Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 10 Maret 2011

Berjudi Dengan Waktu


Oleh Ifnur Hikmah (@iiphche)

Benda persegi panjang itu tampak begitu menggoda. Berwarna putih gading dengan tonjolan busa yang terlihat begitu nikmat untuk segera direbahi.
Kasur. Itulah sahabat terbaik para penggila waktu alias mereka yang berkejaran dengan waktu demi sebuah target. Dan setelah seharian penuh berkeliaran kian kemari mengejar narasumber, pulang ke rumah dan bertemu kasur  jelas terasa sebagai suatu barang mewah.
Serta merta ku rebahkan diri di atasnya. Pelukan lembut selimut sutra membungkus tubuh lelahku. Hempasan pelan kepala di bantal bulu melenakanku. Pagutan Teddy Bear menghangatkan sekujur tubuhku. Alangkah nikmatnya.
Hampir saja aku melayang ke alam mimpi ketika daun pintu terayun membuka. Seberkas wajah dengan gurat-gurat usia melongok di sana.
“Baru pulang Jen?”
“Iya Mi,” jawabku pelan. Lelah benar-benar menguasaiku.
Mami berjalan mendekat. Sisi kiri tempat tidur berderak ketika beliau mendudukkan tubuhnya yang tetap ramping meski telah memasuki usia senja. “Kamu kelihatan capek.”
“Minggu depan kita naik cetak sedangkan aku masih punya hutang satu tulisan lagi. Jadilah seharian ini aku mengejar narasumber.”
“Ya sudah.  Kamu mandi dan istirahat ya.”
“Sepertinya aku segera membuat transkrip wawancara tadi, Mi. Aku, takut nggak kekejar waktunya.”
Mami manggut-manggut. Beliau tentu telah terbiasa dengan ritme klerjaku yang selalu berpacu dengan waktu. Sebagai penanggung jawab rubrik fashion di MODE, aku seolah tak pernah lepas dari yang namanya tergesa-gesa. Banyaknya event yang harus diliput, pergerakan mode yang seolah tak berniat sedikitpun untuk menyamakan langkah denganku, hingga ke kerewelan model yang harus ku tangani membuatku tak pernah berani berjudi dengan waktu. Aku pasti kalah, dan telah ku sadari itu. Buktinya, selalu aku yang keteteran memanfaatkan kehadiran waktu.
Tak pernah sekalipun waktu berkompromi denganku.
“Jangan terlalu dipaksakan. Kalau lelah, istirahat saja,” nasihat Mami, as usual.
Ku tarik nafas dalam-dalam, sekedar untuk mengusir sesak di dada. “Aku nggak mau berjudi dengan waktu, Mi. Waktu selalu berlari meninggalkanku. Sementara aku? Semakin hari aku semakin di renggut usia sehingga langkahku tak lagi semantap dulu ketika berlari mengejar waktu. Aku tidak ingin ketertinggalanku semakin jauh,” jawabku.
“Oh ya? Serius kamu berpikir seperti itu?” tanya mami ringan. Tapi, aku adalah anaknya. Sembilan bulan berada dalam kandungannya dan 30 tahun hidup di bawah perlindungannya membuatku hafal setiap makna terpendam di balik semua ucapannya.
Ku layangkan mata lelah kepada mami. Benar saja, mami tengah tersenyum-senyum penuh arti ke arahku. Ada sesuatu di balik raut wajahnya. “Maksud mami apa?”
Bukannya aku tidak tahu maksud mami. Semua makna tersirat itu tercetak jelas di wajahnya, dan tak butuh waktu lama untuk menyadarinya. Namun, aku hanya ingin memastikan.
“Kamu bilang kamu tak ingin berjudi dengan waktu. Kamu juga menyadari semakin hari, kamu semakin direnggut usia. Tidak bisakah kamu menempatkan pemikiran tersebut dalam hal lain? Hal yang jauh lebih penting dalam hidupmu,” urai mami berteka teki.
Ku tarik tubuhku yang terasa berat untuk duduk bersandar di kepala tempat tidur. Ku tatap mami yang kini berada tepat di hadapanku. “Pekerjaan, itu yang penting untukku.”
Tangan mami bergerak untuk membelai rambut ikalku yang awut-awutan. “Dirimu sendiri jauh lebih membutuhkan perhatian ketimbang pekerjaanmu itu.”
“Mi, kita sudah sering membicarakan ini, oke?” Aku tak tahan lagi. Makin hari mami semakin sering mengungkit hal sensitif ini. Ada saja hal yang memberi celah untuknya dan dia selalu berhasil menemukan celah itu.
“Memang, tapi kamu tak pernah memberikan jawaban pasti untuk mami.”
Lagi, ku tarik nafas dalam-dalam. “Bukannya aku nggak mau memberikan jawaban tapi memang jawabannya belum ada.”
“Tapi sampai kapan Jena? Dulu kami bilang umur 25 kamu akan menikah, tapi  nyatanya? Kamu terlanjur terlena dalam pekerjaanmu. Lalu kamu mundurkan target hingga usia 28 tahun. Dan sekarang sudah lewat dua tahun tapi kamu belum juga menunjukkan tanda-tanda.”
“Mi, Jena capek. Bisa kan pembicaraan ini kita tunda sampai aku tidak capek?” kilahku.
“Kapan kamu tidak capek? Pekerjaanmu itu begitiu menyita waktu dan kamu rela menceburkan dirimu dalam-dalam.”
“Salah Jena memilih jadi wanita karier?”
“Tidak. Justru mami bangga melihat kemandirianmu. Tapi, seperti yang sudah kamu sadari kalau usiamu semakin bertambah,” mami terus mencecarku.
“Baru 30 tahun Mi. Zaman sekarang bukan hal memalukan lagi wanita melajang di kepala tiga.”
“Mami ngerti. Zaman memang telah berubah, nggak sama dengan waktu mami muda dulu Tapi kebutuhan biologis dan kodrat kamu sebagai perempuan tidak berubah.”
Ku edarkan pandang ke sekeliling kamar –yang entah kenapa terasa menyempit. Ku edarkan  pandang kemana saja, selain menatap ke kedalaman mata mami yang penuh harap itu.
Ah, bukannya aku tak mau membahagiakan mami. Bukannya aku mau mengecewakan mami, tapi ini semua di luar kuasaku. Aku bukannya tak ingin menikah, hanya saja hingga saat ini aku belum berhasil memantapkan hati untuk melangkah ke jenjang itu.
“Jangan-jangan benar kata orang,” celetuk mami.
Ku tatap mami dengan dahi berkernyit. “Maksud mami?”
“Karena kamu pernah menolak lamaran seorang pria makanya sekarang waktu berbalik menghukummu,” jawab mami datar.
Aku tersentak. “Mami. Itu hanya mitos,” protesku.
“Buktinya, sejak kamu menolak lamaran Damar, kamu selalu dikecewakan pria-pria yang dekat denganmu.”
Damar. Nama itu kembali menelisik masuk ke hatiku setelah enam tahun berlalu. Damar, pria yang begitu sempurna untukku tetapi sayangnya hadir di waktu yang kurang tepat. Tiga tahun memadu kasih membuat Damar nekat mengajukan proposal dihadapan orang tuaku. Mami yang memang sudah ingin menimang cucu dari anak perempuannya satu-satunya terlihat antusias dengan lamaran Damar. Masalahnya, waktu itu aku tengah asyik-asyiknya menikmati pekerjaan baruku dan tenggelam dalam kesibukanku. Selain itu, usiaku masih terlalu muda -24 tahun- untuk membina rumah tangga. Sedangkan Damar dikejar-kejar waktu dan orang tuanya di tengah usianya yang hampir menginjak kepala tiga. Aku belum bisa. Meski Damar menerimanya dengan lapang dada, hubungan kami jadi terasa hambar. Tiga bulan setelah lamarannya, kami pun putus.
Selepas Damar ada dua pria yang dekat denganku dan mereka berdua juga yang menorehkan luka di hatiku dengan alasan perselingkuhan. Lelah bermain hati, aku pun menenggelamkan diri dalam pekerjaan sampai-sampai aku berhasil menduduki posisiku sekarang di usia yang tergolong muda. Dan sejenak, masalah hatipun terlupakan.
Hingga kemudian mami seperti kebakaran jenggot melihatku yang santai-santai saja saat usiaku memasuki kepala tiga. Mulailah dia berkoar-koar mengenai pernikahan, setiap saat dan tak mengenal tempat. Awalnya ku coba untuk menganggapnya sebagai angin lalu namun lama kelamaan kupingku panas juga. Selanjutnya hatiku ikut-ikutan panas. Dan mami senang-senang saja menyemburkan oksigen di tengah kecamuk bara di hatiku.
Seperti malam ini.
“Itu artinya aku dan Damar bukan jodoh Mi.”
“Lalu kapan kamu akan menemukan jodohmu?” tanya mami dengan nada putus asa.
Aku hanya angkat bahu. Bagaimana aku tahu jawabannya sementara siapa jodohku kelak masih tersimpan rapi di tangan Sang Penguasa? “Mungkin waktu bisa menjawabnya. kelak.”
“Itulah yang mami khawatirkan. Kamu seolah tak peduli dengan usia dan perjalanan waktu yang kian mengikis usiamu.”
“Makanya mami doakan aku.”
“Mami selalu mendoakanmu. Itu pasti. Tapi kalau hanya doa tanpa dibarengi usahamu, percuma saja toh?”
“Aku berusaha kok. Hanya saja sekarang belum terlihat hasilnya.”
“Kamu selalu saja berkelit,” mami terkekeh. “Sekarang begini saja, mami mau mengajukan penawaran untukmu.”
Oooo… apa ini? Aku mencium rahasia ini sengaja disimpan mami setelah mengajakku berbincang kesana kemari. Ini seperti ‘gong’ terakhirnya dan aku yakin, sangat yakin, penawaran yang dimaksud mami pasti membuatku terguncang.
Ku tatap mami dengan mata menyipit penuh kecurigaan. “Apa?”
“Tahun ini kamu genap 30 tahun. Mami memberimu ultimatum terakhir. Jika sampai ulang tahun nanti kamu belum juga menemukan pria yang cocok, maka kamu harus mengikuti cara mami.”
Aku tersentak. Benar kan? Kecurigaanku terbukti. Lagi-lagi mami berniat melakukan perjodohan untukku.
“Kali ini mami serius. Mami takkan mengizinkan apapun –terutama kamu- mengacaukannya,” geram mami. Sepertinya mami masih kesal dengan dua kali usaha perjodohannya menjadi kacau karena dengan sengaja aku meminta tugas keluar kota sehari menjelang perjodohan.
“Mami?”
“Mami serius Jena. Dan menjelang hari ulang tahunmu mami akan terus berdoa supaya dibukakan pintu hati dan pikiranmu. Semoga kamu bisa menyadari kehadiran seorang pria sempurna di luar sana,” tekad mami.
Aku melongo. Batas waktunya adalah hari ulang tahunku? Itu berarti enam bulan lagi. Bagaimana mungkin aku bisa mencari pacar –calon suami- dalam tempo sesingkat itu. “Mustahil Mi. Aku minta pengunduran waktu,” kelitku.
Mami menggeleng pasti. “Bukannya kamu yang selalu bilang tidak ingin berjudi dengan waktu?”
Aku tertunduk lesu. Mami mengacak rambutku yang memang sudah kusut. “Jika kamu yakin, maka kamu pasti bisa menemukannya.”
Yang benar saja. Batas waktunya adalah enam bulan lagi. Bagaimana mungkin?
Ku lemparkan tatapan protes tapi mami keburu beranjak. Ku buka suara menyampaikan protes tapi mami melambaikan tangan di udara sebagai isyarat menyuruhku diam.
“Tapi Mi…..”
Mami mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jahil Seolah tak pernah berkata apa-apa, beliau melangkah ringan menuju pintu dan keluar dari kamarku.
Sepeninggal mami, tulisan besar ENAM BULAN membayang di pelupuk mataku. ENAM BULAN batas toleransi dari mami. Gila, yang benar saja.
Seketika kelelahan yang sedari tadi membayang berganti dengan kegelisahan. Dan kata-kata ENAM BULAN menari tanpa dosa di depan mataku. Arghhhhhhh. Tenggat waktu ini jauh lebih parah dibanding tenggat waktu yang diberikan pemimpin redaksi super galak sekalipun dan upaya memenuhinya juga seribu kali lebih berat ketimbang wawancara tokoh ternama sekalipun.
Di tengah-tengah kekalutanku, pintu kamar kembali terbuka. “Ingat ya Jen, enam bulan. Hanya itu waktu yang kamu punya. Jangan coba-coba berjudi dengannya.”
Selepas berkata seperti itu, mami menghilang, meninggalkan aku yang hanya bisa melongo di tempat tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!