Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 25 Januari 2011

A Dinner to Remember

Oleh: Rheza Aditya
twitter: @gravelfrobisher


Kengerian tanpa batas.
Mungkin itulah yang dirasakan mereka saat melihatku. Mungkin hanya itulah yang memenuhi otak mereka selagi aku mencoba mendekati mereka, merobek jaringan kulit kepala mereka dan mengais-ngais isi otak mereka yang lucu tersebut.
Mengapa mereka menjauhiku? Aku juga dulu manusia!
Salah satu diantara manusia-manusia tersebut menghantam tubuhku dengan gada besar. Pastinya sakit rasanya, namun yang terjadi padaku malah sebaliknya. Aku tidak bisa merasakan sakit, tidak seperti makhluk yang berusaha mati-matian untuk menumbangkanku itu.
Merasa kasihan, aku menjatuhkan diriku sendiri, membuat dirinya terengah-engah sesaat, sedikit lega karena akhirnya aku berhenti menyerang. Namun seperti biasa, sesuatu didalam diriku kembali menyeruak, membujuk diriku untuk meneruskan penyerangan, mengembalikan sisa-sisa kesadaranku yang tidak banyak kepada kegilaan.
Aku bangkit berdiri bahkan sebelum nafas manusia tersebut kembali normal. Dengan kedua tanganku, kucengkram bahunya, dan aku mematuk kepalanya dengan mulutku, dan gigi-gigiku yang tajam.
Aku tidak bersalah. Manusia juga memperbanyak dirinya dengan cara yang tidak etis. Aku tahu itu. Aku dulu juga manusia.
Di dunia ini, yang minoritas akan selalu kalah. Makanya manusia terus berusaha bertahan menjadi makhluk yang paling ‘membentuk dunia’ dengan terus berkembang biak.
Aku hanya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan mereka. Aku hanya menambah jumlah populasi jenis kami.
Sosok manusia yang terlihat lebih lezat menjerit ketakutan. Matanya meleleh menjadi air dan menetes tiada henti. Sebagian dari diriku tahu bahwa itu adalah air mata, dan sebagian diriku tersebut merasa bahwa sangatlah wajar bagi si makhluk yang kelihatan lezat tersebut untuk melelehkan air mata.
Namun sebagian diriku yang lebih dominan segera menepis pikiran untuk berhenti menyerang. Kualap.yunkan tanganku, mencengkramnya dan mendekapnya kedalam pelukanku. Tanpa basa-basi aku menggigit kepalanya, lehernya, dan bahunya. Kutinggalkan begitu banyak bekas luka diatas permukaan kulitnya yang mulus.
Aku bangga. Aku sudah menambah jumlah kami sebanyak dua.
Dan dari dua, mereka akan menambahnya menjadi delapan. Dari delapan…aku tidak tahu lagi. Yang jelas mereka akan menjadi banyak, dan jenis kami lah yang akan menjadi mayoritas dan menduduki permukaan bumi ini.
Aku tidak perlu sendirian lagi.
Aku menggeser dan mendobrak pintu yang terlihat rapu dihadapanku, dan diriku langsung terekspos dibawah langit malam yang terang.
Terang, padahal seingatku, malam itu selalu gelap.
Aku melihat beberapa makhluk baja yang terbang diatas langit, melontarkan beberapa keping baja yang terlihat kecil, namun segera memuntahkan api ketika menyentuh tanah.
Saat itu juga aku tahu apa yang sedang mereka—para manusia itu—lakukan. Mereka hendak membunuh kami, menghancurkan tempat dimana kami mulai bermunculan, dan mengakhiri mimpi buruk mereka untuk selamanya.
Apa salah kami? Kami memang merasakan kelezatan diantara cairan otak dan mentahnya daging manusia yang gurih. Lidah kami memang lebih terbiasa dengan bau darah yang amis daripada mengecap anggur yang manis.
Kami hanya ingin hidup. Meskipun kami sudah mati.
Kulihat sebuah baja berkilap dijatuhkan tepat beberapa meter dihadapanku.
Baja tersebut memuntahkan api yang sangat besar, menyelimuti seluruh tubuhku dengan cahaya.
…dan panas.
Aku mencoba mengingat-ingat betapa lezatnya santapan manusiaku tadi.
Kucoba mengingat sensasi yang kurasakan pertama kali aku membuka mataku, ketika segalanya berubah menjadi seolah dilapisi oleh lendir hijau transparan, membuatku sulit memfokuskan pandangan, dan membuat semua hal menjadi kehijauan.
Aku juga mengingat sensasi yang kurasakan ketika tubuhku tidak bergerak sesuai pikiranku, dan betapa pikiranku semakin lemah melawan kehendak badaniah yang kumiliki untuk mencabik, mengais, dan menelan isi dari manusia.
Panas tersebut memeras, dan mengeringkan seluruh tubuhku.
Aku bertanya-tanya untuk terakhir kalinya, mengapa aku masih bisa berpikir dengan waras?
…meskipun diriku adalah zombie?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!