Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 02 Februari 2011

Pertama

Oleh: Ellena Ekarahendy (@yellohelle)
the-possibellety.blogspot.com



Ada yang pertama sebelum kita mengakhiri. Yang pertama. Dan bermula dari keterasingan.



Kupikir, dalam keramaian dunia oleh populasinya yang menyesakkan, manusia merindukan kekosongan, tapi mereka takut jatuh pada yang seutuhnya. Maka kemudian kita jatuh cinta pada keterasingan yang mengantara untuk memulai yang pertama. Mungkin seperti saat kita sekarang yang memulai dari keterasingan. Tangan kanan kita saling melambai saling mengenali dari kejauhan, cukup dalam batas “Aku” dan “Kamu”.



Kita enggan bertanya siapa yang lebih jauh. Kita hanya percaya pada apa yang diterjemahkan mata. Dalam parameter-parameter rasionalnya, kita berbincang dengan halusinasi kita yang masing-masing menggemaskan. Dari ujung untai rambut, lekuk pinggang, juga sampai ujung Converse merahmu, aku menyimpan terka; sementara aku menghindari delusi yang mungkin muncul saat mata kita bertemu dalam tanya, ketika kamu balas menyusuri rinci ketidakmenarikkankku.



Lewat anggukan-anggukan sederhana kita sama-sama setuju untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersenang-senang dalam ‘kita’ yang saling terasingkan. Dalam kenyamanan tempat duduk ini juga kita memilih mengasingkan diri dari pasang-pasang indera yang mungkin sama dengan kita. Dalam lingkup ke-kita-an hanya ada aku, kamu, bangku yang menenggelamkan kita dalam kenyamanan, manis soda yang kadang menusuk di tenggorokan, juga suara kriuk dari mulut kita masing-masing, saat berondong jagung yang kita bagi bersama tergigit dalam kecanggungan, dengan sesekali tangan kita bersentuhan dengan tidak sengaja. Aku menghela napas atau sesekali mengebas rambut, melarikan diri dari getar yang termunculkan.



Percakapan-percakapan yang membosankan membahana di seluruh ruangan yang sudah gulita sejak lima menit awal kita sama-sama membangun kesiapaan lewat tatapan mata yang juga enggan kita definisikan. Deret-deret bangku di sebelah kiriku juga di sebelah kananku menatap bisu ke layar lebar.



“For the love of us, I’ll stand still.” Si lelaki muda berkaos longgars berkata pada gadis pirang muda di hadapannya. Aku refleks tertawa mendengar potongan dialog klise yang lantas kupertanyakan kenapa harus muncul di film yang kita saksikan sekarang.

Kamu menoleh sambil mengernyit heran. “Kenapa?”

“Kenapa apanya?” tanyaku, masih terkekeh geli.

“Kenapa tertawa?”

“Dialognya. Hahaha. Klise. Dan membosankan. Kenapa mengajakku nonton film seperti ini? Hahaha.”

Sekarang giliran kamu yang tersenyum. “I know you. Aku sudah menonton film ini sebenarnya. Si pria dan kekasihnya ini akan memimpin satu protes besar terhadap sistem yang mengekang di negara bagian mereka. Kesukaanmu, kan, adegan-adegan rebel seperti itu?”

“Oh? Kupikir kita hanya akan menghabiskan waktu menyaksikan para tokohnya saling melempar kata-kata basi.”

Kulihat kamu tertawa. “Kadang ada unsur pemberontakkan juga dalam cinta antar dua individu. Jangan salah. Mungkin kamu saja yang terlalu skeptis memandang cinta. Ya sayangnya tidak kita temukan di film ini. Cinta hanya jadi bumbu-bumbu saja dari cerita dasar pemberontakkan anak muda yang tergambar di sini.”

Aku mengangkat bibir kanan atasku ketika kamu menyenggol tangan kananku. “Hei, lihat. Sebentar lagi adegan protes mereka. Mengingatkanku pada inti film The Wall.”

“Pink Floyd?”

“Ya.”

“Kesukaanku.”

“I’ve told you, I know you.”

Aku diam, gemetar merogoh kantong berondong jagung. Aku memaksa mataku terpaku pada layar, sembari membangun tembok-tembok untuk menjaga keasingan kita yang enggan aku robohkan.



Kemudian kita sama-sama tenggelam pada adegan-adegan yang menurutku mendebarkan. Kupikir penonton yang lain akan menyesal karena menghabiskan sekian puluh ribu mereka untuk menyaksikan adegan-adegan demonstrasi dan penolakan, dan kekerasan semacam ini. Remaja pria di ujung deret F menguap bosan, perempuan di sebelahnya bangkit dan berjalan ke pintu keluar. Siapa juga yang tidak bosan menonton keburukan pemerintah, yang di kehidupan sehari-hari saja sudah mereka kunyah sampai mati bosan? Tapi kamu membawa aku pada hal yang bisa sepenuhnya kunikmati. Aku ngeri kamu mulai berpenetrasi dalam kesiapaanku.

Layar lebar di hadapan kita terus menampilkan potongan-potongan gambar yang entah kenapa bergerak terlalu cepat di kepalaku. Film yang ganjil. Dari pemberontakan rakyat sipil lalu tersisipi adegan klise yang kosong, antara si pria dan waniita. Aku menghela nafas, jenuh.

Ada adegan ledakan yang membuat ruangan sedikit temaram dengan cahaya kuning jingga yang mendominasi dari layar, yang kemudian hitam pekat mengikutinya, dengan instrument yang menghanyutkan ketika tangan kita bersentuhan. Lalu berlanjut pada deretan kata-kata yang berwibawa yang sampai di telinga kita, mungkin dari pemimpin Negara bagian yang tidak berhasil digulingkan si tokoh utama, atau mungkin itu adalah dialog si tokoh utama yang menjelam jadi pemimpin luar biasa, atau mungkin itu adalah dialog pendeta di pemakaman si tokoh utama yang mati sia-sia karena idealisme dan obsesinya sendiri. Entah. Mereka terdengar dilafalkan terlalu cepat atau mungkin otakku yang mendadak terpaksa bekerja dengan lamban. Layar lebar sudah bukan bagian dari obyek penglihatan saat kedua mataku terpejam dalam gelap.



Suara monolog tadi berhenti. Pekat ruang bioskop menghilang tiba-tiba. Lampu menyala dan menyisir habis setiap sudut studio 1. Beberapa penonton berdiri, dan kutahu tersentak memandang deret bangku kita:

bibir kita masih bersentuhan.



Di antara keterkejutan aku bertanya tentang menit-menit yang membawa kita pada naluri yang salah. Tapi tidak terjawab. Sejenak aku terjebak dalam kepanikan, namun lalu mengikis habis rasa malu. Apatisme yang maju.

Tangan kita masih saling menggenggam ketika aku memilih untuk kembali mendekat lalu membisiki, “Jadi, Vendra, benar itu nama aslimu? Atau hanya cyber name-mu saja? Omong-omong, Diandra bukan nama asliku. It’s Talitha.”



Lalu aku lupa siapa aku. Juga kesiapaan kita masing-masing yang bentengnya runtuh dengan kekonyolan.

Dalam keterasingan yang (kupikir akhirnya) telah teruntuhkan, aku memilih untuk menyerah. Dan selalu ada saat pertama, bahkan untuk mengakhiri ke-bukan-siapa-siapa-an kita, meski dengan kekeliruan.



Lampu bioskop seolah menerawang jauh ke dasar pikiran kita masing-masing yang sama-sama melayang dan sulit kita definisikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!