Oleh M. B. W (@bangkitholmes)
Dulu ayahku selalu mengagung-agungkan idealisme. Betapa nilai seseorang ditentukan dari seleranya. Pandangannya ini tertancap sudah cukup lama di kepalanya. Baginya idealisme merupakan harta yang tak ternilai. Nilai kehidupan itu sendiri tergantung dari seberapa kuat dia mempertahankan pandangan idealisnya itu.
“Idealisme tidak bisa dibeli nak, dengan dollar manapun tidak akan bisa.” Nasihat itu sudah dikatakannya berulang-ulang kepadaku.
Aku tidak akan mempermasalahkan sifatnya itu kalau saja tidak mengganggu orang lain. Bayangkan saja, ia sering berebut channel tv denganku, padahal dia sendiri punya televisi di kamarnya.
“Janganlah kau tonton band-band komersil itu, dengarlah yang lebih berkelas!”
Itu baru soal musik, soal tanaman ia lebih vokal lagi. Pernah suatu hari aku pulang membawa batang kembang sepatu dan berniat menancapkannya di taman depan rumah. Ketika memasang ancang-ancang hendak menancapkan batang ini ke tanah. Ayah tiba-tiba bertepuk-tepuk memanggilku dari pintu. Terpaksa kutunda dan menghampirinya.
“Hei nak, jangan kau kotori tamanku dengan tanaman murahan itu. Coba cari tanaman yang lebih unik, lebih eksklusif!”
Unik? Eksklusif? Sampai sekarang masih belum kumengerti makna dua kata tersebut dalam kamus ayah. Taman ini memang hijau dan lumayan luas, harta paling berharga bagi ayah selama ini. Potongan rumput yang bulat-bulat, bunga-bunga kecil-kecil yang tak kuketahui namanya. Memang indah, aku sudah cuku mengerti definisi kata “indah”, tapi bagaimana dengan unik, ekslusif? Apalah pengaruhnya kalau kutambahkan kembang sepatu? Bukannya akan tambah indah?
Soal makanan ia juga cukup kritis. Ibuku sering diceramahi soal makanan yang menurut versinya “kurang ini” atau “kurang itu”. Tapi kalo soal pedas baginya tidak ada kata “kepedasan”. Jangan sekali-kali melakukan “Huh-hah” ketika makan di depannya. Kalau itu terjadi maka nasihatnya akan berbunyi seperti ini,” Janganlah kau mengaku laki-laki, menangis cuma gara-gara cabe!”
Keadaan berubah beberapa minggu yang lalu ketika ayahku sedang menyaksikan acara berita “berkelas”nya.
“Harga cabe menembus angka seratus ribu rupiah per kilonya, pemerintah menghimbau agar…”
Mendengar berita itu ayah kebingungan, hari-hari terpaksa dilewatinya tanpa kehadiran sambel korek kesukaannya di atas meja makan. Aku senyum-senyum saja melihat tingkahnya di meja makan, matanya seperti mencari-cari sesuatu yang hilang.
Keesokan harinya, ketika aku baru pulang dari kampus kudapati keanehan yang sangat tidak biasa. Ayah telah membabat habis semua tanaman kesayangannya di taman kebanggaannya.
“Kenapa ayah membabat taman ini?”
“Kau tahu nak, untuk menuju tingkatan idealisme yang lebih tinggi, kau haruslah mengorbankan idealisme yang lain”
“Jadi untuk apa ayah, membabat semua tanaman ini?”
Seakan tidak rela ditariknya nafas panjang-panjang, ia menjawab,” untuk menanam cabe…”
Mana berani aku tertawa di depannya, Sejak hari itu aku menyimpulkan kalau idealisme memang tidak bisa dibeli dengan dollar, tapi bisa ditukar dengan cabe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!