Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 14 Februari 2011

Love, Hate and Valentine


Oleh: Nathania Ganda
Twitter : @nainiania
“Kenapa sih harus ada yang namanya Valentine’s Day??!”

Aku mengomel ketika melihat kalender meja yang telah kutandai dengan spidol merah pada satu tanggal. 14 Februari 2011. Semua orang tentu tahu bahwa tanggal empat belas Februari adalah hari Valentine atau hari kasih sayang. Meskipun disebut demikian, aku merasa bahwa lama-kelamaan hari Valentine juga bisa disebut sebagai hari cokelat. Tentu aku mengetahui semua fakta tentang hari Valentine, dan aku membencinya.

Oh, aku bukannya membenci hari Valentine. Aku juga bukannya membenci cokelat atau apa. Selama tujuh belas tahun kehidupanku, aku oke-oke saja dengan adanya hari Valentine, kok! Aku ikut merayakannya dengan bertukar cokelat dengan teman-temanku di sekolah. Bahkan, biasanya aku sangat menyukai hari Valentine, mengingat aku adalah pecinta cokelat sejati. Mulai dari Dark chocolate yang agak pahit namun amat kaya dengan rasa kokoa, milk chocolate yang terasa manis dan umum disukai, sampai white chocolate yang rasa susunya mendominasi rasa kokoa, aku suka semua.

Nah, kalau begitu kenapa aku bilang benci? Khusus Valentine tahun ini, aku membuat pengecualian. Hari Valentine tahun ini benar-benar bencana untukku!

Oh, pertama-tama, sebelum aku bercerita, kurasa aku harus memperkenalkan diriku lebih dahulu. Namaku adalah Vincentia Helena Wulandari, biasa dipanggil Helen. Aku kelas 3 SMA Yudhistira, dan aku masih single.

Meskipun aku bilang aku single, bukan berarti aku available. Saat ini, aku menyukai teman sekelasku, Favian Sugiharto. Sejak kelas 1 SMA, aku memendam rasa sukaku pada Favian, namun tak pernah berani untuk mengungkapkannya, sekalipun aku dan Favian selalu satu kelas selama tiga tahun berturut-turut di SMA.

Mungkin kamu bingung, kenapa aku tidak berani? Jawabannya sebenarnya cukup simpel. Aku dan Favian selalu bersaing. Kami tidak pernah akur, sedikitpun. Tiada hari tanpa pertengkaranku dengan Favian. Kami selalu bersaing dalam segala hal, baik dalam hal pelajaran, olahraga, maupun kesenian. Bahkan, bisa dibilang kami juga bersaing dalam hal kepopuleran di SMA Yudhistira.

Seringkali aku mendengar istilah bertengkar tanda sayang. Mungkin hal itu memang benar. Aku merasakannya sendiri. Tiga tahun bertengkar dengan Favian, tiga tahun aku menyayanginya. Selalu.

Nah, apa hubungan Favian dengan kebencianku terhadap hari Valentine tahun ini? Sederhana. Aku kalah darinya. Kami bertaruh untuk siapa yang nilai rapor semester satunya lebih baik, dengan taruhan yang kalah akan mengabulkan satu permintaan dari yang menang. Aku kalah, dan Favian menyuruhku untuk membuatkannya cokelat terenak di hari Valentine.

Seharusnya hal ini bukanlah hal yang terlalu sulit, mengingat aku adalah seorang pecinta cokelat. Seharusnya, aku tidak kesulitan untuk membuat cokelat, kan? Namun pada kenyataannya, aku sungguh kesulitan memenuhi permintaan Favian kali ini. Alasannya adalah karena aku sama sekali tidak becus memasak! Favian tahu hal ini, dan mungkin ia sengaja menyuruhku membuat cokelat karena ia tahu aku tidak akan bisa memenuhi permintaannya itu. Kalau aku tidak bisa memenuhi permintaannya, bukankah artinya aku kalah dua kali darinya? Harga diriku sama sekali tak bisa menerima hal itu.

Untung bagiku, aku sudah menemukan sebuah solusi untuk permasalahanku dengan pembuatan cokelatnya. Aku sudah mencari informasi tentang jenius memasak di sekolahku, dan aku akan meminta bantuan darinya.

Lihat saja nanti. Akan kubuat Favian tidak berkutik dengan cokelat yang kubuat untuknya!

***
“Permisi!”

Aku mengetuk pintu dapur sekolahku, mencoba menarik perhatian siapapun yang ada di dalamnya. Ya, hari ini, Minggu 13 Februari 2011, aku akan membuat cokelat untuk Favian, dibantu oleh seorang jenius memasak dari sekolahku. Ia bersedia membantuku, dengan syarat kami membuat cokelat di dapur sekolah.

“Ya?” Seorang gadis bercelemek membuka pintu dapur, mengerutkan dahi begitu melihatku. “Siapa, ya?”

Gantian aku yang mengerutkan dahi. Siapa gadis ini? Aku kan membuat janji dengan juru masak sekolahku, dan dia adalah seorang wanita paruh baya. Jelas bukan gadis ini.

“Erm.. Saya Helen. Saya sudah membuat janji dengan Ibu Ratna mau membuat cokelat hari ini, apa beliau ada?”

“Oh, Bu Ratna? Hari ini beliau nggak masuk, sakit katanya. Dia titip pesan, kalau kamu mencari dia, dia minta maaf karena nggak bisa datang. Tapi jangan khawatir, saya akan menggantikan Bu Ratna membantu kamu membuat cokelat. Nggak apa-apa, kan?”

“Oh, iya nggak apa-apa. Malah saya yang harus minta maaf karena udah merepotkanmu dan Bu Ratna.” Aku tersenyum dan mengulurkan tangan, “Kenalkan, saya Helen.”

Gadis itu menyambut uluran tanganku dan menjawab, “Saya Rita. Asisten Bu Ratna. Kalau kamu nggak keberatan, bagaimana kalau kita mulai saja sekarang?”

Aku mengangguk, tersenyum gembira. Kemudian, hal berikutnya yang kulakukan adalah mengikuti Rita masuk ke dapur sekolah.

***

Aku baru menyadari bahwa memasak tidak terlalu sulit, terutama karena Rita membantuku. Dia mahir sekali memasak!

Tadi, sebelum mulai memasak, dia bertanya cokelat apa yang ingin kubuat. Aku bilang padanya, aku ingin membuat cokelat praline, alias cokelat yang ada isinya. Aku sudah siap dengan semua bahan yang diperlukan, hanya saja aku tak tahu cara membuatnya.

Setelah mengetahui cokelat apa yang ingin kubuat, Rita segera menyiapkan semua alat dan bahan di meja. Sambil mengajariku ini-itu, ia memperagakan cara membuat cokelat yang kuinginkan. Setelah itu, ia menyuruhku membuat sendiri.

Pertama-tama, aku membuat isi cokelatnya dulu. Aku tahu Favian menyukai kopi, maka aku membuat cokelat isi kopi. Aku memanaskan fresh cream dan kopi instan di panci sambil terus mengaduknya sampai adonan menyatu. Kemudian, setelah selesai, aku mulai membuat cokelatnya.

Kuiris cooking chocolate tipis-tipis, kemudian kulelehkan cokelat itu di panci yang kuletakkan di atas panci lain yang berisi air mendidih. Setelah meleleh, kutambahkan mentega tawar ke dalam adonan cokelatnya.

Setelah adonan cokelat jadi, Rita menuangkan cokelat itu ke dalam cetakan, kemudian setelah beberapa saat ia menuangkannya kembali ke panci. Rita berkata, ini dilakukan untuk membuat cangkang cokelatnya. Setelah itu, kami menunggu sampai cokelat dalam cetakan itu agak beku sebelum mengisinya dengan adonan kopi. Terakhir, aku menuangkan adonan cokelat lagi untuk menutupi isi cokelatnya.

Setelah selesai, kamipun menunggu hingga cokelat itu mengeras sebelum dimasukkan ke dalam kulkas.

Aku baru tahu, ternyata memasak itu begitu menyenangkan!

***

“Nah, gimana cokelat buatan gue? Enak kan?”

Aku menanyakan pendapat Favian terhadap cokelat buatanku segera setelah ia memakannya. Ia tampak tertegun, mungkin tidak menyangka bahwa aku bisa membuat cokelat yang enak.

“Iya, Len. Cokelatnya enak! Isi kopi, ya?” Favian menjawab seraya mencomot satu buah cokelat lagi dari wadah di tangannya. “Elo hebat bisa bikin cokelat seenak ini. Gue salut. Gue kira elo nggak bisa masak, Len.”

Aku tersenyum, menyombongkan diri, “Gue gitu! Apa sih yang gue nggak bisa?”

Favian tertawa, kemudian menatapku serius, “Iya, Len. Gue percaya. Nggak ada yang elo nggak bisa. Kalau begitu, bisa juga kan jadi pacar gue?”

Aku membelalak tak percaya. Favian baru saja memintaku menjadi pacarnya!

Dan hal pertama yang kulakukan adalah berlari menuju dapur sekolah.

***
“Rita! Rita! Favian nembak gue!”

Aku memasuki dapur sekolah dengan girang, mencari Rita untuk berbagi cerita. Namun, Rita tak ada di sana. Yang ada adalah Bu Ratna yang menatapku dengan pandangan bingung.

“Lho, Helen? Cari siapa ke sini?”

Aku berusaha menetralkan ekspresi wajahku sebelum menjawab dengan sopan, “Maaf Bu, Rita ada? Saya mau ketemu sama dia.”

Bu Ratna mengerutkan kening mendengar pertanyaanku, kemudian menjawab lambat-lambat, “Rita? Siapa ya? Nggak ada yang namanya Rita di sini.”

Aku terkejut kemudian berkata, “Masa sih, Bu? Bukannya Rita itu asisten Ibu?”

Bu Ratna menatapku dengan pandangan kosong. “Asisten Ibu? Kamu yakin?”

“Iya, saya yakin! Kemarin saya membuat cokelat bersama dia!”

“Saya memang pernah punya asisten yang bernama Rita, tapi dia itu sudah meninggal karena kecelakaan tepat sebulan yang lalu, Helen..” Bu Ratna menjawab dengan suara pelan.

Seketika itu juga, aku merasa semuanya gelap.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!