Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 02 Februari 2011

Amnesia

Oleh: Gisha Prathita (@geeshaa)
Kamukayakuya.tumblr.com



“Sorry, gue beli tiket lebih nih, mau nonton bareng gue gak?” seorang gadis yang sepertinya seumuran denganku tiba-tiba mencolek bahuku dan bertanya demikian. Aku yang saat itu hanya lewat saja di depan bioskop untuk menuju ke tempat lift, akhirnya Cuma bisa melongo. “Mau ya?”

Aku mengamati gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Gadis ini cukup good-looking, sekilas mengingatkanku dengan Demi Lovato—penyanyi muda yang digandrungi ABG Amerika beberapa waktu lalu (atau sampai sekarang?). ia mengenakan celana jeans dengan sweater rajut kebesaran berwarna marun. Akhirnya aku mengangguk tanpa pikir panjang. “Film apa?” telat, malah baru setelah itu aku bertanya.

“Inception,” jawab gadis itu singkat.

“Gue udah nonton padahal,” aku tertawa kecil. “Tapi gak apa-apalah, filmnya bagus kok.” Gadis itu tersenyum sambil mengangguk-angguk.

“Filmnya mulai 15 menit lagi. Kebetulan banget gue ketemu lo ya,” ia terlihat sangat girang. Aku hanya bisa ikut senang saja. Yah, lumayan, aku sendirian di mall ini sebenarnya hanya untuk membeli buku, barusan—dan sisanya hanya beli beberapa cemilan untuk di kosan. “Kalo gitu sebentar, ya, gue ke toilet dulu.” Ia mengacungkan jempolnya dan berlari menuju ke kamar kecil yang tak jauh dari situ. Aku lalu menunggu gadis itu di sofa depan studio 2, studio yang akan kami masuki untuk menyaksikan film Inception.

Tak lama kemudian gadis itu muncul dari balik pintu toilet, ia kembali berlari dengan lincah ke arahku, “Let’s date!” katanya dengan nada yang playful. Matanya menyipit saat ia tertawa—manis sekali. Entah aku tersihir atau apa, tapi aku lalu melengkungkan tanganku yang tidak membawa kresek belanjaan untuk dirangkul olehnya, “Thank you,” sambutnya. Setelah itu kami masuk ke Studio 2 dengan lagak seperti pasangan yang melewati red carpet.

“Lo mau minum?” tanyaku saat baru saja duduk di seat tengah bioskop itu, aku kemudian menyodorkan sekaleng latte ke arahnya. Ia mengucapkan terima kasih dan segera meminumnya.

“Gak ada yang marah kan kalo lo nemenin gue nonton?” tanyanya tiba-tiba, tepat saat lampu bioskop dimatikan dan film segera dimulai. Saat itu di layar sedang menayangkan adegan Bung Leo terkapar di pantai.

“Gak ada, don’t worry I’m a free man.” Jawabku santai.

“Free man or available man?” ia cekikikan.

“Well, both.” Aku tersenyum.

Film pun dimulai, kami tidak berbicara selama beberapa menit. Sambil iseng, aku memperhatikan mimic muka gadis itu saat ia sedang serius menonton film itu. Lucu, ia begitu terkesima dan menyimak semua adegannya dengan seksama, sampai-sampai bibirnya menganga. Aku mengatupkan bibirnya dengan jari telunjukku. “Mingkem kali kalau nonton.” Aku tertawa pelan—ia terlihat malu dan membenahi mulutnya hingga tertutup rapat lagi. Aku memperhatikan gadis itu lagi, sampai akhirnya ia sadar sedang kuperhatikan.

“Apa?” tanyanya.

“Kenapa lo ngajak gue nonton?” tanyaku, tanpa basa-basi. Ia menatapku beberapa saat.

“Karena gue punya tiket lebih.” Jawabnya—klise.

“Gue yakin itu bukan alesan yang sebenernya. Kenapa?”

Gadis itu tertawa pelan, supaya para penonton yang lain tidak terganggu. “Oke, oke, supaya gue ada temen nonton. Sumpah, dan itu gak klise.” Ia tersenyum ke arahku, siluetnya diperjelas dengan semburat cahaya dari pantulan layar.

“Dua tiket?”

“It was for my boyfriend, actually. But… you know, he didn’t show up.” Jawabnya pelan, ia memalingkan matanya ke arah layar lagi, menjauhi arahku.

“Oh… why?” tanyaku—penasaran. Sejujurnya aku merasa kasihan padanya. Cowok brengsek mana yang rela meninggalkan gadis secantik ini.

“… he just didn’t. I don’t know, I think he just can’t remember about it. Dia gak pernah ingat.” Jelasnya. Pandangannya agka terlihat nanar, matanya seperti sedikit menahan tangis. Oke, aku bohong—banyak. Ia menahan tangisnya setengah mati.

“Dia pelupa atau… brengsek?” tanyaku dengan polos. Kepalaku terasa nyut-nyutan tiba-tiba, mungkin AC di dalam studio ini terlalu dingin ya, membuatku pusing.

“Dia Cuma lupa,” ia melihat lagi ke arahku sambil berusaha tersenyum.

“Kalau begitu, dia brengsek.” Nada bicaraku agak kesal.

“Nggak! Dia sama sekali nggak brengsek, gue percaya itu. Itulah kenapa gue sangat mencintainya.” Jawabnya. Gak brengsek, tapi lupa janji? Orang macam itu namanya?

“Terus kenapa lo malah mengajak gue nonton kalau lo mencintai dia sebegitunya?” aku bertanya lagi. Heran, aku tidak bisa menerima nalarnya. Dasar wanita, aneh sekali.

Ia hanya tersenyum miris. Lalu ia menyenderkan kepalanya di bahuku. Tatapan matanya lurus ke layar, namun aku yakin dia sedang menangis saat ini. Isakannya terasa di bahuku. Entah kenapa aku ikut merasakan perihnya. Aku lalu membelai rambutnya, berusaha menenangkan. Ia membenamkan wajahnya di bahuku, menjadikan kerah bajuku sapu tangan—biarlah, aku tidak peduli. Entah kenapa aku merasa ikut sakit seperti dirinya.

Tanpa sadar, aku meraih dagunya, dan aku mencium bibirnya.

Dia membalas ciumanku.. dan setelah itu, ia tiba-tiba duduk tegak menjauhiku. Aku sadar—tidak seharusnya aku melakukan itu, saat aku melihatnya menangis tanpa suara. “Hey, gue minta maaf, gue gak seharusnya—oh ya ampun, lo boleh nampar gue sekarang juga!” aku berseru dengan suara yang nyaris berbisik.

Gadis itu hanya melihatku beberapa saat dan menaruh sesuatu di tanganku, lalu membelai rambutku sebentar, sebelum ia tiba-tiba pergi meninggalkan tempat duduk di sampingku.

“Hey! Sebentar!”

Aku berusaha mengejarnya, namun aku menabrak seorang yang akan menuju ke toilet, jadi jalanku agak terhambat. Aku akhirnya keluar studio, menuju arah yang sama dengan gadis itu, namun ia sudah lenyap dari pandanganku.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa ia pergi sebelum aku sempat meminta maaf?

Anggaplah kami tidak kenal, tapi apa yang tadi kami lakukan… Ah, Tuhan. Maafkan aku.

Aku mendecak kecewa, lalu mondar-mandir masih berusaha mencari sosok perempuan itu. Tapi tiba-tiba aku melihat secarik kertas di tanganku, pemberian gadis itu.

Sebuah foto.

Gadis itu dengan seseorang di sampingnya. Seseorang di sampingnya sangat familiar bagiku. Aku terkesiap. Kepalaku terasa sakit—saat mengingat bahwa orang di sampingnya adalah aku.

Aku membalikkan foto itu, sebuah tulisan ada di sana.

Will you remember?

***

5 komentar:

  1. bagus :)
    membuat saya jadi menerka-nerka bagaimana perasaan si gadis, saya suka cerita yang membuat saya berpikir seperti ini :D

    BalasHapus
  2. this one is really made me like, "AAAAH" in the middle of night, SWEET!!!

    BalasHapus
  3. Makasih atas apresiasinya yaaa :)
    senang bisa menghibur dengan tulisan :D

    BalasHapus
  4. ceritanya bagus, tetapi penggunaan huruf kapital dan kosakata asing harus dikoreksi lagi (: semangat!

    BalasHapus
  5. tiga kali saya harus berfikir,,
    dan saya ternyata memang lemot..haha

    nice story,,

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!