Oleh: @shelly_fw
Aku terhenyak hingga pandanganku tersita beberapa saat. Bukan pemandangan aneh seperti monster atau gunung meletus sekalipun, melainkan hanya kata-kata yang tertera di layar ponselku yang sukses membuatku merasa waktu terhenti sejenak. Tunggu. Aku menyempatkan diri untuk menghela nafas cukup panjang dan mengeja pesan singkat itu dalam hati. Untuk yang kedua kalinya.
Dari: Endra
Kabur, yuk?
Akhirnya aku membalas;
Untuk: Endra
Kabur? Ngapain? Kemana?
Terkirim. Dengan penuh rasa kemelitan aku pun kembali memasukkan ponselku ke saku kemeja seragamku. Belum sempat aku melahap roti coklat sebagai hidangan istirahat pertamaku rasa penasaranku kembali muncul. Endra. Mana mungkin seorang Endra Rahadian mengajakku bolos sekolah? Bahkan fakta empiris dalam otakku berkata bahwa ini adalah hal yang sangat absurd, mengingat aku memang telah mengenalnya dengan baik namun tetap saja permintaan Endra itu menantang otakku untuk menduga beberapa versi jawaban yang memungkinkan sampai akhirnya ia mengajakku bolos.
Oke Begini. Endra Rahadian adalah orang yang kukenal semenjak SMP. Bagaimana tidak, kami dulu memang menuntut ilmu di Sekolah Menengah Pertama yang sama dan duduk di kelas yang sama pada tahun ajaran kedua. Memang, sih, tidak ada kisah menarik antara aku dengan Endra selama masa-masa itu. Maksudku, meskipun kami sekelas kami memang tidak pernah curhat satu sama lain atau bahkan saling menyukai. Endra Rahadian memang dikenal sebagai cowok baik dan keren, sampai-sampai deretan anak tangga di GOR tempatnya bermain basket selalu dipenuhi oleh cewek-cewek yang menyukainya. Ditambah lagi kantin tempatnya menghabiskan waktu bersama teman-temannya juga mengundang beberapa cewek untuk mencuri pandangan ke arahnya. Pokoknya keren, deh. Dan satu-satunya alasan mengapa aku tidak tergolong pada kategori tersebut adalah karena memang seleraku tidak setinggi mereka. Ya, menaksir cowok keren hanya akan membuatku mati cemburu.
Namun semua itu berubah pada satu peristiwa dimana kami mulai ‘dipersatukan’. UAN. Bukannya sombong atau apa, tapi seingatku Endra menginjakkan kakinya pertama kali di rumahku adalah saat ia memintaku untuk mengajarinya pelajaran Matematika sekaligus mempersiapkannya demi meraih nilai UAN SMP yang memuaskan. Awalnya aku heran dan bingung mau mengajari dari mana. Entah dari buku-buku catatan kami sehari-hari atau dari rangkuman yang kubuat sendiri namun akhirnya ia memilih caraku. Buku rangkuman Matematikaku. Alhasil, kami pun lulus SMP dengan nilai-nilai yang diharapkan.
Awalnya kukira ia adalah cowok yang sombong karena setahuku ia memang digemari kaum hawa yang mayoritas berkulit mulus dan cantik serta nilai-nilai pelajaran yang selalu membuatnya lolos dari remedial UTS sekalipun namun ternyata ia adalah sesosok Endra yang sangat baik. Ia bahkan bukan tipe orang yang tidak tahu berterima kasih ataupun orang yang sangat baik dikala butuh. Ia bahkan tidak pernah melakukan hal-hal yang konyol atau bodoh sekalipun—terlambat datang ke sekolah, makan saat jam pelajaran berlangsung, mengejek nama orang tua, tidak mengerjakan tugas, atau bolos sekolah sekalipun. Ia berbeda; aku mulai mengaguminya. Aku bahkan selalu ingat disaat kami kembali dipertemukan di tempat bimbel kami (mengingat kami menginjak kelas sebelas dimana UAN sudah menunggu tahun depan) dan menyadari kelucuan takdir yang lagi-lagi mempertemukan kami di kelas yang sama—sekaligus membuat kami semakin akrab.
Terlalu banyak waktu yang kami lewati bersama. Dari belajar, makan, jalan-jalan, hingga nonton film bioskop yang dapat kami bahas habis-habisan pada pertemuan selanjutnya. Oh, silakan saja mengira bahwa kami berdua berpacaran. Memang itulah kenyataannya dan itulah alasan mengapa aku—
Grrrrrrrrrrrr. Getaran yang berasal dari saku kemejaku bagaikan gempa di pagi buta. Aku kembali dibuat terhenyak oleh ponselku ini. Tepatnya, panggilan dari Endra.
“Ha—”
“Va, aku di depan sekolahmu, nih. Ssst. Pak Satpamnya lagi baca koran lho.” tukas Endra tanpa menunggu aku menyelesaikan perkataanku.
“Memangnya kita mau—“
“Udah. Nggak usah banyak tanya. Kita pergi sekarang, yuk?”
Tuut. Tuut. Ia menutup telepon. Dengan tarikan nafas panjang, gerakan waspada dari kedua bola mataku, dan pemandangan yang menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang memerhatikanku akhirnya aku pun pergi. Lebih tepatnya: kabur.
“Kamu mau culik aku kemana, Di?” tanyaku pada Endra di balik helm yang ia bawa. Setengah berteriak, karena ia ngebut berhubung kami masih berada di sekitar lingkungan sekolahku.
“Kamu mau kemana?” ia malah balik bertanya.
“Hei, hei, hei. Yang ngajak bolos ‘kan kamu.”
“Ya sudah. Kemana saja, ya?”
“Jangan ke tempat asing!” erangku.
“Iya, cerewet.”
“Apa?”
“Pegangan!” kini motornya semakin ngebut di jalan sepi hingga aku memeluknya dengan erat. Sudah biasa, sih. Tapi tetap saja aku merasa perlu untuk melakukannya.
“Hah?” dengusku setibanya kami di konter Magnum di Jalan Riau.
“Kenapa lagi, Silvana Ranaya?” tanya Endra dengan alis tebalnya yang terangkat sempurna.
Aku mendesah sebelum menjawab, “kamu ‘kan tahu dompetku ada di tas dan tasku ada dimana,”
Endra tertawa melihat ekspresi memelas dariku. Aku cemberut. “Kamu pikir aku orang pelit?” ia kemudian merangkulku, lalu membisikkan sesuatu. “Hari ini kita bakal bersenang-senang, sayang. Ada aku disini.”
Aku mengangguk semangat. Kami pun memesan magnum white dan cappuccino. Setelah Endra membayar semuanya kami mampir ke warung pinggir jalan. Atas permintaanku pastinya, karena aku malas untuk kembali ke motor dan mencari restoran mana yang akan kami kunjungi.
“Apa kata kamu tadi? Bakal?” aku mulai melahap Magnum White dengan gelojohnya hingga aku merasa malu setelahnya. Begitu pun Endra. Kami seperti…orang kelaparan tujuh musim!
Ia mengangguk manis. “Iya. Ini belum setengah perjalanan, Silva sayang. Oya, mau pesan makanan apa?”
“Yamien aja. Kamu?”
“Sama deh,” ia berbicara pada si pelayan. Si pelayan mengangguk. “Kamu udah menyiapkan alasan kamu untuk kabur?”
Aku mengangguk, terlalu nikmat untuk beralih dari magnum ini. “Aku bakal bilang ke semua orang bahwa aku diculik alien. Kamu?”
“Bagus. Dan anggap saja guru-guruku sebagai monster.”
“Di?”
“Ya?” aku menyukai ekspresi ketika ia mengangkat kedua alisnya secara bersamaan. Manis sekali.
“Kayaknya kamu lupa hari ultahku.”
“Hahahah. Mana mungkin aku lupa,”
“Nah, terus kenapa mengajak aku senang-senang hari ini?”
“Memangnya nggak boleh, ya? Yang penting ‘kan hari ini kita senang-senang.”
Aneh. Endra tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ada apa, ya? Memang, perkataan ayo-kita-senang-senang yang selalu muncul dari bibir Endra memang bukan kata-kata asing lagi di telingaku. Dalam hidupku, perkataan ayo-kita-senang-senang itu sudah sangat akrab dengan telingaku dan bahkan aku berani bertaruh bahwa mungkin ini adalah kesekian ribunya ia berkata seperti itu. Entah via telepon, SMS, wall facebook, atau pesan suara sekalipun. Tapi kenapa? Kenapa rasanya ada yang berbeda? Apa…ia akan memutuskanku?
Aku diam. Diam, bukan berarti aku bingung harus bilang apa. Diam, selama hampir satu jam memang terkesan begitu pasif dan jengah namun rasanya kebisuanku terlalu kentara hingga akhirnya Endra bertanya, “Va, kenapa? Ada…sesuatu?”
“Hei, seharusnya itu pertanyaanku.” aku menukas. Masih berjalan dengan lunglai, menerabas hawa sejuk yang disuguhkan oleh kawasan Tangkuban Perahu sekitar kami.
Ia tertawa kecil. “Nggak biasanya kamu diam seperti ini.”
Aku berhenti. Dengan lekas menatap dalam-dalam cahaya mata Endra, menilik keasingan yang dapat kutemukan disana. “Pertama, kamu mengajakku kesini dengan mendadak. Kedua, kamu nggak pernah sebahagia ini. Ketiga,—” aku tidak sanggup melanjutkan.
Sinar mata Endra meredup. Kerutan di keningnya adalah pemandangan yang sangat menyedihkan sekaligus paling menyebalkan. Tapi tidak untuk saat ini. Aku menganggapnya sebagai hal yang wajar. Alisnya seakan bertanya, “Kenapa, Va?”
Sesaat aku membiarkan angin membelai kulit di balik cardigan-ku hingga aku menyadari kedua mata Endra sama sejuknya dengan hawa disini. Dingin dan kalem. Sayangnya emosiku terlalu meluap. Aku menghela nafas. “Aku takut kamu…..mutusin—”
Reaksi Endra kali ini begitu asing—meringis seakan aku adalah orang terbodoh di dunia ini dan merangkulku lebih erat, membisikkan sesuatu di telingaku. “Jangan pernah berkata itu lagi, Va.”
Aku nyaris menangis. Entah karena suaranya yang telah menyentuh hatiku atau ketakutan yang menguasai diriku. Bahkan rasanya Tangkuban Perahu ini tidak semenarik biasanya. Bau belerangnya begitu menyengat. Terik matahari serasa begitu menyakitkan. Menyedihkan sekaligus menyebalkan. Kalau tidak ada Endra disini, mungkin aku sudah mati.
Endra mulai menuntunku ke sebuah batu yang dapat kami duduki di antara lekukan tanah yang menawarkan pemandangan kawah yang begitu kontras. “Dengar. Kata pepatah, kalau kita ingin bersenang-senang, ya bersenang-senang. Kamu ‘kan tahu aku menganut pepatah itu.”
Aku membeku dalam rangkulannya, membiarkan jemarinya menyapu air mataku. Aku memeluknya. Terlalu takut. Aku tidak mau kehilangannya. Tidak mau kehilangannya.
“Hei, aku baik-baik saja, Va.” ia mencoba menenangkanku dengan usapan lembut pada bahuku namun suatu bagian dari diriku menampiknya. Dengan menyumir kesan takutku yang tak dapat kubendung akhirnya aku buka mulut.
“Kamu nggak akan meninggalkanku, ‘kan? Kamu nggak akan mutusin aku, ‘kan?”
“Nggak, sayang. Radi nggak akan pernah.” suaranya kali ini membuatku luluh; mengalir lembut di telingaku dan kembali membuat jantungku berdetak ritmis. Kami pun tersenyum, sementara aku membiarkan waktu menghapus air mataku. Perlahan aku menikmati paparan cahaya matahari dan kawah yang memperelok kawasan ini sekaligus mencoba merekam pengalaman ini baik-baik pada ingatan terkuatku—mengambil puluhan gambar untuk kami abadikan, meminum teh tarik dan bandrek kesukaan kami, membahas beberapa hal yang dapat membuat kami tertawa terpingkal-pingkal—hingga aku merasa bahwa aku orang yang paling beruntung dan bahagia di dunia ini. Aku cinta Endra. Tanpa Endra, aku bukanlah apa-apa.
***
“Silvaaaaaaaa ada telepon penting, tuh.” ibu membangunkanku dengan suara yang mengusik indera pendengaranku. Aku mengerang malas. Bahkan rasanya sinar matahari yang tumpah ruah membanjiri kamarku tak mempan untuk dapat membuka mataku setengah senti pun.
“Dari siapa, sih, Maaa? Bilang aja Silva lagi keluar.” gumamku. Siapapun itu akan kubunuh nanti.
“Nggak bisa. Itu telepon dari Sania, Va.”
Apa? Sania? Seketika otakku langsung memunculkan seberkas bayangan abstrak Endra di kepalaku, memacu syaraf-syaraf tubuhku untuk terperanjat bangkit dari ranjang dan menghambur ke lantai bawah sebelum akhirnya gagang telepon berada di tanganku. Nafasku tersengal hingga aku menyapa kakak Endra dengan payah.
“Ha—haloh,”
“S—sil? Ini…aku.”
“Ada apa, kak?”
“Kabar buruk. End—ra.”
“Endra kenapa, kak?” dengusku penuh penasaran.
Bahkan suara di seberang sana mulai terdengar berbeda. Tidak biasanya Sania berbicara tersedu-sedu begitu, Jantungku berpacu dengan hebat. “Ke—celakaan. End—ra kecelakaan.”
Aku membisu. Mulai membeku dalam sedu.
“Setahu kakak tadi dia mau pergi ke rumahmu, Va. Di—dia meminta kakak untuk nggak memberitahumu. Tadinya kakak ingin ikut tapi…”
Aku membiarkan ia mendengar isak tangisku yang tak kusembunyikan. Tak mampu kubendung lagi. Dadaku mulai kembang kempis karenanya.
“Dia menolak dan—”
Tuut…tuut….aku tak sanggup menunggu ia menyelesaikan kalimat itu. Aku sudah terlalu lemas untuk berdiri. Lututku mulai bergetar hebat dan tangisku mulai meledak-ledak hingga aku jatuh terduduk disamping sofa ruang tengah. Tanganku bergetar, menarik-narik baju piyamaku, tak sanggup mendengar jeritan batiku. Semua buram. Semua hilang. Endra, membuat sebagian besar diriku hilang. Dia pergi. Bersama kenangan dan harapan kami. Tanpa isyarat. Ataupun firasat.
Dan di hari ini—hari dimana aku mulai menginjak usia tujuh belas—aku hanya bisa terduduk lemah tak berdaya, dikuasai tangis pilu nan pelik. Menampik kuat semua kenyataan pahit yang kualami—Endra, ia bagian dari diriku. Bagian dari hidupku. Tanpanya, aku hanyalah Silva Ranaya yang lemah, payah, dan hanya bisa mencakar-cakar semua kepahitan dalam pikiranku tentangnya. Aku—tanpa—Endra.
Satu pesan dari Endra tertera di layar ponselku. Sesuatu dari dalam diriku berhasrat untuk membukanya:
Dari: Endra
Terima kasih ya sayang udah mau nemenin aku kabur ^^
Aku janji kemarin yang terakhir, dan nggak akan terulang lagi.
*Radi selalu dihati Vava. =*
Aku membalas:
Untuk: Endra
Sama-sama, sayang. Aku juga senang banget kemarin. Aku harap kemarin yang paling indah, ya
*Vava selalu di hati Radi =*
*Radi=panggilan sayang Silva ke Endra
*Vava=panggilan sayang Endra ke Vava
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!