Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 14 Februari 2011

Ups

Oleh: Rheza Aditya
twitter: @gravelfrobisher


Aku bukan orang yang bisa langsung nyaman berada di dekat orang asing.
Melihat tatapan orang tersebut, aku hanya bisa sesekali menelan ludah sembari mencoba merapikan penampilanku. Bukannya aku risih dan ingin tampil lebih cantik di hadapannya, namun kau bisa bilang bahwa ini merupakan mekanisme otomatis yang kudapatkan dari lahir: gugup diperhatikan.
Bahkan hanya dengan melirik menggunakan ujung mataku, aku langsung terpesona dengan sosok tersebut. Senyumnya begitu tulus dan menawan, dan tatapan matanya yang memesona…sungguh. Mungkin ini adalah pertama kalinya aku bisa berubah jadi kepiting rebus karena diperhatikan oleh laki-laki.
Oke, mungkin kau bisa katakan ini merupakan cinta pada pandangan pertama.
Atau lirikan pertama, aku tidak perduli.
Namun aku tetap tidak bisa merasa nyaman kalau sudah berurusan dengan orang asing. Kenyataannya adalah, aku tidak mengenal dia, dan dia juga tidak pernah bertemu denganku sebelumnya. Aku meremas jemariku, membuat kantung kertas yang tergantung darinya mengkerut karena terlalu kencang kugenggam.
Ya, harusnya ini merupakan hari yang membahagiakan bagiku. Siapa juga wanita yang sudah memiliki pacar yang tidak akan bahagia di hari Valentine? Terutama ketika pacarnya merupakan lelaki idaman satu sekolah yang bisa membuat semua murid berpaling padanya ketika dia tertawa?
Aku harusnya bangga memiliki pacar beken. Yang begitu prince-like. Begitu sempurna.
Tapi nyatanya, kalimat yang berputar-putar—atau lebih tepatnya, kuputar berulang kali—di dalam kepalaku itu sekarang jadi terdengar datar. Hambar, tiada rasa. Bagaikan kalimat yang kudengar dari radio rusak yang mengumandangkan suara panggilan-panggilan rekursif tak berarti.
Semua kalimat romantis yang sudah kususun untuk pacarku. Semua skenario yang harus kupelajari untuk menyerahkan cokelatku. Semua perasaan bangga terhadap lelaki yang sudah kukencani selama setengah tahun, semuanya lenyap.
Lenyap ketika diriku dibakar oleh gelora ingin tahu, gelora cinta ‘baru’ku kepada si orang asing ini.
Aku menoleh ke arahnya, dan menampilkan senyuman termanisku. Biarpun terlihat seperti anak SMA ingusan, sebenarnya aku sudah beberapa kali mendapat nilai tertinggi satu angkatan setiap kali ada tugas seni teater. Dan aku bangga akan kemampuanku bersandiwara. Terutama pada senyum mautku.
“Sendirian?” tanyaku kepadanya.
Dia mengangguk, dan melirik penuh tanda tanya ke arah kantung yang kujinjing.
“Cokelat ya?” tanyanya, masih tersenyum ramah.
Aku mengangguk, lalu mengambil satu langkah pasti untuk mendekat ke arahnya. Diam-diam kuperhatikan busana yang dia kenakan, kemeja putih berlengan yang dibalut jas rapi, juga celana bahan. Apa yang dilakukan oleh orang ini di halte busway?
“Pasti buat pacarnya situ ya?” lalu dia tertawa singkat. “Enaknya yang masih muda…masih bisa menikmati indahnya Valentine…”
“Loh, situ emangnya udah umur berapa? Aku kira kita seumuran loh,” kali ini aku tidak bohong. Dibalut pakaian resmi sama sekali tidak membuatnya tampak tua. Sebaliknya, dia tampak begitu fresh dan…menggoda.
Lagi-lagi dia tertawa. “Saya sudah hampir tiga puluh,”
Mulutku menganga lebar. “Se…seriusan?”
Dia kembali tertawa, dan mengangguk. “Dan, asal kau tahu, aku baru saja diputusin pacarku.”
Hah?? Bohong banget! Batinku berterus terang. Pemuda semenarik dirinya bisa ditolak oleh perempuan? Cewek goblok macam apa yang sebegitu teganya sampai mencampakkan nih cowok? Dan..untuk apa juga dia ceritakan padaku?
“Makanya, begitu saya melihat bingkisan cokelat itu, saya jadi keingetan sama mantan saya..” pandangannya berubah sendu. “Kalau kita tidak putus kemarin, pasti hari ini saya juga sudah dapat cokelat.”
Tak lama, bus pun datang. Aku begitu kehabisan kata-kata sehingga aku tidak menjawab. Namun aku tersenyum tipis begitu menyadari bahwa kami berdua masuk ke dalam bus yang sama.
Sarana angkutan umum ini sangat sepi, mungkin karena kami masuk bukan pada jam sibuk, dan daerah yang kami tuju juga tidak ramai. Namun aku begitu kegirangan ketika dia mengambil tempat duduk tepat di sampingku.
Perbincangan kami selanjutnya terasa begitu menyenangkan, begitu lancar mengalir dan tidak terpaksakan. Aku harus mengakui bahwa lelaki yang duduk di sampingku memang memiliki aura bijak orang usia tiga puluh, namun penampilan dan gayanya berbicara sungguh hampir membuatku terkecoh antara pria usia kepala dua dengan remaja yang baru hampir dua puluh.
Dan, ya. Kuakui aku lebih nyaman bersama dirinya daripada bersama pacarku yang sekarang.
“Jadi, sekarang kamu mau ke rumah pacarmu?” tanya dirinya, melirik ke jam yang dikenakan di pergelangan tangannya.
Aku mengangguk. “Tadi pagi aku ambil cokelat yang ada di lemari. Maklum, aku nggak bisa bikin cokelat, hehehe..”
Dia tertawa lagi, “Nggak kenapa-kenapa toh, udah bagus ada niat ngasih…”
Aku jadi ikut-ikutan tertawa. Baru kali ini aku merasa begitu dekat dengan orang asing, seolah kami sudah berkenalan dari dulu. Aku belum menanyakan namanya, dan belum tahu alamat rumahnya. Namun aku merasa begitu bahagia, dan begitu lepas ketika bersama dengan dirinya.
Bagaikan sedang jatuh cinta.
Atau mungkin aku sudah jatuh cinta? Siapa yang tahu.
Oke. Aku yang tahu. Kuakui sekali lagi, sepertinya aku jatuh cinta dengan pemuda ini. Perasaan yang berbeda dari yang kurasakan untuk pacarku yang sekarang. Perasaan untuknya lebih dewasa dan terkontrol, juga lebih leluasa dan bebas untuk kukendalikan.
Makanya ketika dia akhirnya mendengar nama halte tempat tujuannya disebut dan bangkit berdiri dari tempat duduknya,  dengan sebelah tangan aku menarik jasnya. Ya, aku menahan dirinya untuk pergi.
“Ini,” kataku, menyodorkan bingkisan cokelat yang sedari tadi kugenggam.
Dia tercengang. “Lho? Bukannya itu untuk pacarmu?”
Aku tertawa singkat, “Aku bisa membeli cokelat untuknya di minimarket terdekat. Ayo terimalah, anggap saja tanda terima kasih karena sudah membuatku tidak bosan menunggu di busway.”
Sekali lagi, dia menampilkan senyumannya. Sebuah senyuman yang sangat menawan dan memikatku untuk segera jatuh ke dalam lubang yang kita namakan ‘cinta’.
Tanpa mengetahui namanya, dan tanpa mengetahui alamatnya.
Aku hanya mengetahui wajahnya, usianya, dan halte tempatnya turun.
Begitulah orang asing tersebut datang dan pergi dari kehidupanku.
Aku menghela nafas, memikirkan cokelat macam apa yang harus kubeli untuk pacarku. Sebenarnya aku malas membeli cokelat, namun nanti dia pasti akan ngambek dan memulai aksi tengiknya yang sangat kubenci. Aku jelas tidak mau mendengar celotehannya, apalagi di hari Valentine.
Apalagi di hari ketika aku menemukan cinta baruku.
Ketika bus berhenti di halte berikutnya, aku melangkah turun dengan sebuah helaan nafas terhembus dari sela-sela bibirku. Aku mengutuk pacarku yang meminta bertemu di mall, bukannya di rumah atau taman dekat sekolah yang jelas tidak menghabiskan ongkos.
Tapi kali ini aku memaafkannya, berkat kekonyolan dirinya aku bisa bertemu dengan cinta baruku.
Akhirnya kuputuskan untuk tidak membeli cokelat. Kupikir, mungkin ini merupakan saat yang tepat untuk mengakhiri hubunganku dengan pacar konyolku itu. Aku akan membuangnya, dan mencari kembali cinta baruku tersebut dengan segala cara.
Bukankah romantis? Dicampakkan di hari kasih sayang?
Hahaha. Aku memang jenius.
Rrrr….Rrrr…
Aku mendengus dan mengangkat telepon genggamku. Siapa yang beraninya meneleponku ketika aku sedang berjalan di jembatan busway? Merepotkan saja.
“Kak..kak! Tadi kakak ambil cokelat punyaku yang ada di lemari ya?”
Suara adikku yang menyebalkan.
“Iya, emangnya kenapa? Berisik aja, ganggu tau. Cih.”
“Kak, harusnya kakak tanya dulu dong ke aku kalo mau—“
“Iya, iya berisik! Ntar kakak ganti! Nggak usah ngadu-ngadu ke ibu ya!”
“Bukan itu kak!”
Aku mulai merasa kesal. “Jadi apa, adikku tercintahhhh?”
“Cokelatnya yang itu udah kadaluarsa kak.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!