Oleh: @leanita88
Yang aku inginkan, hanya pergi secepat mungkin...
Aku memandang potret di atas meja, menghentikan kegiatanku sejenak
untuk mereguk kenangan kita. Potret yang diambil saat hari kelulusan
Sekolah Menengah Atas dua tahun yang lalu. Senyum kita mengembang,
memperlihatkan sederet gigi putih dan bersih. Seragam putihmu sudah
penuh dengan coretan pylox dan goresan tangan teman-teman yang lain.
Hal berbeda justru terjadi padaku, hanya ada beberapa tanda tangan di
bajuku, itu pun hanya dari beberapa teman dekat. Bukan hanya karena
aku tidak sepopuler kamu, tapi lebih karena aku merasa jengah
melakukan hal semacam itu.
Aku tersenyum mengingat masa itu. Salah satu masa terindah saat kita
bersama. Meski bagiku, setiap saat yang kulalui bersamamu selalu
indah. Kecuali satu, yang memaksaku mengambil keputusan untuk
melakukan satu pelarian yang terasa berat.
Yang kuinginkan, hanya pergi...
Mulanya, aku tidak merasakan ada yang salah di antara kita. Jalinan
pertemanan kita tidak mengendur sedikit pun. Kubilang, ini lumrah.
Kita sudah saling mengenal semenjak kita masih berusia lima tahun.
Bagiku, kamu adalah tempatku mencurahkan isi hati. Begitu pun
sebaliknya. Dan aku tidak perlu malu-malu untuk menangis di depanmu.
Hingga beberapa hari yang lalu saat aku mulai menyadari bahwa ada yang
berbeda pada diriku. Satu hal yang membuatku seperti melayang saat
berada di dekatmu. Satu hal yang seringkali membuatku merindu saat
kita jauh. Tapi mungkin akan lebih menyenangkan bagiku jika ini tidak
terjadi di antara kita.
Kamu pasti masih mengingat kali terakhir kita berkumpul bersama
teman-teman SMA beberapa waktu lalu. Di sana, Rafa, pertama kalinya
aku menyadari bahwa perasaanku padamu telah mengembang jauh melebihi
apa yang pernah kubayangkan. Saat teman kita yang lain mengeluarkan
ledekan tentang kita, saat itu juga mendapati aku tersipu malu.
Duniaku terasa berubah semenjak aku menyadarinya.
Yang kuinginkan, hanya pergi...
Semenjak hari itu, aku lebih melewatkan kebersamaan kita dalam hening.
Membiarkan pikiranku bergulat tentang langkah apa yang harus kuambil.
Mereka tidak sepenuhnya benar saat berkata: jatuh cinta bisa membuat
dunia terasa jauh lebih indah. Aku merasa tertekan. Diliputi pemikiran
bahwa ini bisa mengubah dunia yang kita lalui
bersama selama ini. Dilingkupi perasaan takut jika kita berubah dari
saling berbagi menjadi saling menyakiti.
Bukannya aku takut kamu menyakitiku, dan aku tidak yakin kamu bisa
melakukannya. Aku jauh lebih takut jika suatu hari nanti aku melakukan
sebuah kesalahan dan kamu merasa tersakiti karenanya.
Yang kuinginkan, hanya pergi...
Lalu sore kemarin, aku membuat keputusan yang membuat separuh hatiku
berontak. Aku harus pergi dari sini.
Kamu mengernyitkan dahi saat mengatakan bahwa aku memilih meneruskan
studi di Leiden. "Bukannya kamu pernah bilang, kamu bakalan nerusin
kuliah kamu di sini?"
Aku tersenyum tipis. Nyaris getir. "Aplikasiku diterima, dan rasanya
sayang jika aku menyiakan kesempatan ini."
Suaraku terdengar sedikit bergetar. Kamu mungkin tidak tahu, ada
pergulatan emosi meluncur di sana. Kamu memang benar, aku lebih ingin
melanjutkan studi di sini bersamamu. Dengan begitu, kita masih bisa
berbagi cerita lagi; aku pun masih ingin menangis di pelukanmu.
Tapi aku memilih pergi untuk menciptakan jarak di antara kita. Itu
sudah cukup membuat kita tidak akan saling bertatap muka dalam kurun
waktu yang lama.
Ya, aku memilih pergi. Aku memilih lari daripada melihat perasaan ini
berkembang di saat aku tidak bisa melakukan apa-apa. Dan jarak mungkin
akan bisa membantuku mengikis perasaan itu. Hingga nanti, saat kita
bertemu, aku tetap menganggapmu sebagai seorang teman baik yang selalu
ada kapan pun aku membutukan--bukan sebagai seorang teman yang
kutinggalkan saat aku sadar bahwa dia telah membuatku jatuh cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!