Senin, 6 Desember.
Project Pinisi; nama acara yang gue hadiri malam itu. Bertempat di studio 8 Blitz Megaplex Grand Indonesia.
“Sebuah karya audio visual yang berestetika, sebagai jembatan antara khalayak dan juga realitas sosial yang terjadi di belahan lain negara Indonesia.”
Begitu kutipan press release yang gue baca. Band The Tress and The Wild dan kru yang ada dibalik proyek ini. Band favorit gue. Acara hanya dibatasi untuk 50 orang yang beruntung malam itu. Mereka yang memang niat berpartisipasi. Gue salah satunya. Gue yakin video berdurasi sekitar 8 menit ini sukses merubah pandangan hidup hampir semua orang yang hadir disana. Termasuk gue. Mungkin berlebihan, atau memang sudah saatnya gue harus berpikir lebih maju. Iya, lebih maju.
Film pendek - dokumenter, mengenai realitas kehidupan para pembuat kapal pinisi, yang berdomisili di Desa Tana Beru, kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan ini, sukses membuka dan memajukan sedikit pikiran gue, mengenai perjuangan segelintir orang yang menghargai budayanya. Peninggalan tak ternilai warisan nenek moyang.
“Karena kebudayaan itu gak bisa dibuang begitu saja..”
Begitu kata mereka yang berusaha mempertahankan kebudayaan membuat kapal tradisional yang dilambangkan oleh dua tiang, tujuh layar tersebut.
Acara ditutup oleh penampilan The Trees and The Wild, membawakan lagu berjudul Malino, yang juga menjadi backsound video tersebut. Dipilih karena paling cocok dengan nuansa dan atmosfer yang ingin dibentuk. Malino sendiri diadopsi dari nama pegunungan, juga di Sulawesi Selatan. The Trees and The Wild, band yang niatnya akan selalu memainkan musik dengan gaya mereka sendiri, tidak akan dibuat-buat menuruti permintaan satu atau dua yang menginginkan mereka menjadi sosok lain. Sifat ini yang pasti akan mereka turunkan kepada generasi berikutnya, sama seperti nenek moyang kita; mewarisi banyak hal berharga. Mereka juga yang menambah kekayaan cara berpikir gue, mulai malam itu.
Beruntung gue pernah berada disana. Di bioskop itu. Menyaksikan video yang tidak akan diputar dimanapun, hanya di bioskop itu, saat itu, ditemani Malino yang menuntun gue untuk menjadi pribadi yang padat. Menghargai apa yang sudah diperjuangkan, mencoba hal yang mungkin tidak terbayang oleh orang lain, dan melakukan sesuatu yang ingin dilakukan, dengan cara sendiri. Salah satunya menghargai budaya warisan leluhur. Seperti para prajurit Pinisi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!