada empat ratus dua puluh delapan ribu momen gemetar dari dalam diri yang muncul bukan karena tidak terbiasa, tapi karena rasa yang terlalu dalam. kugenggam balik. Jangan, jangan kamu lepas.
”Aku pernah dengar Derrida menjawabi sebuah pertanyaan tentang apa itu cinta, dan yang kutangkap adalah ketika kita berbicara tentang cinta, kita akan terjebak dalam pembedaan antara ‘Apa’ dan ‘Siapa’. “The Who’ and ‘The What’; apakah kita mencintai karena seseorang adalah seseorang itu, atau karena seseorang begini dan begitu.”
“Lalu kenapa menanyaiku demikian? Apa penting mengetahui kita mencintai pada ‘Apa’ atau pada ‘Siapa’? Apa mampu mendeterminasi berapa dalam aku mencinta? Teorinya melelahkan.”
Ia mengangkat bahu, sambil melepas genggaman tangan kanannya yang kemudian merogoh saku celana.
“Ini, Sayang. Ciciplah dulu, satu atau dua gigit. Orang bilang, bisa memperbaiki suasana hati. Dalam tenang, siapa tahu banyak membantumu untuk menjawab. Happy Valentine.” Sebatang coklat. Tak perlu bersusah membayangkan lilitan pita yang manis. Hanya sebatang coklat berbungkus packaging aslinya yang nyaris rusak karena dipaksa masuk ke saku celana. Memang khas dirinya. Kesederhanaan yang membuat aku jatuh cinta.
Apakah karena aku telah lama terbiasa dengan kesederhanaanya, maka hanya ada gusar ketika ia bertanya? Atau hanya pikiranku saja yang meracau kemana-mana, ketika kusadari pengunjung di meja-meja seberang ikut bergabung dalam percakapan kami lewat bidikan mata yang sarat makna?
Apa tatapan mata yang seolah melempat praduga itu juga yang membuat ia enggan menyandangkan kecupan untuk sepersekian detik, mengikuti ucapan selamat hari kasih saying yang kosong? Kulihat sekilas, pasangan di sisi jendela sana baru saja bersentuhan bibir. Kenapa kita memaksa diri untuk merasa enggan?
“Apa itu cinta? Kita merayakannya hari ini, kan?” tanyaku disela kunyahan.
“Kenapa jadi balik bertanya? Kali ini, jawab pertanyaan bukan dengan pertanyaan, Dear.”
Aku tak peduli. “Jawab saja, apa itu cinta menurutmu? Mengapa harus kita rayakan juga hari ini? Mengapa atas namanya kita bisa menjadi satu? Dan mengapa juga harus kamu sanksikan dengan pertanyaan anehmu itu? Jawab apa menurutmu. Bukan menurut Derrida atau siapa pun yang tak ingin kukenal. Ingin kudengar. Bantu aku untuk menjawab pertanyaanmu.”
Ia mengangkat bahu sambil menggeleng dengan cepat. Tidak, ia tidak memaksa dirinya untuk memikirkan jawabannya.
“Kalau kamu sendiri enggan menjawab, kenapa aku harus memeras otak untuk pertanyaan penuh jebakanmu?” protesku.
“Menurutmu, aku mencintaimu?” tanyanya.
Apa lagi? “Iya.”
“Bagaimana bisa? Yang barusan ‘kan ditangkap inderamu lewat mulutku. Apa kita mencinta dengan mulut dan lidah yang mengungkap kata indah? Atau lewat mata yang mencitrakan imaji yang mempesona? Atau lewat kulit kita yang bersentuhan dalam keheningan? Atau lewat pikiran kita yang memproyeksikan keinginan yang semakin hari semakin tereksagerasi?”
“Mungkin cinta hanya tentang merasa, sisanya dikerjakan oleh indera. Contohnya ini.” Aku mengacung-ngacungkan batang cokelat pemberiannya. “Dengan ini saja, kuyakini kamu memang cinta, meski hanya jadi satu dari banyak alasan yang bisa kupaparkan.”
Ia terkekeh, sambil sesekali mengoyak rambutku gemas. Lagi, seisi kafe menjawabi dengan tanda tanya di balik setiap mata. Kugapai tangannya, membiarkannya terangkul di pundak. Peduli apa dengan mereka? Ah. Apa tidak bisa kita menjadi seperti yang lainnya? Kita ‘kan sama. Aku, dia, mereka, dan kalian adalah sama; dan kupikir, untuk merayakan kasih sayang juga makanya kita datang dengan orang yang kita cinta ke sini.
“Omong-omong, seharusnya tadi kita sama-sama jawab saja kalau cinta adalah kerumitan yang tidak perlu didefinisikan. Kerumitan yang kita benci sekaligus sukai. Kerumitan yang padanya selalu kita rindukan; yang tanpa alfabet yang berentet untuk memberikan arti. Apa yang kita nikmati sudah bisa menjawabi.” Ia masih terkekeh-kekeh. Lucu juga melihat dia geli begitu. Kubiarkan saja ia tetap tertawa, dan melupakan pertanyaan konyolnya yang tak ingin kutanyai lagi maksudnya. Mungkin hanya sekedar ekstensi keraguan semu yang sejenak menyisipi kepalanya, yang kuyakini hanya terjadi ketika bersama aku. Because it happens to me too, every single minute.
“Cokelat, kamu tahu,” lanjutnya, “mengandung Phenylethylamine yang karenanya memunculkan perasaan senang karena Dopamine yang dihasilkannya. Ia juga menciptakan perasaan yang baik. Ya… Seperti orang yang jatuh cinta. Jadi ketika kamu memakan coklat itu tadi, entah kamu dalam suasana hati karena mencintaiku, atau karena efekPhenylethylamine saja. Tapi siapa peduli apa itu Phenylethylamine? Siapa peduli apa bentuknya? Apa formulanya? Kamu hanya peduli pada yang sedang kamu nikmati dan membawa balik kesenangan hati. Kamu juga tidak peduli, kan, dengan Katekin dalam cokelat yang bikin awet muda? Yang penting kamu suka dan kamu menikmatinya, maka kamu terus saja dengan gigitan-gigitan tiada henti.”
Mulutku penuh cokelat. Hanya bisa mengangguk. Membiarkan ia melanjutkan.
“Kalau aku harus menjawab, pada ‘Apa’ atau pada ‘Siapa’ aku jatuh cinta,” ujarnya lagi, “Aku akan menjawab bahwa aku jatuh cinta pada ke-siapa-an dan ke-apa-anmu yang tak terpisahkan, yang terjalin dalam kompleksitas yang tak ingin kudefinisikan, tapi membuat aku rindu menyusurinya. Kupikir, kamu adalah Katekin. Dalam kebahagiaan selagi memiliki kamu, kurasa demikian hidup bisa dinikmati kemudaannya.”
Ah. Mengapa pada kata-kata kita harus terkesima? Bukankah Venus yang lemah pada rima?
Cokelat potongan yang terakhir tak jadi kudaratkan ke lidah, kuletakkan dengan manis di atas piring kosong di meja ketika ia mendekatkan diri ke telingaku, mengucap kata klise. Ya. “I love you, for who-you-are and what-you-are.”
Tangan kita masih saling menggenggam. Mata kita masing-masing menyuarakan cinta yang tak terbaca serta tak dimengerti. Ah, bukan tak bisa dimengerti, hanya tak sudi saja dimengerti. Ada letupan-letupan manis ketika hati kita, dalam diam, menyuarakan keinginan untuk melepas. Bau kafein dari dirinya masih tercium, kunikmati sebagai materi yang bisa kupaparkan ketika nanti rindu menganggu. Entah dari kopinya atau cokelat yang tadi kunikmati, kafein membuat kita sama-sama terjaga, semakin dalam menyusuri gelapnya iris mata kita masing-masing. Tak suka dia menyebutku Katekin. Kulihat dia adalah pencampuran Katekin dan Kafein, dalam candunya yang tak terelakkan, dan gema-gema sensasi yang tak tertampikkan.
Ya, kupikir aku tahu jawabnya sekarang. Kuejakan dalam hati, tak apa, kan?
Mana aku peduli pada apa atau pada siapa aku jatuh cinta? Kudengar mereka takut akan perbedaan ketika menjatuhkan cinta, maka kenapa harus sanksi dan member label hina ketika pada kesamaan yang kebetulan aku jatuh cinta? Pada dia, yang tak bisa kujabarkan. Biar mereka terjebak saja dalam definisi kolot mereka tentang cinta, yang mempersenjatai komentar-komentar mereka yang sebenarnya sampai ke telinga kita, sejak kita duduk berdua di kafe ini, menikmati potongan-potongan lembut kue cokelat yang manis, yang kita santap berdua.
“Masih ada cokelat lagi.” Katanya sambil merogoh saku celananya yang lain.
Aku tertawa. “Sudah, tidak usah. Nanti aku gendut.”
“Tidak apa-apa kalau gendut. Toh, cokelat membuatmu nampak awet muda, paling-paling kamu akan nampak seperti Santa Claus, si Kakek tua berlemak. Hahaha, dasar kakek-kakek,” ledeknya.
“Enak saja. Aku mana cocok jadi kakek-kakek tua? Usia segini, menjadi Bapak pun belum pantas, tahu!”
Ia tertawa, membukakan bungkusan cokelat untuk kunikmati. “Kakek ya kakek saja,” timpalnya lagi.
“Ah, ada juga kamu tuh yang kakek-kakek. Pulang dari sini bercukur ya, janggutmu bikin seram, tahu. Aku tidak suka laki-laki berjanggut.”
Kita tenggelam dalam canda kita; membuang muka pada pengunjung kafe yang baru masuk; karena kita terbiasa pada ketidakwajaran, juga pada kekurangajaran yang kami dengar, seperti yang barusan ia lontarkan pada teman wanitanya. “Homo, Sayang, Homo. Di meja yang di sebelah situ.”
Kujawab dengan kecupan yang tiba-tiba di pipinya. Tidak peduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!