Oleh Gisha Prathita (@geeshaa)
http://kamukayakuya.tumblr.com/
Gadis itu bernama Rasuna, ya, diambil dari nama pahlawan HR Rasuna Said. Bukan karena orang tuanya mengagumi pahlawan wanita yang satu itu, tapi karena Rasuna terlahir di rumah sakit yang bertengger di jalan utama daerah Kuningan, Jakarta Selatan tersebut—Jalan HR Rasuna Said. Kini ia berusia 24 tahun, dan siap menikah. Segera menikah, justru, tanggal 23 Januari 2011.
Sebulan yang lalu, hatinya begitu mantap akan menikah, dengan lelaki pujaan hatinya yang berasal dari daerah yang sama dengannya. Namanya Adi, atau Adiansyah Nurfazlan untuk lengkapnya. Sebulan yang lalu, semua terasa begitu lancar dan perhitungan seakan mulus semua. Mulai dari persiapan undangan, baju pernikahan, dan menu-menu sajian nikahnnya nanti, yang akan diadakan dengan konsep pesta kebun yang tidak mengundang banyak orang, hanya 200 orang—maksimal. Konsep pernikahan ini tentusaja datang dari Rasuna, ia ingin pernikahan yang bernuansa putih hijau itu akan terasa sakral dan hangat, di tengah kesejukan Bukittinggi, kampung halamannya, lengkap dengan sajian yang sangat ‘masakan rumah’, meskipun Rasuna memang sudah tumbuh besar dan bekerja di Ibukota, di tempat ia bertemu dengan Adi.
Tapi kini tengah malam buta—hatinya malah bimbang. Sungguh bimbang.. dan berpikir suatu kekhawatiran yang teramat sangat. Ia menggenggam HP-nya dengan erat. Ia menimbang-nimbang, perlukah ia mengakui hal ini kepada Adi?
Ia tiba-tiba ragu untuk menikahi Adi dalam waktu dekat ini. Bukan,bukan karena ia tidak mencintai Adi. Sungguh, langit boleh terbelah menjadi tujuh, tapi ia tidak pernah bebrbohong kalau hatinya hanya untuk Adi. Tapi ada satu hal yang tiba-tiba mengganjal pada hati dan pikirannya sekarang. Sebenarnya ia pasti akan terlalu bodoh kalau ia mundur, daripernikahan ini—toh undangan sudah disebar. Biaya akomodasi undangan sudah disebar pula. Pas sekali dengan budget, semuanya sempurna. Ya, karena Rasuna adalah orang yang sangat teliti perhitungan—tapi bukan pelit.
Rasuna resah, namun akhirnya ia langsung memberanikan diri untuk menelepon calon suaminya itu. “Halo, Bang Adi?”
“Rasuna.. ada apa telepon tengah malam begini, Dek?” Adek, adalah panggilan sayang Adi terhadap Rasuna.
“Bang, aku tiba-tiba bimbang sama pernikahan kita ini…” Rasuna menguatkan diri untuk mengatakannya, pada akhirnya. Matanya menutup sebentar dan kemudian menyusuri meja di samping tempat tidurnya. Ada sebuah buku kecil berwarna pink di sana. Ia membukanya pelan sambil mendengar suara ‘HAAAAPAAAH?’ keras dari seberang telepon.
“Kenapa, Dek?? Abang lagi mimpi kan ini??”
“Ssh… Abang gak lagi mimpi kok. Dengar dulu Bang.” Rasuna berusaha menjaga grip abangnya yang kaget.
“Terus kenapa? Kok tiba-tiba bimbang sama pernikahan kita ini? Undangan dah disebar, Dek. Jangan kecewakan semua orang. Atau Adek udah indak sayang lagi sama Abang??” Adi begitu panik dan emosi di sana, Rasuna jadi semakin serba salah. Ia membaca tulisan kecil berisi angka di buku kecil itu. ternyata itu wedding planner miliknya. Semua pernak-pernik perencanaan pernikahannya ia tulis di sana.
“Bukan gitu, Bang. Masalah sayang gak usah ditanya lagi deh, Bang. Malaikat juga tahu.” Rasuna memijit-mijit pelipisnya. “Adek ragu, Bang. Baru beberapa hari ini, kayanya Adek tahu ada sesuatu hal yang gak sesuai dengan rencana kita…”
Adi menghela napas panjang, ini lagi kan, muncul sifat perfeksionis kekasihnya itu. “Gara-gara itu? kenapa? Kamu takut pernikahan kita jadi gak seperti harapan kita? Memang apa yang gak sesuai rencana, Sayang?”
“Bang, budget kita kan buat pernikahan ini 100 juta rupiah, dan hampir setengahnya buat akomodasi keluarga kita yang ada di Jakarta… yang lainnya, gedung, undangan, souvenir, dan pakaian pernikahan habis sekitar 45 juta dan sisanya buat cattering… 20 juta Bang.” Rasuna menjelaskan sambil membaca apa yang ada di buku kecil itu.
“Terus? Abang gak dengar ada masalah dari semua itu. cattering katanya mau minta cattering-nya Mama dan tante kamu yang masakin…” Adi masih terdengar bingung, dan khawatir juga apa masalh sebenarnya.
“ITU MASALAHNYA BANG! 20 juta ini gak cukup!”
“Gak cukup? Dek, yang kita undang itu total 200 orang mentok. Gak mungkin gak cukup, kan waktu itu kita udah hitung bareng. Kamu ini gimana sih…” Adi yang masih mengantuk akhirnya meotot juga.
“Bang, kita hitung 20 juta ini waktu itu, bukan sekarang Bang! Sekarang ini, gak cukup. Kalau sampai sajiannya kurang, Bang, kita bisa malu.” Rasuna ngotot. “Pokoknya aku mau pernikahan kita ditunda Bang! Kita harus hitung ulang dulu budget-nya!”
“Budget buat apa sih, Dek? Masakan kita kan cuma masakan rumahan biasa kan? Rendang, Balado—..masakan yang modal santen sama cabe doank—bukan cordon bleu, steak, atau nachos!”
“Justru itu Bang! Abang, kita nih butuh tambahan budget 10 juta lagi! Apa Abang gak tahu waktu dulu kita rencanain budget ini waktu cabe Rp 30.000,- sekilo dan sekarang cabe itu harganya Rp 70.000,- Bang! Budget kita kurang! Aku mau pernikahan ini dibatalin aja, Bang! Batalin aja!”
Lalu Rasuna memutuskan sambungan teleponnya. Ia benar-benar bingung, sedih, dan kecewa. Rasuna menghela napas saat melihat jam dinding menunjukkan pukul 00.12. Lewat tengah malam. Semua yang ia rencanakan dengan sempurna, kini berantakan sudah. Cuma gara-gara cabe.
***
From: Abang Adi (+628997956675)
05.30AM 10.01.11
Pagi Dek, abang kira kamu kenapa tadi malam. Besok Abang transfer kurangnya. Pokoknya tanggal 23 nanti kita tetep nikah, mau cabe harganya sejuta juga. kamu ni bikin abang jantungan aja! =))
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!